Part 14 : Kesialan yang bertubi-tubi

146 5 0
                                    

        Desiran ombak yang semakin membuat suasana ini menjadi hidup membuatku tersenyum lebih lebar lagi. Ternyata tante Ami sudah mengetahui kegigihanku menakhlukkan hati anaknya, yang dijuga sempat disaksikan oleh almarhum Deska pada saat itu. Aku memeluk Bilal seerat-eratnya seperti tak ingin menghilangkan momen-momen yang tak pernah dapat kulupakan seumur hidupku ini.

            Aku mengajak mereka bertiga untuk bergabung di meja kami, ku gabungkan 2 meja menjadi satu, lalu menata kursi serupa makan malam keluarga, yang sempat kurasakan sewaktu posisiku sebagai Sheina Oriza, yaitu sebagai seseorang perawat yang dibayar untuk menjaga orang tua Bilal. Tawaku kini lebih lepas dari hari itu, tak ada yang harus kututup-tutupi lagi, tatapanku ke Bilal, ketulusan tanpa pamrih untuk tante Mia, pelukanku untuk Bilal, dan perhatianku untuk keluarga ini.

            Sepulang dari pantai, laju mobil Bilal menuju arah rumahku sengaja ia perlambat. Alasannya sangat lumrah dikalangan sepasang kekasih, yaitu karena ingin menikmati waktu berdua lebih lama. Seperti sepasang merpati yang tidak ingin dipisah sedetikpun, namun jam malam rumahku tetap ditegakkan oleh mama, pukul 9 malam. Boleh kurang dari jam itu, namun tak boleh lebih. Sebab konsekuensi yang akan kami dapatkan akan lebih parah dari yang kalian kira, yaitu uang jajan yang dipotong, juga larangan si butut untuk menemaniku.

            Meskipun Bilal dan mama lebih terlihat akrab di bandingkan denganku, namun peraturan itu tak akan pernah hilang. Kami tiba di kediamanku pukul 9 malam, kurang 15 menit lagi. Syukurlah.

“makasih yah udah di antar pulang “, kudekatkan tubuhku kemobil dimana Bilal duduk seusai aku turun.

“sama-sama sayang “, kecupan di kening ku dengan kecepatan lebih dari sambaran kilat Bilal daratkan ke keningku.

“ehh.. nanti mama liat lo, lincah banget sih ambil kesempatan”, spontan kutarik badan sedikit menjauh dari Bilal, takut kalau-kalau nanti terlihat oleh mama, dengan sedikit senyuman malu-malu.

“ia deh, kalau gitu, aku pulang yah, good night” , Bilal melambaikan tangan kirinya sembari menjalankan mobilnya. Lalu ia hilang di ujung gang ku.

            Kubuka kunci pagar rumah, masuk kedalam halaman, lalu menggembok pagar. Terlihat mama yang sedang asik menatapku di kursi halaman. Alamak.. mama disitu.. ini belum lewat jam 9 kan .. ??, jantungku seperti berdenyut dumm.. dumm.. cess.. tak biasanya mama duduk menikmati halaman rumah sampai selarut ini. Mungkin jarum jam sudah melewati pukul 9 malam, mati aku.

tau sekarang jam berapa nak ?”,tanya mama tanpa ekspresi yang kuyakini, kini pukul 9 lewat.

“jam 9 kurang 5 menit mah”, senyum bahagia kulontarkan ke mama.

“coba deh kamu liat jam ruang tamu”, balas mama dan lagi-lagi tak menorehkan sedikit senyuman.

“udah setengah sepuluh mah”, ternyata aku melewati batas waktu mama. Sudahlah. Hukuman menantiku.

“kamu berarti harus dapat hukuman yah, sportif yah, meskipun kamu yang paling tua disini bukan berarti kamu bisa melanggar peraturan mama, meskipun mama juga tau dengan siapa kamu pergi”, mama memulai ceramah malam harinya, dan sebagai anak seharusnya aku harus mendengarkannya.

“iya mah”, sedikit mendesah sembari menarik nafas perlahan.

“kalau gitu Aku masuk dulu mah, aku janji nggak bakalan ngulanginnya lagi” tambahku sambil mengangkat sepatu masuk kerumah.

            Oh god, aku yakin nggak telat malam ini. Tapi kenapa jam ruang tamu berbeda setengah jam dengan jam tanganku. Mungkin jam tanganku tadi sempat mati kali yah?, ah sudahlah, sekarang waktunya ganti baju, mandi, lalu istirahat. Besok hari bakalan panjang tanpa si Butut, juga uang jajan, dan mungkin ada hal tambahan lagi dari mama. Hufft.

Conquer Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang