Malam itu setelah mencuci kaki dan wajah, Icha keluar dari kamar mandi, ia duduk dikursi meja rias dan mengaplikasikan berbagai perawatan wajah agar nampak lebih cerah.
Perempuan dengan gaun tidur renda sebatas pertengahan pahanya dan tali gaun sebesar mi instan itu menyisir rambutnya hingga rapi kemudian menggunakan bando agar anak-anak rambutnya tidak menutupi wajahnya.
Tangan putih mulus itu meraih sebuah botol bertuliskan toner disana. Icha meringis kesal ketika mengingat bahwa hampir seluruh wajahnya sudah pernah dicium oleh Zero.
Kakaknya yang semakin hari ke hari semakin gila, Icha ingat dulu Zero juga sering melakukan hal-hal kecil semacam ini-- tetapi itu terdengar wajar saja seperti meminta ciuman ketika ia masih kecil.
Sekarang Zero berubah semakin posesif. Dulu Zero selalu menemaninya kemana pun ia pergi, dulu Zero teman bermainnya ketika dirinya tidak diizinkan keluar, dan dulu Zero pahlawannya ketika Papanya sedang bertugas keluar negeri. Tapi itu dulu, sekarang Zero sudah berubah ketika usianya sudah menginjak 15 tahun. Pria itu seolah mengajarkannya hal-hal berbau dewasa.
Melarangnya berpacaran, tidak boleh berdekatan dengan lawan jenis, bahkan di kontak ponselnya harus di seleksi Zero. Sangat posesif kadang Icha heran apa gunanya melakukan itu? Tetapi semakin di tolak maka Zero semakin gila, bahkan ponsel Icha sempat rusak karena Zero melemparkannya ke lantai, walaupun ujung-ujungnya Zero juga akan memberikannya ponsel baru.
Icha menggelengkan kepalanya menghilangkan bayangan-bayangan Zero. Ia beranjak melangkah menuju kasur. Ia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya terlebih dahulu sebelum akhirnya menyusun boneka-boneka beruang dikasurnya, ia penakut untuk tidur sendiri makanya banyak boneka dikamarnya seolah menemaninya. Dulu waktu Icha kecil Zero lah temannya tidur, ketika usia Icha 5 hingga 10 tahun.
Icha melepas bandonya, ia menjatuhkan tubuhnya dikasur sambil menarik selimut. Icha menoleh kearah balkon ketika mendengar suara rintik-rintik hujan. Tangan Icha meraih boneka beruang raksasa itu dan memeluknya menyembunyikan wajahnya diketiak boneka itu.
"Kakak ada Cha untuk dipeluk,"
Icha membeku, ia tidak bergeming sama sekali dari posisinya. Apalagi ketika merasakan sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya dan tiba-tiba Boneka beruangnya sudah melayang kelantai. Icha terkejut seraya menoleh kebelakang menatap Zero yang menatapnya dengan tangan yang bertopang sebelah.
"Ka-Kak Zero," Icha menahan nafasnya saking terkejutnya dengan kedatangan Zero yang bahkan Icha tidak menyadarinya.
"Kenapa sayang?" Zero membalikkan tubuh Icha agar menghadapnya.
Icha menggelengkan kepalanya, "Engga!"
Icha mendorong dada Zero menjauh. Bagaimana bisa kakaknya ini tiba-tiba sudah berada dikasurnya tanpa sepengetahuannya.
Zero terdiam, ia menatap Icha yang terasa kecil dihadapannya. Dalam batinnya tidak hentinya ia memuji kecantikan gadis kecilnya.
"Sudah berani sama Kakak?" tanya Zero tiba-tiba membuat dorongan di dadanya menghilang.
Icha meringis lalu menggeleng, "Kak, jangan kayak gini," kata Icha sambil mendongak menatap Zero.
Zero hanya diam tidak membalas ucapan Icha, ia lebih sibuk menciumi puncak kepala Icha mengirup aroma stoberi yang terasa sangat manis.
"Kak?" panggil Icha menyadarkan Zero.
"Hm?"
Icha memundurkan tubuhnya walaupun tidak bisa karena tangan dan kaki Zero sudah melilit ditubuhnya. "Jangan kayak gini, kita saudara kak,"
"Kenapa memangnya kalau saudara gak boleh berpelukan?"
"Kak ini kelewatan ..." rengek Icha, ia memukuli lengan kokoh Zero yang terasa sangat erat melingkar di pinggangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVER BROTHER
Teen FictionHidup Icha Savira Zivanni (18) tidak pernah tenang dengan sikap kakak sepupunya yang kelewatan batas. Zero Axanders Xiamoraga (27) Seorang pria dewasa pemilik perusahaan teknologi. Icha tidak mengerti dengan sikap Zero yang sering mengekangnya, mela...