PART 14

3.4K 361 55
                                    

"Tolong siapkan brankar kosong, Pak Bian! Habis itu bawa ke depan UGD! Saya mau nungguin pasien di sana nanti!" ujar Aldi Wiryawan dengan raut wajahnya yang begitu buruk dipandang.

Berjuta kecemasan tengah menghampirinya saat ini dan semua tentu saja karena Inna Bastari, wanita yang selama ini selalu bertahta di dalam hatinya. Kendati dirinya adalah seorang dokter, namun ia juga manusia biasa yang memiliki rasa takut.

Butiran keringat halus bahkan mulai bermunculan di kening datarnya, menciptakan banyak dugaan dari dua orang perawat yang ia tugaskan untuk ikut menunggu bersamanya di sana.

Benar saja. Ketika mobil putih yang memiliki nomor plat DH 5732 A3 itu memasuki pintu gerbang Rumah Sakit Umum Naibonat, suara Aldi pun besar terdengar, "Pak Bian, bawa brankarnya ke sini cepat!"

"Ba..baik, Dok." Membuat Fabianus Manek yang bekerja sebagai seorang mantri sejak lima tahun itu pun terkejut.

Aldi seperti seekor Singa yang sedang kehausan di padang gurun, bahkan ia juga tak mau memedulikan bagaimana tanggapan Torra nanti tentangnya, "Buka pintunya cepat!"

Brak brak brak

Aldi terus memukuli kaca mobil di bagian tengah setelah ia sempat mengintip tadi, dan sungguh ini sangat bertolak belakang dengan pencitraan yang dibangunnya selama menjadi dokter kontrak di tanah Timor, "Anda bisa sopan sedikit tidak?"

"Brengsek! Jangan banyak bicara! Aku dan Inna masih bersaudara walaupun tidak terlalu dekat, Bajingan! Cepat buka pintunyaaa...!" Terlebih Aldi bahkan rela menciptakan satu kebohongan, agar dapat sedikit leluasa atas diri Inna Bastari.

Tertegun dengan apa yang baru saja didengarnya, secepat kilat Torra merapatkan posisi mobilnya untuk semakin dekat dengan jalan masuk menuju ke Unit Gawat Darurat, lalu membiarkan kunci pada pintu bagian tengahnya terbuka.

Tak menunggu lama, pintu tersebut pun dibuka oleh Aldi dan reaksi yang ia tunjukkan kian membuat hati Torra mencelos tak berdaya, "Astaga, Inna! Apa yang terjadi padamu, Sayang! Kenapa jadi begini, In? Pak Bian, dekatkan brankarnya!"

Bibirnya bahkan bungkam tanpa berniat untuk dibasahi seperti yang biasa ia lakukan, namun pandangan matanya tidak berhenti mengawasi setiap pergerakan Aldi, Mantri yang dipanggil Bian tadi, dan juga seorang perawat tua di depannya. Ketigaanya mengangkat tubuh lemah Inna, meletakkannya di atas brankar besi, lalu mendorong roda besi itu menjauh darinya.

"Tuhan, tolong..." Dua kata tersebut, terlepas begitu saja dari pita suara Torra saat iring-iringan Aldi kian menjauh. Secepat kilat ia menutup kembali pintu bagian tengah mobil dan menekan tombol kunci pada remote mobil yang ada di tangannya. Melebarkan kaki untuk mencari keberadaan Inna adalah hal yang ia lakukan setelahnya, karena rasa takut itu semakin terasa seiring dengan degupan keras jantungnya.

Masuk ke dalam koridor UGD RSUD Naibonat, ternyata seorang perawat jaga memintanya untuk berhenti melangkah dan menunggu di luar, "Tidak bisa ya, Pak. Ini sudah prosedur dari rumah sakit, jadi silahkan bapak duduk duduk dulu di kursi ini atau mau tunggu di luar pun boleh."

"Tapi, Sus. Istri saya--"

"Tidak bisa, Pak. Ini bukan Bapak punya rumah. Saya banyak pekerjaan, permisi!" Jadi yang bisa Torra lakukan adalah menunggu segala ketidakpastian tentang Inna dan calon bayi mereka dengan sabar.

Sementara itu di tempat lain, Aldi pun tak ubahnya seperti yang Torra rasakan. Ia mengecek, memeriksa serta melakukan semua tindakan medis terbaik di tubuh Inna dengan cepat, tanpa berniat untuk memperburuk keadaan, "Denyut nadinya masih ada. Darah belum juga berhenti, biar saya coba periksa bagian dalamnya dulu!"

Perawat benama Martina dari ruang bersalin pun ia bawa meenuju ke UGD untuk membantunya, sebab wanita tua itulah yang sempat menangani kasus pertama Inna sebelas hari lalu, "Siap, Dok. Tensi 60 per 70. HB turun drastis dari riwayat sebelumnya ini, Dok!"

Kian berjibaku menyingkirkan waktu buruk yang sedang menyapa, suara Aldi semakin lantang terdengar dari balik masker yang ia kenakan, "Transfusi, SusTina. Tolong bilang ke perawat jaga untuk terus ke bank darah, tuh. Golongan darahnya O rhesus positif. Jangan sibuk dicek-cek lagi, karena ini lebih parah dari yang kemarin!"

Ada nada memerintah yang jarang sekali terjadi selama ini padanya, namun tak ada satu keengganan pun dari orang-orang di sekelilingnya, "Oke, Dok. Pak Bian sudah pergi itu."

Atmosfer buruk yang membuat Aldi melakukannya, "Baiklah. Siapkan ruangan operasi, Mak Tina. Detak jantung bayinya nggak kedengaran kan dari tadi ini?"

"Ampun dosa... Apa tidak bisa prematur ini, Dok? Saya ingat apa kata ibunya kemarin, kasihan..." bahkan perawat tua bernama Martina yang sering bersama Inna ketika wanita itu menginap di rumah sakit, pun membawa perasaannya di sana.

"Apapun yang terjadi, ibunya harus lebih dulu diselamatkan! Ini gagal janin yang lebih parah dari kemarin. Coba Sus Tina cek sekali lagi pakai fetal dopler. Siapa tahu ultrasonography yang saya pakai barusan lagi error," jawab Aldi seperti orang bodoh, membuat mata tua Martina menjadi berkaca-kaca.

"Tidak usah, Dok. Saya minta mereka siapkan surat untuk suami pasien tanda tangani saja biar tidak buang-buang waktu. Darahnya masih mengalir juga kan, Sus Mira?" Martina melirik ke arah Miranda yang masih sibuk mengecek dan membersihkan lelehan darah yang keluar dari jalan lahir, sembari melemparkan pertanyaan.

Ikut bersuara, Miranda juga melakukan hal yang sama dengan Martina, "Iya, Mak Tin. Kemarin tuh bagaimana sampai darahnya bisa berhenti? Kan sebelum masuk ke ruang bersalin, darahnya tetap mengalir itu."

"Pakai obat yang saya masukkan tadilah, Sus Mira. Sudahlah. Itu nanti biar saya yang atur. Intinya cepat siapkan ruangan operasi biar bayinya bisa secepatnya dikeluarkan. Pasien masih punya hubungan keluarga sama saya, jadi kalau suaminya nggak mau tanda tangan juga nggak apa-apa. Nanti biar saya yang bertanggung jawab!" Dan pertanyaan Miranda pun mendapat penegasan keras dari sang Obygn.

Tanpa mau menunggu lama, Aldi menurunkan botol infuse yang beberapa saat lalu sudah dipasang oleh Miranda dan sore itu juga ia berniat untuk memberi tindakan untuk kasus gagal janin milik Inna dan Torra. Aldi terlihat begitu tergesa di mata perawat senior seperti Martina.

Tak urung bahasa pencegahan pun keluar dari pita suara Martina untuk Aldi, "Kantong darahnya belum siap, Dok. Memangnya jam begini orang anestesi masih ada?"

"Saya sendirian juga tidak masalah, Sus Tina. Kan sudah saya jelaskan pasien ini siapanya saya! Dari kemarin pas saya berlama-lama di ruang inapnya terus datang malam-malam temenin sambil nungguin kabar dari suaminya itu apa namanya? Wajar kan saya?" Namun Aldi menanggapinya dengan sinis, seolah dirinya sedang ditelanjangi atas kebohongannya tentang ikatan keluarga tadi.

Berusaha untuk tetap tenang sembari menarik napas panjang, Martina bersuara lagi setelah sempat mencegah Miranda untuk bersuara dengan pelototan matanya, "Iya, Dok. Tapi biar kami yang dorong saja ya, Dok. Mungkin yang dokter bisa buat, tolong jelaskan sama suaminya."

"Di mana dia?"

"Masih di luar, Dok."

"Oke. Biar saya yang bicara sama si brengsek itu sekarang!" Martina tentu saja berhasil melakukannya.

Langkah kaki Aldi memanjang menuju ke arah koridor Unit Gawat Darurat di  sepersekian detik kemudian, mencari sosok menyebalkan yang selama sepekan ini bertahta sebagai raja Dajjal di isi kepalanya. kepalan tangan kanannya, pun sudah ia siapkan ketika peri hitam dalam hatinya terus memberi komentar, "Brengsek!"

Brugh brugh brugh

"Sialan! Apa-apaan ini, Dok!" Dan ujung senja pun berakhir semakin suram, ketika Aldi melepaskan amarahnya untuk Torra, yang juga disaksikan langsung oleh dua pasang bola mata cantik milik para durjana lainnya.

***

BERSAMBUNG. TEMAN-TEMAN JANGAN LUPA FOLLOW AKUN WATTPAD TEMENKU @MemeyMecxa2 YA. BACA CERITANYA JUGA YANG JUDULNYA MY MAID DI SANA. DIJAMIN BASAH BASAH BASAH SELURUH TUBUH DEH. MAKASIHHH... BUBAYYY...

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang