PART 15

3.6K 399 130
                                    

Kekesalan Torra begitu menggunung, ketika dirinya harus menahan rasa sakit akibat ulah Aldi yang sempat mengeluarkan darah segar dari kedua lubang hidungnya. Ingin rasanya Torra melakukan hal serupa saat itu juga, namun ia adalah tipikal pria yang hidup dengan image baiknya selama ini di masyarakat.

Baginya, sulit untuknya bertengkar secara membabi buta seperti apa yang Aldi perbuat di depan umum. Terlepas dari semua itu, dirinya pun masih berpikir tentang keselamatan Inna, kendati pada akhirnya rasa sesak akibat kehilangan si calon bayi begitu menyesakkan dada.

"Mas, bagaimana keadaannya?" tanya Theresa yang sejak tadi terdiam di sampingnya bersama Laura. Ya. Itu memang kenyataan yang terjadi saat ini.

Ketika Aldi terus mencecar Torra dengan bogem mentahnya, teriakan histeris Theresa adalah senjata yang wajib disyukuri. Wanita paruh baya itu juga melakukan pertologan pertama pada putranya, kendati hanya upaya tersebut segera diambil alih oleh perawat jaga.

"Mama bisa diam nggak, sih? Bagaimana aku bisa tahu kalau lampu di depan ruangan operasinya aja masih menyala merah gitu. Jangan tanya-tanya deh! Jawabannya jelas aku nggak akan tahu!" ketus Torra tanpa menoleh sedikitpun ke arah ibunya.

Theresa lantas menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal setelah mendengar ucapan menohok putranya. Ia lalu menyempatkan dirinya untuk menyenggol lengan Laura, namun tak ada reaksi apapun yang wanita muda itu tunjukkan padanya.

Bertahun-tahun menjalin kasih dengan Torra semenjak masih di putih abu-abu, membuat Laura hafal betul dengan tabiat mantan kekasihnya. Laura tak mau repot-repot menanggapi perbuatan Theresa, sebab ada sejumlah hal penting lain yang harus ia pikirkan, termasuk tentang bagaimana cara membuat Torra sudi melihatnya lagi. Hubungan Inna dan Aldi pun tak luput dari isi kepala Laura, sebab itu adalah pertanda baik, mana kala memang ada sesuatu di antara mereka berdua.

Sementara itu di dalam ruangan operasi, Aldi sudah mengeluarkan bayi tak berdosa yang memang sudah tak bernyawa lagi sejak ibunya tiba di rumah sakit. Ia dengan cepat melakukan segala prosedur, "Berikan jenazah bayinya langsung ke ayahnya, Sus Tina. Dia masih belum siuman, dan lebih baik begitu saja daripada dia menjadi histeris melihatnya.

"Baik, Dok." Membuat perawat tua bernama Martina dapat bernapas lega.

Kepala ruangan bersalin itu sudah selesai membungkus bayi berjenis kelamin perempuan tersebut, bahkan kakinya pun nyaris mencapai ke pintu bercat putih yang menutup ruangan operasi.

Cklek

Benar saja. Ketika suara pintu yang ia buka terdengar oleh gendang telinga Torra, pria bertubuh tegap itu segera berdiri dan menghampiri Martina. Suaranya juga ikut terdengar, "Suster, ini--"

"--Dokter Aldi menyuruh untuk segera memakamkan jenazah bayi Anda, Pak. Jenis kelaminnya perempuan," Namun Martina lebih dulu memotong ucapan Torra, bahkan juga menyodorkan jenazah bayi tak berdosa itu bersama bungkusan ari-ari padanya

Tak urung, Torra pun mengulurkan tangannya ke depan, menerima darah dagingnya yang sudah tak lagi bernyawa. Sekelebat bayangan akan pertemuan pertamanya dengan sosok Inna Bastari menari-nari di pelupuk matanya, membuat tatapan itu kian mengabur, akibat rasa sesak yang tiba-tiba datang menghampiri.

Pecah dan berhamburan seperti porselen antik yang tak sengaja dijatuhkan ke lantai dingin. Rasa sakit itu menghantam hingga ke relung jiwa, namun tidak berdarah sama sekali. Hanya titik-titik air matanya yang mengalir dan membuat pandangan mata Torra kian memanas, tapi tidak meronta-ronta sama sekali.

Mengeratkan dekapannya di tubuh mungil tersebut sembari menyeka air mata dengan punggungnya, Torra mencoba untuk menuntaskan rasa penasarannya, "Bagaimana dengan istri saya, Suster."

"Masih belum sadarkan diri, Pak. Tapi napas dan jantungnya masih berfungsi. Lebih baik bayinya saja yang Bapak urus duluan, setelah itu baru kembali lagi ke sini," sahut Martina setelah sempat meringis, melihat luka lebam di wajah Torra.

"Baik, Sus. Saya permisi."

"Baik, Pak. Silahkan."

Langkah kaki Torra melebar ke arah pintu keluar setelahnya, dan beranjak pergi dengan mengabaikan dua orang wanita yang sempat menemaninya di depan ruang operasi. Meski begitu, jangan berpikir jika para durjana cantik itu akan tetap menunggu di sana. Langkah lebar mereka juga bertujuan yang sama seperti Torra, tetapi tetap saja diam seribu bahasa adalah pilihan yang tak bisa ditolak oleh keduanya.

Sesampainya di pelataran parkir rumah sakit, saat itulah Laura berusaha untuk beritikad baik pada Torra, "Biarkan aku yang menggendongnya, Tor. Atau kita pakai mobilku saja, supaya dia nggak kenapa-napa di jalan.

Sayangnya niat itu ditolak mentah-mentah oleh Torra, "Dia katamu? Jangan sok perhatian, Laura Wijaya! Dia yang kamu bilang ini sudah mati! Belum puas membuat kami menderita?"

"Tor, aku--"

"--Kamu memang wanita iblis, Laura! Selama ini aku udah cukup sabar, Ra! Aku sabar sama tingkahnya yang lebih banyak memaksa dari dulu, bahkan sampai kamu tidur sama bule dalam apartemenmu di depan mataku pun aku tetap sabar dan berusaha melupakannya!" Bahkan Torra pun meluapkan penyebab kebenciannya pada Laura di sana.

Tentu saja Theresa adalah orang pertama yang bereaksi atas keterusterangan putranya. Wanita tua itu membulatkan dua bola matanya ke arah Laura, "Apa?! Laura, kamu--"

"Cukup, Ma! Jangan ikut campur lagi! Secepatnya aku dan Inna akan keluar dari rumah seperti yang Vero lakukan, jadi tolong jangan merusaknya lagi!" Namun sekali lagi Torra menyanggah ocehan yang masuk ke dalam gendang telinganya.

Tak ada ampun yang akan Torra Mahardika berikan untuk kedua wanita durjana di depan matanya itu, sebab jauh di dalam lubuk hatinya, ia begitu takut kehilangan Inna Bastari.

Berbalik mencari mobil yang tadi ia parkirkan, langkah kaki Torra menjadi semakin tergesa. Sekali lagi bendungan air di matanya harus bobol ketika ia menidurkan bayi perempuannya di kursi bagian tengah mobil, merasa begitu berdosa atas segala perbuatan yang sudah dilakukannya.

Tujuan Torra adalah pekuburan umum di sayap kiri Kabupaten Kupang, namun sebelumnya ia sempat mengambil ponsel yang terletak di dalam saku sebelah kiri celana jinsnya.

Dengan begitu hati-hati dalam berkendara, Torra mencari nama seseorang di kontak ponselnya.

Seorang Ustad yang menikahkannya dengan Inna beberapa bulan lalu, menjadi tujuannya saat ini, dan percakapan pun terjadi, ketika sambungan teleponnya sudah diterima, "Halo, Ustad Yusuf. Ini saya, Ustad. Pak Torra Mahardika yang menikah di masjid bulan Januari lalu."

"Wa'aikumsalam... Bagaimana, Pak Torra? Lama tidak kelihatan."

Ketidaktahuan Torra jelaskan secara rinci di sana, "Eh, iya. Assalamualaikum, Ustad. Anu... Em, anak saya meninggal dunia dalam perut ibunya."

"Innalillahi wa innalillahi rojiun... Yang sabar dan ikhlas ya, Pak Torra?"

"Iya, Ustad. Jadi ini saya harus bagaimana ya? Saya tidak tahu cara menguburkan versi--"

"--Bawa saja kemari, Pak Torra. Nanti saya sendiri yang akan memandikan, mengafani, menyolatkan dan juga menguburkannya bersama dengan Bapak tentunya." Dan sang Ustad pun dengan rela membantunya.

"Syukurlah. Baik, Ustad. Saya segera ke sana. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, Pak Torra. Assalamualaikum..."

"Eh. Iy..iya, Ustad. Wa'alaikumsalam..."

Klik

Ketika sambungan telepon sudah terputus, dua titik air itu jatuh lagi dari balik kelopak mata Torra, saat ia menyempatkan diri untuk menoleh ke arah kursi belakang. Kabut yang diterima ternyata begitu tebal untuknya. Sangat lumrah bila rasa sakit kian bermunculan di sana, karena penyesalan memang akan selalu datang di akhir dan waktu tidak akan bisa terulang kembali.

***
BERSAMBUNG. TEMAN-TEMAN YANG CANTIK DAN GANTENG. JANGAN LUPA KEPOIN AKUN TEMENKU  MemeyMecxa2 INI YES? KEPOIN CERITANYA DENGAN JUDUL MY MAID DI SANA. TERUS JANGAN LUPA JUGA MAIN KE AKUN DREAME MILIKKU DENGAN NAMA JULIA INNA BUNGA JUGA YA? TERIMA KASIH BANYAK...

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang