Hai, aku Mikha. Umurku 16 tahun. Sekarang aku duduk dibangku SMA kelas XII. Garuda Senior High School, itu sekolahku.
Dari kecil aku hidup di panti asuhan Kasih Hati yang terletak tak jauh dari pusat kota di mana sekolahku berada.
Kata orang aku tidak pantas bersekolah di Garuda. Yah aku tahu Garuda adalah tempat orang-orang berduit menuntut ilmu. Tapi karena aku mengandalkan prestasiku, akhirnya aku dapat merasakan pendidikan bermodalkan beasiswa.
Pagi ini aku telah siap untuk berangkat sekolah. Namun sebelum itu, aku harus mengurus adik-adikku. Aku anak yang paling tua di panti ini. Jadi semua anak yang ada di panti adalah adikku.
Dulu aku mempunyai kakak di panti ini, namun ia sudah diadopsi oleh seorang wanita yang ingin mempunyai anak namun tak diberikan oleh yang kuasa. Sehingga ia mengadopsi kakak satu-satuku di panti ini.
Banyak keluarga yang ingin mengadopsiku, namun aku tak mau. Aku sudah terlanjur nyaman berada di panti ini. Aku takut jika aku berada di luar sana. Aku juga tak mau meninggalkan wanita paruh baya yang kami sebut Bunda.
Bunda adalah pendiri panti kasih hati ini. Ia wanita yang hebat, ia dapat mengurus kami dengan sepenuh hati. Walau ia bukan ibu kandung kami, namun kasih sayang yang ia berikan buat kami melebihi kasih seorang ibu kandung kepada anaknya.
Ibu kandung. Aku tak pernah merasakan kasih sayang dari dia. Miris memang, namun itu yang aku rasakan.
Kata bunda, waktu aku berusia satu tahun, ibu kandungku lah yang membawaku ke panti ini. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi mendengar cerita Bunda aku sangat sedih. Bagaimana tidak, seorang ibu kandung rela melantarkan anaknya dalam keadaan baik-baik saja. Jika memang keadaan yang memaksa ia harus melantarkanku, aku bisa terima itu. Namun faktanya tidak. Kata Bunda, ibuku baik-baik saja, ibuku sehat-sehat saja. Lalu apa? Apa yang membuat ia membuang ku?
Ikhlas. Itu yang ku lakukan sekarang.
"Kak Mik, aku mau tambah tempe goreng," teriakan seorang anak perempuan membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum dan segera nemberikan dia tempe goreng buatanku dan Bunda.
Tak ada yang lebih menyenangkan selain memberikan kasih sayang kepada adik-adik ku di panti ini.
Mereka adalah adikku, saudaraku sekligus teman bermainku. Percaya atau tidak, aku ini tak mempunyai teman dekat satupun. Di sekolah, aku hanya dianggap anak kampung yang numpang belajar saja di Garuda.
Banyak yang membenciku, entah karena apa. Tapi aku tidak peduli. Aku sekolah untuk masa depanku, bukan untuk mereka.
Setelah mengurus semuanya. Aku segera berpamitan kepada Bunda. "Bunda, Mikha berangkat yah," pamitku seraya mencium punggung tangan Bunda.
"Iya, hati-hati di jalan. Semangat belajarnya."
"Siap, Bunda."
Aku berlalu dari hadapan bunda. Sepeda onthel kesayanganku sudah terparkir rapi depan teras. Aku segera menaikinya dan mulai mengayunnya menuju sekolah.
Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di sekolah.
Saat di parkiran, semua mata terarah padaku. Situasi seperti ini sudah biasa ku hadapi.
Tatapan sinis, ejekan adalah santapanku setiap hari.
Mereka selalu memandangku rendah. Yah, aku sadar, aku memang hanya anak yatim piatu yang tak pantas bersekolah di sini. Namun tak bisakah mereka memandangku biasa saja? Aku juga adalah manusia, sama dengan mereka.
Tapi inilah hidup yang harus kuhadapi.
****
Sampai di kelas, aku langsung menuju bangku ku. Bangku ku berada di paling depan. Bangku yang harusnya di isi oleh dua orang, namun seperti yang aku katakan, aku tak mempunyai teman satupun di sekolah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEONARDUS
Teen FictionDia tak setangguh yang terlihat. Tak sehebat yang tampak. Dia kejam, tajam, dingin, pembangkang, hanya untuk menutupi kerapuhan hatinya kepada dunia. Aku mencoba menyentuhnya, mencoba membimbingnya. Sampai akhirnya, ia berani berdamai dan memaafkan...