Tangan kiri Inna yang masih lemah dan terpasang jarum infus, kini telapaknya berada dalam genggaman tangan Aldi. Wanita muda itu masih saja mengeluarkan air matanya, meski suara tangisan tak lagi sebesar beberapa saat lalu, ketika ia baru saja siuman.
"Kak Aldi? Aku kenapa, Kak?" Dua pertanyaan tersebut adalah bahasa pertama yang Inna keluarkan dari pita suaranya, sehingga menangis pun menjadi ujung dari kejujuran dokter itu padanya.
Aldi yang kelabakan akibat mengarang bebas tentang sosok Torra yang tidak muncul sama sekali di depan ruangan operasi, wajib memutar otak untuk mencari sejumlah kalimat penghiburan, "In, udah dong nangisnya. Kamu kan tadi udah janji nggak akan sedih yang berlebihan kalau aku cerita semuanya. Kamu baru habis aku bedah perutnya, Sayang. Berlama-lama nangis tuh nggak baik buat fisik kamu yang masih lemah. Udah ya, Cantik? Bisa 'kan dengerin kata-kataku kali ini?"
"Biar aku juga mati sekalian sama Raina, Kak. Biar aku bisa sekalian merawatnya di alam lain sana."
"Astagfirulahal'adzim... Kamu nggak boleh gitu. Aku yang akan membahagiakan kamu setelah ini, In. Tolong peduli sama dirimu sendiri demi kedua orang tuamu, terlebih lagi aku yang mencintaimu sejak dulu, Sayang. Kumohon..." Namun segala bujuk rayunya seakan tiada berarti, mana kala sesengukkan Inna semakin menjadi-jadi.
Alhasil, kini yang bisa Aldi lakukan hanyalah semakin mengeratkan tautan lima jari mereka, menunggu sembari mendengarkan ringisan nyeri Inna atas luka sayatannya di meja operasi tadi.
"Aku mau kuliah lagi, Kak." Suara Inna terdengar lagi, ketika keadaan hening terjadi sekitar sepuluh menit lamanya.
Dengan mengusap punggung tangan Inna menggunakan tangan lainnya yang tidak saling tertaut, Aldi menjawab keinginan Inna bersama tatapan mata teduhnya, "Apapun akan kuwujudkan karena aku Aldi Wiryawan, Sayang. Aku bukan Torra Mahardika yang mengekang kebebasanmu, jadi lepaskan dia dan kembalilah bersamaku."
Sayangnya jawaban Aldi terdengar begitu posesif untuk Inna, "Raina baru saja meninggal dunia, Kak Al. Lagian, sejak kapan kita pernah sama-sama?"
Menciptakan reuni masa lalu yang sengaja diputar kembali oleh Aldi, "Dulu kita sama Almarhum Indra pernah diajak main rumah-rumahan sama keponakanku si Icha, In. Aku yang disuruh jadi Ayah dan kamu 'kan yang jadi ibunya?"
Sedikit gerah pada semua kalimat Aldi, Inna lantas membebaskan tautan tangan keduanya, "Stop! Jangan bicara lagi!"
"Kita hanya belum mencoba, Sayang. Bukan nggak pernah sama sekali. Aku juga mencium bibirmu ini sekilas waktu kamu baru naik kelas satu SMP, dan itu adalah ciuman pertamamu. Benar--"
"Diam! Aku akan pulang ke Jakarta, tapi tidak untuk menceraikan Mas Torra sebelum aku bisa membalas semua kejahatan mereka selama ini ke aku, Kak Aldi! Jadi jangan mengharap-- Auw!" Inna juga menyela ocehan Aldi yang mulai membahas mengenai kecupan pertamanya ketika masih berseragam putih biru, namun hal itu membuat rasa nyeri timbul dari arah luka sayatan di perutnya.
Membuang napas kasarnya sebanyak mungkin, Aldi pun mengingatkan Inna apa saja yang seharusnya ia lakukan untuk dapat memulihkan kondisi tubuhnya, "Aku sudah bilang jangan banyak menangis dan bergerak nggak jelas 'kan tadi? Kakinya aja yang coba digerakkan dulu sampai pengaruh obat biusnya habis, Sayang. Setelah ini nanti aku bakalan kasih obat anti nyeri lewat suntikan di selang infusmu ini."
Aldi juga berjanji akan membantu memulihkan rasa sakit Inna, tetapi wanita itu memberinya jawaban yang begitu menohok, "Ini nggak lebih sakit daripada harus kehilangan bayiku, Kak. Ini nggak lebih daripada itu."
Aksi saling sahut menyahut terjadi di antara keduanya, "Semakin keras kepala dan meratap, maka luka jahitan di perutmu juga semakin lama sembuhnya. Kamu suka dilihat lemah begini sama ibu mertuamu, sama si Torra terus sama--"
"--Mereka ciuman, Kak."
"Kita juga, Sayang."
"Tapi kita nggak pernah tidur bareng, Kak! Di foto itu juga ada gambar anunya Mas Torra dimasukin ke dalam anunya si cewek pelakor-- Ssttt... Aduhhh..." Dan sekali lagi suara rintihan itu terdengar, saat keduanya sibuk membahas tentang foto-foto vulgar Torra yang berujung dengan hubungan mereka sendiri.
Satu kekehan halus terdengar dari mulut Aldi atas sikap keras kepala yang Inna tunjukkan saat ini. Bayangan masa lalu mereka kembali lagi terkuak di ingatan Aldi, tentang betapa vokalnya Inna ketika sedang mempertahankan argumennya.
Basa basi busuk dari Aldi tampaknya belum bisa ia hentikan, dengan tujuan masih ingin melihat senyuman manis wanita di sampingnya, "Innaku udah balik lagi ya 'kan? Kemarin itu mungkin kadar hormon hCG kamu terlalu rendah makanya gampang dibego-begoin, Sayang. Jadi stop bicara biar nanti bisa cepat minum. Nggak haus emangnya?"
"Di mana Raina dikubur, Kak? Kenapa aku nggak dikasih kesempatan buat cium dan meluk anakku sendiri?" Namun Inna memilih untuk mengalihkan pembicaraan Aldi.
Jika boleh jujur, sungguh Aldi sudah tak mau membahas nama Torra dan juga kesedihan yang sedang Inna alami. Oleh sebab itulah ia berusaha untuk kembali menciptakan satu kebohongan lainnya, namun tak sebanyak beberapa saat lalu, "Karena Mas Torra yang suka kamu bela-belain depan aku kemarin itu yang maksa-maksa untuk cepat menguburkan bayinya, In. Kamu harusnya sadar kalau yang dia sayang tuh anaknya bukan ibunya. Sudah bicaranya. Ayo gerakin dulu kakinya tuh."
"Aku nggak akan menceraikan dia, Kak! Nggak untuk sekarang dan merka secepatnya menikah!" Suara bernada geram milik Inna, sukses membuat kedua bola mata Aldi nyaris terpelocok dari tempatnya.
Debar-debar sialan yang kian menjadi, juga mendampingi perasaan Aldi, membuatnya harus menahan diri sekuat mungkin untuk dapat tetap berkata-kata manis seperti sebelumnya, "Terserah kamu, Sayang. Intinya hatimu buat aku bukan--"
"Jangan terlalu berharap, Pak dokter. Kamu sempat menghilang juga karena jadi anak patuh sama apa yang Papamu bilang 'kan? Jadi kalian berdua pun sebenarnya sebelas dua belas." Tetapi Inna tetaplah Inna, yang memang keras kepala meskipun menjadi pihak yang paling tersakiti.
Selaan Inna yang mengganggu pikiran Aldi, menciptakan satu pembelaan diri dari sang Obgyn, "In, jangan langsung menyimpulkan kami berdua seperti itu, Sayang. Aku sudah pasti lebih baik dari suamimu."
Diam beberapa detik sembari menatap tajam ke arah Aldi adalah tindakan yang Inna perbuatan, sebelum pada akhirnya kalimat menohok itu berhasil membuat Aldi mematung dengan wajah piasnya, "Mengganggu istri orang jelas-jelas perbuatan tidak baik, Kak Aldi. Sejak kapan ada yang membenarkannya, hem? Bahasa kerennya 'pe-bi-nor'. Kepanjangannya perebut bini orang biar kakak tahu dan nggak ketinggalan jaman!"
Skakmat
Seperti permainan catur yang sering mereka mainkan bersama almarhum Indra Baskoro, tampaknya Inna memainkannya dengan begitu piawai, "In..."
"Cukup, Kak! Aku mau tidur. Pura-pura bahagia itu butuh tenaga, jadi harus banyak istirahat biar bisa tetap kuat!" Menyebabkan tak ada sepatah kata pun lagi yang dapat Aldi berikan, di tengah usahanya menahan diri atas sikap ketus Inna padanya.
Hanya uluran tangan yang Aldi berikan untuk membenahi anak rambut Inna di wajahnya, dan sejujurnya hal tersebut sedikit berpengaruh pada hati retak wanita lemah itu. Kendati begitu, diam sembari memejamkan mata menurutnya akan lebih baik daripada menanggapinya.
Keburukan memang tidak bisa terus dipertahankan demi sebuah belas kasih sang pencipta, jadi biarkan sabda yang akan menunjukkan segala sesuatunya nanti. Besok, lusa atau di akhir hari berikutnya.
***
BERSAMBUNG...
TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA KEPOIN AKUN TEMENKU YANG NAMANYA @MEMEY YA? KEPOIN JUGA AKUNKU DI APLIKASI DREAME DENGAN NAMA JULIA INNA BUNGA. MAKASIH YA SUDAH SINGGAH KE SINI. SAMPAI JUMPA...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...