Tidak ada yang salah dengan hubungan Hana dan Petra. Mereka seperti sepasang kakak adik yang selalu akur dan menguatkan satu sama lain. Begitu Hana melihat pesan yang dikirim, ia jadi merasa bersalah. Setelah hubungannya dengan Pattar membaik, ia melupakan Petra. Yang ia ingat, terakhir kali ia bertemu dengannya pada pertandingan sepakbola. Hana masih menatap layar handphone yang menampilkan pesan dari Petra. Jarinya mengetik beberapa kata kemudian menghapusnya, mengetik kembali kemudian menghapusnya. Akhirnya Hana hanya mengirimkan satu kata 'ya'. Tidak lama setelah itu, pesan baru masuk. Petra mengatakan bahwa ia akan menjemput Hana di rumahnya pukul 11.00. Hana kembali dibuat terkejut. Ia mengerjapkan mata dan menatap layar handphonenya.
Sebelumnya Reva pernah bertanya apakah Hana bisa memilih salah satu dari kakak adik itu jika mereka terjebak pada situasi hidup dan mati. Hana hanya tertawa mendengar pertanyaan adiknya. Tapi, diam-diam ia memikirkan hal itu, Petra sudah ia anggap seperti saudara kandungnya dan Pattar adalah sahabat seumur hidupnya. Tentu ia tidak dapat memilih salah satu jika dihadapkan pada situasi yang mengharuskan ia memilih. Meskipun ia bilang kalau ia tidak berminat mengunjungi Pattar karena flu yang diderita tapi Hana jelas khawatir. Ia sudah berencana akan datang dan mengecek kondisi Pattar sebelum Petra menghubunginya. Sekarang ia harus memilih mana yang lebih penting. Sudah hampir dua bulan ia tidak bertemu dengan Petra dan Pattar pasti baik-baik saja karena ada Zai di sampingnya. Hana akhirnya membalas pesan itu dengan satu kata 'iya'.
Hana mengenakan kaus kuning, celana jeans biru dan sepatu putih. Ia mengikat rambutnya membentuk kucir kuda dan menyisakan poni di bagian depan. Sebelum pukul 11.00, Hana sudah siap menunggu di teras rumah. Ia tahu betul kebiasaan Petra yang selalu datang sebelum waktu yang ditentukan. Petra datang dengan mobil hitam miliknya. Penampilannya mampu membuat Hana terpaku. Rambut hitamnya dibiarkan jatuh seperti biasa, ia mengenakan kemeja hitam kotak-kotak dan earphone yang melekat pada telinga kanannya.
"Sudah lama?" Petra tersenyum sambil mengusap puncak kepala Hana.
"Baru aja kunci pintu." Hana menjawab dengan satu tarikan napas. Aura Petra luar biasa cerah meskipun ia dibalut dengan pakaian serba hitam.
"Ayo." Petra membalikkan bandannya menuju mobil.
Hana mengikutinya dari belakang. Seperti biasa, Petra membuka pintu bangku penumpang di samping kemudi dan menutup kembali pintunya setelah Hana masuk.
"Kita mau kemana?" Hana bertanya menatap Petra yang baru saja masuk ke kursi kemudi.
"Timezone." Petra mencondongkan badannya ke arah Hana dan memakaikan sabuk pengaman.
Hana sempat menahan napas ketika tubuh Petra berada sangat dekat. Ia berusaha mengembalikan kesadarannya dengan menggelengkan kepala, "Katanya ada yang perlu diomongin. Kok timezone?"
Petra hanya tersenyum, "Gimana kuliahmu?"
"Pengalihan topik yang bagus. Ya, gitu. Ternyata benar kata Abang, kuliah enggak semenyenangkan itu. Aku sudah beberapa kali enggak tidur karena laporan."
Petra kembali tersenyum. Sesekali ia melirik Hana yang sibuk bercerita tentang teman-teman dan beberapa dosennya. Hana memang cerewet jika sudah menemukan tempat curhat.
Mereka tiba beberapa menit kemudian. Petra langsung mengisi kartu dengan jumlah yang tidak sedikit. Hana sempat dibuat terkejut ketika melihat struk yang diberikan pelayan di balik etalase. Mereka memainkan banyak permainan bersama. Ketika Hana sibuk dengan mesin penjepit boneka, Petra berdiri disampingnya dengan sebotol air mineral. Hana berseru kesal ketika ia gagal meraih boneka yang ia inginkan. Dengan santai Petra mengulurkan botol air mineral -yang sudah ia buka- pada Hana yang kelihatan kesal. Hana menyambut botol itu segera dan meneguk isinya. Setelah itu, ia mengembalikan botol pada pemiliknya. Petra menerima botol itu dan meneguk isinya.
"Loh kok minum punyaku?" Hana mengajukan protes ketika melihat Petra minum dari botol yang sama.
"Ini namanya indirect kiss."
Hana menatap laki-laki di depannya dengan mata menyipit, "Abang, sehat?"
"Dari kecil juga kita kan sering minum segelas. Jangan berlebihan gitu."
Hana bernapas lega, sekilas ia sempat memikirkan kemungkinan Petra menggodanya. "Makanya jangan kebanyakan gaya. Isi kartu sampe dua ratus ribu, giliran beli minum cuma satu."
Petra tertawa kecil melihat Hana yang sewot sambil berusaha terus mengambil boneka yang ia incar.
Setelah menghabiskan seluruh isi kartu di depan mesin penjepit boneka, akhirnya Hana menyerah. Kini ia sedang berdoa di depan mesin penghitung tiket, ia berharap tiketnya cukup untuk mendapatkan sebuah boneka yang mirip dengan boneka incarannya tadi. Hana bersorak gembira ketika mendapati jumlah tiket yang ia dan Petra kumpulkan cukup untuk menebus sebuah boneka. Hana memeluk boneka berbentuk bebek itu dengan erat. Laki-laki di sampingnya hanya tersenyum geli.
Mereka makan di salah satu restoran cepat saji. Siapapun yang melihat mereka pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih karena kini Hana tengah merengek meminta es krim pada Petra. Petra sengaja tidak langsung menuruti permintaan gadis itu untuk melihatnya merengek. Mereka memilih meja yang berada di ujung dan dekat dengan ruangan karyawan. Hana memakan es krimya dengan lahap. Petra mendapati rambut gadis disampingnya sedikit berantakan karena ia sempat meremas rambutnya ketika gagal mendapatkan boneka. Salah satu tangannya bekerja menopang kepalanya yang mengahadap ke arah Hana dan tangannya yang lain sibuk menyentuh helai-helai rambut gadis itu.
"Abang, kenapa sih senyum-senyum terus?" Hana masih disibukkan dengan kegiatan menyendok es krim di tangannya.
"Gak apa-apa. Senang aja, akhirnya bisa main sama kamu setelah satu semester lewat." Tangan laki-laki itu bergerak mengusap puncak kepala Hana.
Hana menghentikan tangan Petra, "Abang gak boleh sering-sering gini. Nanti ada yang salah paham loh."
Petra tertawa kecil, "Siapa? Pattar?"
"Ya bukan lah, ngapain juga Pattar salah paham. Pacar Abang nanti yang salah paham."
"Pacar? Kan kamu tahu kalau Abang nggak punya pacar."
"Oh, kirain sudah. Gosipnya tuh kemaren Abang pedekate sama anak FISIP. Temen-temenku banyak yang patah hati loh denger berita itu."
"Kalau kamu, patah hati gak?" Petra menatap Hana serius.
"Ya enggak lah, kan Abang tuh abangnya aku." Hana tidak menyadari tatapan mata laki-laki di sampingnya tengah terkunci menatapnya.
Petra menghela napas pelan, ia juga bingung itu tanda lega atau tanda kecewa. "Kamu sama Pattar dulu ada hubungan apa?"
Hana menghentikan kegiatannya, ia menoleh tidak percaya. "Maksud Abang hubungan apa?"
"Waktu SMA, kalian 'kan pernah nggak akur selama hampir dua tahun. Itu bukan karena kalian ada hubungan lebih dari sahabat?"
Tawa Hana pecah. Ia sampai memukul pundak laki-laki yang menatapnya polos.
"Aku sama Pattar benar-benar sahabatan, walaupun dulu aku putus sama Sion karena dia, tapi kami benar-benar enggak punya hubungan apapun selain sahabat."
Petra kembali menghela napas. Seperti ada beban yang diambil dari pundaknya. Ia merasa riangan dan bahagia. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Hana menerima sebuah telepon, ia tiba-tiba berdiri dan berseru panik.
"Pingsan? Jangan bercanda. Iya, gue ke sana sekarang."
Part kali ini full moment Petra-Hana. Tapi tetap, Pattar mengganggu. Ya, segitu dulu untuk hari ini.
Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Story ✓
Novela JuvenilHafta Petramula dan Dwiyata Pattareksa adalah saudara kandung. Petra dan Pattar, mendengar nama mereka saja sudah membuat orang lain terkagum. Nama mereka terdengar serasi sebagai kakak-adik, namun hubungan mereka tidak sekompak nama. Pertalian dar...