Ingin memiliki pacar, atau suami juga boleh.
Adakah dari kalian yang ingin seperti ini juga? Aku yakin pasti banyak, terutama para wanita. Bahkan sepertinya jika dikumpulkan dalam satu wilayah pun itu tidak akan cukup menampung.
Aku seperti wanita haus belaian, bukan ingin disentuh bukan, tetapi ingin mempunyai laki laki yang bisa mengerti dirinya, yang bisa membawa nya pada hal positif dan mengajaknya ke Surga bersama sama.
'Ya Tuhan, jika Engkau mengizinkan aku bertemu jodohku, temukan sekarang Ya Tuhan. Tapi jika nanti, coba nego sedikit sekarang aja.' Aku selalu berkata seperti itu disetiap doa, tapi sepertinya Tuhan masih ingin aku sendiri seperti Mr.Bean, beda nya Ia masih mempunyai boneka kecilnya, sedangkan aku tidak ada siapapun.
"Heh!" Aku meringis saat kepalaku di pukul dengan sendok, siapa lagi pelaku nya kalo bukan abangnya, "ngelamun terus. Jangan apa apa dijadiin fikiran deh la, nanti cepet tua loh kamu."
"Apaan si bang, gak ada yang ngelamun. Cuma lagi memikirkan matang matang untuk masa depan. Emangnya Abang, main gitar mulu tiap hari udah kayak ngamen, mana di depan kamar Aku terus."
"Enak aja kamu, Abang kerja dari pagi sampe malem. Main gitar cuma weekend, lagipula main gitar itu dapet duit. Lah kamu, mikirin masa depan mulu emang dapet apa? Dapet fikiran yang ada, terus nanti kalo fikiran nya udah penuh di otak, meledak otak mu terus gak bisa merancang masa depan lagi." Aku merenggut kesal mendengar ucapan nya, kenapa bisa benar? Aish, ingin rasanya menonjok wajahnya, tapi Aku masih sayang abang.
"Tau ah, males. Aku mau kekamar, disini berisik gara gara ada Abang." Meninggalkan ruang makan dengan menghentak hentakan kaki, sebal dengan abangnya.
"Yeh gak jelas, Abang gangguin lagi pake gitar baru tau rasa."
"Nyenyenye."
Aku membuka pintu kamar dan langsung merebahkan diri di kasur kesayanganku, kasur ini pemberian Almarhum Papah saat aku berumur 6 tahun, kata Papah harus dijaga baik baik jangan sampai rusak, karena nanti Papah bisa marah dan gak akan beliin aku hadiah lagi, tapi ternyata ini hadiah terakhir sebelum Papah kecelakaan yang membuat dirinya tidak bernyawa. Mengingat itu membuatku ingin menangis, saat mamah tiba tiba pingsan, abang masih berada di sekolah dan aku yang hanya diam memikirkan 'apa ini'. Lalu, 5 tahun setelah Papah pergi, mamah menyusul. Ia terkena penyakit kanker payudara.
Aku ingat saat setiap berangkat sekolah, teman temanku diantar oleh ayahnya atau ibunya, sedangkan aku dengan abang. Abang selalu bilang kalo sedih berlarut larut itu gak baik, tapi di fikiran ku hanya ada kejadian saat ayah di bungkus oleh kain berwarna putih yang sekarang aku menyebutnya kain kafan.
"Hah, ingat masa lalu cuma bikin luka baru, mending aku tidur kan sambil menghayal punya pacar yang ganteng, baik hati, tidak sombong dan rajin menabung." Perlahan mata ini tertutup dan nyaman sambil mendengkur halus.
----------
Pagi ini aku terburu buru keluar dari kamar, aku telat. Bel sekolah dimulai 06.30 dan aku baru terbangun 06.10 .
"ABANG, ABANG AYO BURUAN. AEL TELAT BANG." Aku berteriak seperti orang kesetanan sambil memakai sepatu dengan satu tangan, satu tangan lagi untuk memegang roti.
"Iya gak usah teriak teriak bisa kan, abang gak budeg." Abangku muncul dengan pakaian kantoran yang sangat pas, dia memang tampan tapi menyebalkan.
"La, abang hari ini gak bisa anter kamu ya, abang juga ada meeting pagi pagi. Kamu abang kasih upah aja ya, naik ojek online aja biar cepet."