Perencanaan untuk event ulang tahun kantor mulai dilaksanakan. Orang-orang di divisi manager pemasaran menjadi sangat sibuk. Mulai dari jenis event, pelaksanaan, detail, semua menjadi urusan divisi ini. Sudah seminggu divisi yang dipimpin Ardian itu mengadakan rapat hingga melebihi batas jam kerja. Karena peraturan kantor yang melarang pegawai berada di kantor setelah jam pulang, mereka mengubah tempat rapat menjadi di rumah Ardian.
Rumah Ardian yang luas dan hanya ditinggalinya sendiri menjadi alasan mereka memilihnya menjadi tempat rapat. Ardian menyediakan ruang tamunya yang luas sebagai tempat utama rapat. Sita sendiri cukup menyukainya. Ruang tamunya nyaman, bersih, dan sangat kondusif sebagai tempat rapat. Yang tidak Sita suka adalah makanan yang Ardian sediakan. Ardian selalu memesan makanan siap saji untuk tamu-tamunya. Sita yang sedari kecil tidak terbiasa makan junk food mulai jengah. Karena itulah, hari ini dia membawa sayur dan bahan makanan.
"Sita, kita mau rapat bukan mau demo masak," komentar Denis saat mereka mampir kontrakan Sita untuk mengambil bahan-bahan itu. Sita tidak terlalu merespon, masalahnya kulkas Ardian sangat kosong, hanya berisi minuman-minuman ringan, tidak ada bahan untuk memasak sama sekali.
Setengah jam sebelum waktu makan malam, Sita izin ke dapur untuk memasak. Tadi saat rapat, dia sudah cukup memberikan banyak ide. Ardian sebagai tuan rumah ikut ke dapur setelah memberi beberapa arahan pada tiga orang lainnya.
"Kamu mau masak apa?" tanya Ardian pada Sita yang sedang mencuci buncis.
"Orak-arik buncis, oseng kangkung, kluban, sama pecel ayam."
"Masakan jawa, ya?"
"Iya Pak, soalnya saya belum belajar masak makanan sini. Bapak daripada berdiri di sebelah saya gitu, mending ke ruang tamu. Saya nggak masalah kok masak sendirian, nanti dapur Pak Ardian saya bersihin lagi sebersih-bersihnya." Ardian mengangguk, lalu meninggalkan Sita menyelesaikan masakannya.
Saat waktu makan malam tiba, semua yang tadi di ruang tamu segera ke ruang makan. Ardian yang sangat tepat waktu memang mangatur jadwal karyawannya dengan sangat rinci. Itu agar kinerja mereka tidak berkurang karena bekerja terus-menerus. Namun itu tidak berlaku jika mereka membawa pekerjaan ke rumah, di luar jangkauan Ardian.
"Akhirnya makan malam nggak sama pizza atau burger lagi," ujar Denis yang langsung disikut Akbar.
Hana menatap piringnya dengan tatapan berbinar.
"Sita, liat masakan kamu aja udah keliatan ini bakal enak."
"Lebay banget, sih! Ini cuma makanan biasa tau! Tiap hari aku juga makan kayak gini."
Hana tidak merespon lagi, dia sibuk memakan masakan Sita. Ada rasa baru yang dirasakan lidahnya, mungkin karena bumbu di Jawa sedikit berbeda. Namun meski begitu, Hana mengakui jika masakan Sita sangat enak dan terus memujinya. Akbar dan Ardian mengangguk setuju, makanan sederhana yang dibuat Sita memang sangat lezat.
"Kamu dulu kursus masak?" tanya Ardian yang sedari tadi diam menikmati makanannya.
Sita meletakkan sendok, tampak berpikir sebentar.
"Kursus nggak kursus, sih, Pak. Mama saya kan pengusaha catering dari saya kecil. Dari dulu saya biasa bantuin masak atau nyiapin bumbu-bumbu, jadi akrab banget sama dapur. Kalau cuma masak kayak gini, sih, gampang banget. Pak Ardian kelihatannya juga jago masak, ya?"
Ardian terbatuk, lalu segera mengambil minum. Akbar di sebelahnya tertawa, sementara Denis dan Hana hanya saling memandang sambil tersenyum canggung. Mereka pernah punya pengalaman buruk dengan masakan Ardian.
"Sita, dengerin saya, ya! Tiap hari kita dikasih makan junk food tuh bukan karena Ardian males masak, tapi emang dia nggak bisa masak. Goreng telur ngikutin tutorial youtube aja nggak tau diapain rasanya pasti hancur. Makanya kalau nggak makan mie, Ardian pasti beli makan di luar," cerita Akbar sambil menahan tawa. Ardian dan jago memasak adalah hal paling tidak mungkin yang pernah dia dengar.