Sejak masuk ke ruangan lima menit yang lalu, Hana terheran melihat Sita yang senyam-senyum sendiri. Temannya itu hanya membalik-balik dokumen di meja, namun wajahnya tak behenti tersenyum.
"Kenapa, tuh?" Denis menyenggol lengan Hana dengan mata melirik ke Sita. Hana mengedikkan bahu. Akhirnya Denis berjalan pelan ke belakang kursi Sita.
"Oy!" Denis menepuk pundak Sita, membuat perempuan itu hampir menjerit karena kaget.
"Denis! Apa-apaan, sih? Untung jantungku nggak copot," protes Sita pada Denis yang
malah menertawakannya.
"Habisnya kamu pagi-pagi udah senyam-senyum sendiri, takutnya kan kerasukan. Emang ada apa, sih? Kayaknya seneng banget," tanya Denis. Sita tak menjawab, malah sebuah senyuman tercetak lagi di bibirnya. Hana dan Denis saling pandang dengan tatapan heran.
Sita tak menjawab, malah sebuah senyuman tercetak lagi di bibirnya. Hana dan Fajar saling pandang dengan tatapan heran. Obrolan mereka bertiga terhenti tatkala pintu terbuka. Ardian masuk bersama Akbar di belakangnya.
"Lagi ngobrolin apa kalian?" tanya Ardian dengan wajah serius. Hana, Fajar, dan Sita kompak menggeleng. "ya udah kalau gitu kerja! Jangan ngobrol terus!" lanjutnya sebelum berjalan masuk ke ruangannya.
"Bar, temen lo kenapa, sih? Pagi-pagi udah kusut gitu."
Akbar mengedikkan bahu. "Tadi dia dapet telepon terus moodnya jadi jelek gitu."
Sita di tempatnya memasang wajah cemberut. Ah, sepertinya dia salah sangka dengan sikap Ardian kemarin.
***
Bau harum menguar ketika Sita membuka kotak bekalnya. Hari ini dia sengaja membawa bekal. Selain karena lebih hemat, dia juga sekalian menghabiskan bahan-bahan di kulkasnya. Sita makan sendirian di ruangannya. Hana dan yang lain sudah ke kantin dari tadi. Tapi tak apa, toh Sita juga biasa makan sendiri di kosnya.
"Ehem," sebuah deheman membuat Sita mendongak. Perempuan itu segera menutup kotak bekalnya dan berdiri saat menyadari Ardian tengah di depannya. Sita berdecak kesal, apa makan di dalam ruangan dilarang? Tapi kata Hana itu akan baik-baik saja.
"Kamu nanti pulang kantor ada acara?" tanya Ardian. Sita mengerutkan dahi sejenak, lalu menggeleng.
"Emangnya kenapa, Pak?"
"Nggak, nggak papa," ujar Ardian sambil menggelengkan kepala. Dia lalu keluar setelah menyuruh Sita melanjutkan makan.
Tak berapa lama setelah Ardian keluar, Sita masuk dengan satu cup teh di tangannya.
"Tadi Pak Ardian ngobrol sama kamu?" tanya Hana melihat raut wajah Sita yang tampak kebingungan. Sita mengangguk pelan. "ngomong apa? Bentak kamu lagi?" Hana kini telah duduk mendekat ke Sita, tentu saja jiwa penggosipnya meronta-ronta.
"Nggak kok, bukan apa-apa. Kamu tuh apa-apa selalu dikepoin."
"Ya maaf deh. Lagian kamu mukanya bingung gitu, mana pas si Udin keluar dari ruangan. Aku kira kan kamu kenapa-kenapa."
"Nggak, kok. Aku tuh cuma mikir, apa Pak Ardian itu kepribadian ganda, ya?"
"Ya nggak tau, lah. Kenapa tanya kayak gitu?" Hana balas bertanya.
Sita menggeleng. Hana bisa menggodanya habis-habisan jika tahu apa yang dikatakan Ardian kemarin. Sita lalu meraih sendok, melanjutkan acara makannya yang tertunda.
Sebuah mobil mewah mendekati Sita yang duduk di halte. Kepala Sita celingukan, sedikit takut menyadari hanya ada dia di halte ini. Tak berapa lama Ardian dengan jas biru dongkernya keluar.
"Pak Ardian," ujar Sita pelan. Ardian tak menjawab, malah menarik tangan Sita untuk masuk ke mobilnya. Sita sempat memberontak, namun Ardian tentu jauh lebih kuat darinya.
"Pak Ardian apa-apaan, sih?!" seru Sita marah saat Ardian melajukan mobilnya, tak tahu mau kemana.
"Saya harus bawa kamu ke suatu tempat. Kamu nurut aja, deh."
"Kemana?"
"Nanti kamu juga tahu," jawab Ardian tanpa melihat ke Sita sama sekali.
"Pak, menurut pasal 328 KUHP, barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud melawan hak akan membawa orang itu di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau akan menjadikan dia jatuh terlantar, dihukum karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Bapak mau dipenjara dua belas tahun?"
"Saya nggak nyulik kamu, Sita. Saya cuma minta tolong."
"Minta tolong apa, sih? Masa minta tolong maksa gitu." Sita memasang wajah sebal pada atasannya itu.
Ardian tak merespon, matanya sedang mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Sekarang mereka sedang berada di supermarket dekat kantor. Bukan mall besar, hanya supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
"Ayo turun!" titah Ardian membuat Sita menurut. Perempuan itu mengikuti Ardian turun dari mobil, mereka lalu berjalan ke dalam supermarket, tepatnya area bahan pangan.
"Pak Ardian, jelasin dulu dong kenapa saya dibawa ke sini."
"Saya jelasin nanti, deh! Sekarang kamu belanja bahan apa aja terserah kamu buat porsi empat orang."
"Hah? Buat apa, Pak? Bapak mau masak?" Sita meraih troli yang disodorkan Ardian.
"Bukan saya, tapi kamu. Udah cepet, saya kasih waktu dua puluh menit buat belanja atau nanti kamu saya pecat."
Sita mendorong trolinya sebal. Enak sekali Ardian menggunakan otoritasnya untuk mengancam. Dia tidak mau dipecat karena hal seperti ini. Sita lalu segera mengambil bahan-bahan yang terlintas di pikirannya. Dia ingin membuat soto ayam seperti yang seperti dibuatkan ibunya di rumah.
"Udah?" tanya Ardian pada Sita yang kini sedang melihat-lihat barang di trolinya. Sita mengangguk, mereka lalu berjalan ke kasir. Setelah membayar, mereka kembali ke mobil.
Sita tak banyak bertanya lagi saat Ardian membawanya ke rumahnya. Ardian menurunkan bahan belanjaan sementara ia menunggu di samping mobil.
Ardian menatap belanjaan yang kini sudah ada di meja dapurnya.
"Saya kan minta kamu masak buat empat orang, kok kayaknya banyak banget, sih?"
"Kulkasnya bapak tuh kosong banget. Jadi ya saya sekalian beli beberapa makanan sama minuman buat ngisi kulkas bapak."
"Saya nyuruh kamu?"
"Nggak sih, cuma tiba-tiba kepikiran. Emangnya mau masak buat siapa, sih?" tanya Sita yang sekarang sedang mencuci sayuran.
Ardian menyadarkan punggungnya ke kulkas, lalu menggerakkan tangan untuk melepas arloji. "Orang tua saya mau ke sini. Kalau dibeliin makanan di luar pasti berisik ngomelin saya."
"Serius orang tua Pak Ardian?"
"Iya, emang kenapa?"
"Pak Ardian harusnya bilang, dong! 'Sita bisa nggak saya minta tolong kamu masak buat orang tua saya?' gitu. Jangan maksa kayak tadi, kan saya kira bapak mau nyulik saya."
"Takutnya kamu nggak mau kalau saya ngomong dari awal."
"Ck, nyoba aja belum."
"Udah deh, mendingan kamu fokus masak. Saya mau ke atas mau mandi," ujar Ardian. Laki-laki itu lalu berjalan meninggalkan Sita yang berkutat memotong ayam.
***