Selama 4 hari Dongbin hanya mengurung dirinya di apartemennya. Masih sulit untuknya mencerna semua yang telah terjadi. Perasaannya sulit untuk ditebak saat ini. Pikirannya hanya berkelana pada semua kejadian yang sudah terjadi. Apa masih ada lagi hal yang tidak ia ketahui? Atau mungkin masih ada kebohongan yang belum ia ketahui. Entahlah.
Perihal Tuan Jeon. Pria yang mengaku sebagai ayahnya itu tidak pernah absen menghubunginya. Bukan hanya menolak panggilan dari Tuan Jeon, semua panggilan yang masuk ke ponselnya ia tolak. Ia sungguh mengurung dirinya, menutup dirinya dengan rapat. Dongbin benar benar tidak ingin diganggu. Baik hati maupun pikirannya masih sulit untuk menyapa dunia luar kembali saat ia menerima fakta yang cukup membuatnya tertampar oleh kejamnya kehidupan.
Ponselnya kembali berdering. Namun tidak ada sedikitpun niatnya untuk menerima panggilan masuk tersebut. Ponsel itu terus saja berdering, mencoba untuk mengabaikan panggilan masuk tersebut, namun gagal. Ponsel itu menjadi sangat berisik saat ini. Sebanyak apapun panggilan yang masuk, tidak pernah seberisik saat ini.
Dongbin menghela nafasnya setelah melihat nama yang tertera, Junghwa. Bahkan Dongbin melupakan perihal tentang gadis yang sudah ia abaikan beberapa hari ini. Pikirannya bukan hanya tentang fakta yang baru saja ia dapatkan, melainkan pikirannya bercabang untuk saat ini.
Menghela nafasnya dengan pelan, Dongbin menjawab panggilan tersebut.
"Dongbin, apa kau baik baik saja? Aku tau kau sedang marah padaku, tapi setidaknya kau hadir dihadapanku.."
"Kau kemana saja selama beberapa hari ini? Kau cukup menyiksa pikiran dan hatiku selama beberapa hari ini. Kau marah denganku itu membuatku sakit, dan sekarang kau menghilang. Apa kau ingin membuatku menjadi gila karena memikirkanmu? Setidaknya berilah kabar kepada Dabin atau Nami jika kau memang marah padaku.."
Dongbin bergeming. Ia hanya mendengarkan semua perkataan yang terlontar keluar dari mulut Junghwa. Perasaannya menghangat saat mengetahui ada seseorang yang menunggu kehadirannya dan mengkhawatirkannya. Tanpa sadar, Dongbin tersenyum menanggapi ocehan gadis yang selalu membuat perasaanya menjadi campur aduk.
"Dongbin, kumohon..hiks..jawablah...hiks..hiks..jangan membuatku khawatir.."
Hati Dongbin terasa nyeri ketika mendengar suara isakan Junghwa. Dongbin sungguh tidak bermaksud untuk membuat gadis tersebut menangis. Dongbin terlalu egois untuk saat ini. Dongbin tetap bergeming walaupun sudah mendengar isakan tangis Junghwa. Sungguh ia ingin menenangkan gadis tersebut. Namun hati dan pikirannya tak sejalan. Panggilan tersebut terputus.
Dongbin menatap ponselnya. Apa seharusnya ia tidak bersikap seperti ini. Kejadian beberapa hari yang lalu seharusnya tidak membuatnya menjadi menutup dirinya seperti ini. Ia yakin bukan hanya Junghwa saja yang mengkhawatirkannya. Tuan Jeon termasuk salah satu orang disekitarnya yang mengkhawatirkannya. Karena pria itu tidak pernah absen untuk menghubunginya.
Dongbin bangkit dari duduknya. Ia pikir semuanya sudah cukup sampai disini. Ia berjalan menuju kamarnya, mengambil jaket yang tersampir pada sandaran kursi dan mengambil kunci mobilnya.
Sementara disisi lain, Junghwa sedang berada di gudang belakang sekolah, tempat Dongbin menghabiskan waktunya. Ia merasa kesepian beberapa hari ini. Dongbin, laki laki itu memenuhi pikirannya. Laki laki itu mendiami Junghwa saja sudah membuat Junghwa menjadi sedikit kacau, sekarang Dongbin tidak menampakkan dirinya beberapa hari ini, ia sungguh khawatir. Bomin, bahkan teman Dongbin yang satu itu tidak mengetahui sama sekali kabar tentang Dongbin.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE : lies and revenge
Mystery / ThrillerDunia kejam? Ya, bahkan sangat kejam. Dunia ini seperti panggung sandiwara. Dimana pun, kapan pun, kemana pun kita pergi, pasti ada sandiwara yang akan disuguhkan didepan mata. Sandiwara yang sangat kejam. Bahkan lebih kejam daripada takdir. Takdir...