Study group

980 82 7
                                    

Hari itu aku kira cukup sepiring sarapan gosong saja yang akan menjadi keanehan satu-satunya yang aku hadapi. Sudah cukup aku melalui dua jam pelajaran pertama dengan perut rese. Sudah cukup aku menyesal karena nyaris tidak bisa berkonsentrasi menyerap materi.

Tapi kata cukup sepertinya sedang tidak ingin dipakai Tuhan untuk mendeskripsikan penderitaan ku. Karena bukannya makan siang dengan tenang, aku malah harus menghadap Mr. Kim sendiri disaat teman kelasku yang lain dengan tenang menyantap menu makan siang spesial di hari Jum'at.

Cumi asam pedas.

Arrrgh, rasanya ingin ku dobrak saja pintu ruang guru didepan ku. Sampai copot sekalian.

Meski aku ingin sekali menghancurkan daun pintu itu beserta isinya kalau perlu, aku masih peduli pada reputasi ku sebagai murid teladan. Aku tentu belum mau menghancurkan predikat terhormat itu hanya karena merasa kesal.

Tidak, bukan begitu caranya. Aku bisa memasukkan obat pencahar pada minuman atau makanan milik Mr. Kim lain kali—untuk balas dendam. Aku tidak akan mengotori tanganku sendiri secara langsung.

Aku bergerak merapikan dasi juga jas dan celana seragamku yang sedikit kusut karena dipakai berlari. Tanganku terangkat mengetuk pintu. Tak berapa lama kemudian, terdengar sahutan dari dalam.

Dengan badan membungkuk sebentar untuk menyapa, aku berdiri dihadapan Mr. Kim yang terlihat sedang mengobrol dengan seorang murid perempuan.

"Anda memanggil saya Mr. Kim?"

Beliau mengangguk, mengendikan bahunya memintaku duduk. Ku patuhi perintahnya tanpa banyak bertanya, tanpa sadar ujung mataku berpindah untuk mencari tahu siapa gerangan murid yang kali ini berurusan dengan singa jantan bernama Kim Dong Wook.

Bae Irene.

Aku tidak terlalu kaget lagi. Dia memang biang rusuh yang hobinya mengganggu murid lain dan bolos sekolah sesering mungkin (pernah dua kali dia bolos sekolah ke Prancis hanya untuk menikmati sepiring French toast). Tipe murid kaya dan manja, seseorang yang sangat ingin sekali aku hindari di sekolah.

Bukannya aku benci pelajar kurang kerjaan seperti mereka, aku hanya tidak suka. Well, benci dan tidak suka jelas berbeda kan? Setidaknya kalau aku tidak suka, aku masih sudi memandang wajahnya walau hanya sebentar.

"Jadi gimana Seungwan?"

Apa? Gimana apanya?

"Engg, apa yang barusan bapak katakan? Maaf saya melamun."

Aku bisa mendengar Irene mendengus seolah ingin sekali menertawakan sikap tidak sopan ku.

Percayalah, aku juga ingin sekali menertawakan diriku sendiri sekarang. Aku belum pernah kehilangan fokus sesering hari ini.

Perut lapar sialan!

"Kamu mau kan membimbing Irene untuk ujian akhir mendatang? Saya sudah tidak tahu lagi cara menyelematkan anak ini. Dia terlalu keras kepala dan satu-satunya cara supaya dia bisa lulus adalah dengan bantuan kamu, Seungwan." Katanya dengan senyum tidak ingin dibantah.

Apa-apaan itu, dia saja belum meminta persetujuan ku. Bagaimana mungkin Mr. Kim bisa seyakin itu bahwa aku dapat membantu Irene? Sementara dia sendiri sudah angkat tangan.

Benar-benar deh. Terkadang, aku menyesal memiliki image bagus. Hal ini sangat merepotkan karena itu berarti aku tidak punya kekuatan apapun untuk membantah ucapan guru-guru.

"Apa yang membuat bapak yakin aku akan berubah hanya karena diajari cowok terlalu rapi ini?"

Oke, pertama—terima kasih karena sudah mengutarakan sesuatu yang tidak berani aku ucapkan. Kedua, penampilan ku tidak terlalu rapi, aku hanya mengikuti aturan sekolah karena aku adalah murid teladan yang menjadi panutan semua siswa di sini.

Pain KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang