Cellphone

14 2 4
                                    


Jantungku berdebar, bertanya-tanya siapakah yang akan turun dari mobil itu.

"Kumohon, kali ini jangan buat aku kecewa."

Aku sangat berharap bahwa dia yang keluar dari taksi warna biru itu. Setelah 5 menit memperhatikan taksi itu, tak ada seorang pun yang keluar. Mungkin karena hujan yang masih lumayan deras. Ponselku bergetar, panggilan masuk dari dia yang entah di mana sekarang membuyarkan pikiranku.

"Hey, aku di dalam taksi, di depanmu."

Mendengar suaranya yang berkata seperti itu tanpa pikir panjang aku langsung berlari kearah taksi biru itu tanpa mematikan telpon darinya. Tak pernah seperti ini, aku tergesa-gesah. Seperti slowmotion, langkah kakiku seakan bisa dilihat dengan gerak lambat. Setiap pijakan yang terhempas ke beton lahan parkir swalayan itu memecah genangan air dengan kekuatan penuh. Bagian ini lebay sekali.

"Basahlah seluruh pakaian dan rindu-rindu yang terbalaskan oleh dekap dan dinginnya air hujan."

Kujadikan captions di status sosmedku dengan foto sepatu dan kaos kaki yang basah. Setelah menolak tawaran untuk mampir sejenak di rumahnya, aku berpikir dalam kondisi kedinginan karena semua sudah basah. Kuputuskan untuk segera pulang. Kupacu sepeda motorku dan melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda melalui telpon sambil menghangatkan badan dengan selimut tebal. Itu saja sudah sangat menyenangkan. Meski harus basah-basahan setelah sekian lama menunggu menjadi pelepas rindu di pertemuanku dengannya.

Hari ulang tahunnya tiba. Aku sudah sempat memilihkan hadiah untuknya. Mungkin tak seberapa, hanya aku yang menganggapnya istimewa untuk diberikan padanya. Kemarin juga, aku sempat bertemu dengannya di swalayan. Bercerita seperti biasanya sambil menatap senja.

"Udah lama ya, kita enggak begini sejak terakhir kali. Kamu tau? Aku ngerasa bersalah karena pergi tanpa ucapan apa-apa waktu itu."

Dia mencurahkan semua isi hatinya padaku. Tentang banyak hal yang membuatnya gelisah dan rindu. Meski aku dan dia belum ada hubungan apapun, tapi sudah seperti saling mencintai. Itu cuma pendapatku saja. Dia juga menyuruhku untuk datang kerumahnya saat ulang tahunnya. Aku pun menerima ajakannya.

Dengan berani, kulangkahkan kakiku di pekarangan rumahnya yang tak terlalu luas. Ada beberapa orang temannya termasuk adik dan ayahnya yang terlihat duduk sambil berbincang bersama. Sambutan mereka sangat ramah, aku jadi betah berbincang dengan ayahnya dan di situ pula aku baru tau kalau dia sudah ditinggalkan sosok ibu saat usia adiknya masih 7 tahun. Sungguh tak terduga kehangatan keluarga itu tetap terjaga meski hanya dari seorang ayah.

"Saya bisa tau kalau kamu suka sama putri pertama saya, iya kan?" tanya lelaki anak dua itu padaku sambil berbisik.

Aku hanya tertawa, karena tak bisa menjawab pertanyaan darinya. Malam itu benar-benar menjadi malam yang sangat berkesan, meski tak seperti acara ulang tahun pada umumnya. Sebelum aku pulang, ku serahkan hadiah ulang tahun dariku untuknya. Pesanku, jangan dibuka dulu sebelum aku sampai di rumah. Setelah aku mengabarinya melalui WhatsApp chat di kamarku, dia membuka hadiahnya. Dia terkejud karena ternyata hadiah yang kuberikan padanya adalah sebuah buku.

"Aku baru tau kalau kamu ternyata penulis buku quote. Kok kamu enggak pernah cerita, sih?" dia memintaku menjelaskannya.

Aku memang tak pernah bercerita tentang itu padanya. Tak bermaksud membuatnya terkejud, aku memang tidak ada niat apapun. Yang dia tau, selama ini aku hanya menulis quote untuk captions status di sosmed.

"Mungkin pertemuan kita tak istimewa, tapi bukan berarti kita tidak bisa saling cinta."

dari 'Bukan Puitis'

Kubaca statusnya beberapa menit yang lalu sebelum tidur dengan foto buku yang kuberikan padanya. Aku tersenyum sekaligus baper, karena kupikir dia menyukai hadiahku.

Semenjak dia pulang, hampir setiap hari aku ditemani olehnya. Duduk di depan swalayan dan tertawa di sore hari seakan menjadi moment yang tak terlupakan. Setiap kali dia membahas tentang hadiah ulang tahun itu, seolah dia sangat penasaran. Kupikir tak ada orang yang merespon seperti itu, tapi dia memang lucu. Kalau kuingat ingat apa yang dikatakan ayahnya waktu itu, aku jadi berpikir mungkin memang benar, aku menyukainya.

"Aku selalu memikirkanmu, walau tak dapat apa-apa." kutulis captions itu di statusku sambil merebahkan badan di kamar.

"Ciee... Mikirin siapa sih?" dia memberikan komentar.

Aku jawab seolah itu bukan apa-apa, padahal yang aku maksud adalah dia. Meskipun masih penasaran, sepertinya dia mencoba berpikir positif. Kukira aku bisa saja mengucapkan tentang perasaanku padanya, tapi belum saatnya. Aku harus bekerja.

Sore itu kulihat dia sedang bicara dengan seorang pria di depan swalayan. Aku sengaja tak membawa motor karena aku pulang cepat saat bekerja. Berhubung tidak jauh dari rumah aku jalan kaki saja, hitung-hitung olahraga. Meski cukup jauh tapi aku bisa melihat jelas pria itu sedang bicara dengannya. Kucoba sembunyi dan melihat situasi. Tak lama dia pergi dengan motornya. Aku pura-pura tidak tau saat dia melintas di depanku sambil berjalan kearah swalayan.

"Oi..." kusapa dia yang termenung dari jauh.

Dia membalikkan badannya ke arahku dan langsung melambaikan tangannya. Aku tak menanyakan tentang pria yang tadi bertemu dengannya. Aku hanya menceritakan hal lain sambil duduk di sebelahnya.

"Aku suka kamu, loh." kata-katanya mengagetkanku saat aku sedang bercerita dengannya.

"Haa... Apa?" jawabku keheranan.

"Aku suka kamu." dia mengulangi perkataannya sambil tersenyum kearahku.

Auto senam jantung.

To be continued...

Bukan Puitis (Short story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang