Sepuluh

137 29 2
                                    

"Idih ngapain lo ke sini? Stalker ya lo? Ngaku deh!" Diora mendelik tidak suka.

"Kalo bukan karena nyokap, gue juga ogah disuruh ke sini. Apalagi ngeliat lo, muntah rasanya," sambut Diego tajam.

Diora mencebik, baru saja hendak membalas, suara dehaman dari mulut Bagas membuatnya seketika sadar jika cowok itu masih di sini. Dan Bagas melihat betapa sengitnya suara Diora tadi. Akhirnya Diora mendesah berat.

"Udah deh, gue lagi males ribut sama lo," sahut Diora kemudian.

"Kenapa?" Diego bersedekap. "karena ada pacar lo?"

Diora segera mendelik marah pada Diego yang asal ucap itu. Memang, mulut Diego harus dijahit saat ini juga karena terlalu turah. Sial. Diora jadi tidak tahu harus menjawab apa sekarang.

"Dulu," kata Bagas singkat, tanpa lupa mengulas senyum lebarnya.

"Ha? Oh udah putus." Diego mengangkat bahunya tidak peduli dengan wajah marah Diora di sana. Lalu dia melengos.

"Anu, Kak, maaf ya. Tetangga baru gue itu gak waras jadi gak usah ditanggapin," ujar Diora pelan.

Bagas menampilkan senyum hangat bagaikan temaramnya lampu. "Gak apa-apa. Tadinya saya malah kira kamu dekat dengan dia, Ra."

"Ha? Gue deket sama dia? Amit-amit deh!"

"Berantem terus?" tebak Bagas.

Diora memutar bola matanya. "Gak usah pake ditanya, Kak. Pokoknya setiap ketemu pasti gue adu mulut sama dia, untung aja gak nyampe baku hantam," katanya menggebu. "Gila kan, Kak?"

Bagas tertawa renyah, seperti keripik kentang, membuat Diora seakan bernostalgia. "Tapi jangan keseringan, Ra. Mau gimana pun dia udah jadi tetangga kamu, kan?"

"Jujur ya Kak, gue sih sebenernya fine-fine aja sama ortunya tapi dia itu lho yang buat naik darah. Stres."

"Astaga, kamu masih lucu ya kalo marah. Gak ada yang berubah." Jemari Bagas hendak mengusap puncak kepala Diora namun urung. "Saya pesenin Chatime kesukaan kamu ya? Biar gak panas banget."

"Eh, gak usah, Kak. Gue gak bawa duit soalnya, uang jajan hari ini juga udah abis. Gue juga gak mau dibeliin," ucap Diora merasa tidak enak, posisinya pun sudah tidak enak. Dia sudah mulai merasa nyaman di samping Bagas. Duduknya yang tadinya berjarak kini sudah terkikis.

"Gak apa-apa. Saya juga beli, kok. Ini hitung-hitung teman menunggu Mama sama Ibu."

"Eh ya udah deh kalo gitu." Diora mengalah.

Sembari menunggu Chatime datang, Diora dan Bagas kembali bertukar cerita. Kebanyakan memang Diora yang bercerita karena cewek itu terlampau semangat apalagi ketika keluh kesah kuliah tercurah. Sudah deh, Diora tidak akan istirahat dua hari dua malam. Tanpa peduli dengan janji untuk tidak lagi dekat dengan Bagas, Diora kembali berceloteh dan sesekali tertawa. Pesanan mereka datang, Bagas setengah berlari untuk mengambil pesanan itu lalu kembali, wajah cowok itu bak sudah lama menanti cerita kehidupan Diora. Tanpa sadar mereka mengulang kebiasaan mereka ketika berpacaran, duduk di bangku beton di FKIP, bercerita berjam-jam atau ketika menaiki motor.

Tidak tahu berapa lama waktu yang mereka habiskan, tibalah akhirnya ketika Mama menghela Ibu Bagas dan juga Tante Rita keluar, pertanda jika urusan mereka sudah selesai. Tanpa sadar Diora menghela napasnya berat. Dia melihat Bagas berpamitan dengan Mama.

"Ra, saya pulang ya."

Diora mengangguk melepas Bagas pulang. Senyumnya masih terkembang namun ketika melihat Diego wajahnya berubah kecut.

"Ra, ayo pulang sama Tante," ajak Tante Rita ditambah isyarat tangan.

"Gak usah, Tan. Saya di sini aja nemenin Mama," tolak Diora, berusaha menjaga suaranya tetap pelan.

"Ck! Bunda ngapain sih ngajak dia? Yang ada nih jok mobil abis digigitin sama dia." Diego menuding Diora.

"Eh mulut ya sempak kendor, dasar mulut udah mulur ya gitu."

"Astagfirulloh, nyebut, Ra!" tegur Mama di samping Diora. "Maaf ya, Mbak. Diora biarin di sini aja sama saya."

Tante Rita tersenyum lalu berpamitan dan mobil itu akhirnya melaju setelah sebelumnya Diora memeletkan lidah pada sang pengemudi.

"Ra, kamu sama Bagas itu beneran putus, ya?" tanya Mama setelah kembali di dalam butik. "Padahal mama suka lho sama Bagas, anaknya itu rajin, ramah, pinter lagi."

"Karena itu Ma aku putus. Karena aku gak sesuai sama Kak Bagas," jawab Diora dengan pundak menurun lesu.

"Gak sesuai gimana? Kamu kan juga pinter."

"Mana ada. Ah udah ah, aku gak mau bahas."

"Tapi kamu masih suka kan sama Bagas? Hayo ngaku."

Diora mengambil Chatime yang masih tersisa itu dari atas meja lalu mulai meminumnya, sampai saat ini pun Bagas masih mengingat varian Chatime kesukaannya.

"Yaa kalo aku sih masih suka Ma, tapi udah deh," ujar Diora. "Aku juga gak yakin kalo bakal balikan."

Mama mengangguk. "Tapi kamu jangan lupa main ke rumah Bagas, ya silaturahmi aja. Sebulan sekali gak apa-apa, cuma biar gak dianggap sombong."

Kali ini gantian Diora yang mengangguk. "Iya kalo aku sempet, Ma."

Malam harinya, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, Diora pergi ke King bersama dengan Panji. Hanya berangkat saja karena untuk pulangnya Diora harus meminta Wildan menjemput.

"Goblok asli si Rahman. Gue bilang beli hand sanitizer malah dikasih pelumas Sutra," omel Panji sebagai pembuka acara malam itu. "Gue kaget lah anjir, pas gue make kok licin gak kelar-kelar, pas liat lah tolol. Untung gak ada yang ngeliat."

"Ya gak gitu, Nji. Gue kira tuh yang di deket kasir semuanya hand sanitizer, soalnya sama," Rahman membela diri. "Harusnya lo dong yang lebih aware."

"Alah lo bedua sama aja." Diora menyesap kopi hitamnya. "Tapi goblok juga sih anjir, tapi lucu juga."

"Gak lagi-lagi dah gue nitip sama lo. Gak ada yang bener, Man."

Ani menyahut, "Emang gokil apa lo gak sadar pas beli?"

"Dua-duanya," kata Rahman. "Udah deh lo bedua, gak usah nyudutin gue. Ngudud aja lebih enak." Lalu dia mulai mengisap vape rasa jeruk favoritnya.

"Tapi emang di antara kita berempat, lo doang sih Man yang gokil kelewat goblok. Eh becanda, tapi boong." Diora nyengir kuda. "Eh gue mau ngomong serius, jadi Abang gue mau buka photo studio gitu, nah lo-lo kalo punya sodara apa kenalan bisa tuh tawarin. Mumpung diskon pembukaan lima puluh persen."

Panji berdecak kagum, "Anjrit, bolehlah itu. Ntar pas gue wisuda masih ada, gak?"

"InsyaAllah photo studio-nya masih ada, tapi gila aja kali masih diskon setengah harga."

"Ada limit-nya, gak?"

"Ada sih, cuma untuk tujuh orang."

"Gila ya Kakak lo itu, businessman banget orangnya. Gue mau lah belajar juga dari dia," kata Panji. "Jaman sekarang kan bisnis itu segalanya, gue jadi gak perlu disuruh tapi nyuruh. Lo bisa jadi bawahan gue, Man."

"Idih anjing lah lu!" Rahman menyikut Panji.

Selang dua jam kemudian, acara kumpul-kumpul mereka selesai. Diora menunggu Wildan datang menjemput ditemani oleh Rahman. Barulah ketika sedan itu datang Rahman beranjak pulang.

Merebahkan badan di atas kasur, kedua mata Diora sudah terasa memberat, pandangan matanya mengabur menatap langit-langit kamar. Namun telinganya masih siaga mendengar celotehan ramai orang dari kamar di seberang kamarnya, kamar Diego. Suara-suara itu sebentar terdengar namun sebentar terasa samar-samar, tubuh Diora yang sudah lemas dan lelah itu tak mau menanggapi keributan yang terjadi. Badannya minta untuk diistirahatkan segera, tak butuh waktu lama Diora sudah masuk ke dalam buaian mimpi.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang