Lantunan melodi hangat yang biasa dimainkan, kini tak pernah terdengar kembali. Tuts putih bernada nan berbaris rapi tersebut juga jarang disentuh beriringan dengan ketukan waktu yang seakan mendampingi ego untuk meninggalkan hal penting dalam dirinya.
Iya, sesuatu yang penting dalam dirinya, bakat seorang pianis yang ditemukan di awal remaja dan di geluti saat itu juga, kini menghilang entah kemana. Ah ralat- bukan menghilang, namun ditinggalkan karena suatu hal yang menyakitkan.
Hari ini aku berada dirumah si manusia putus asa itu, Lee Felix.
"Yongbok-ah", celetukku sambil menepuk bahu kanannya dengan keras.
Felix mendengus kesal, merotasikan matanya tajam, kemudian menepis tanganku yang bertengger dibahunya. "Lo bisa ga sih manggilnya sans aja nyet?!", aku menarik tanganku kembali, melipatnya didepan dada "Yaampun, sensi amat jadi cowok, sans dikit napa sih?!", balasku sambil meneguk Coca-Cola yang sedari tadi hanya kugenggam.
"Berisik lo, kenapa emang?", Felix menoleh dengan pandangan datar.
Meneguk sodaku yang kedua kalinya, aku berpikir sejenak kerana takut pertanyaan yang akan ku lontarkan dapat membawanya melihat masa lalu yang buruk, tapi demi kebaikannya aku memberanikan diri "Ada piano concert besok bulan September, ikut ya?"
"Gak", sahutnya singkat, membuang pandangan.
Aku mencibirnya diam, menghiraukan jawabannya "Ini itu bulan Maret, oke waktunya 6 bulan dari sekarang".
"Lo apa-apaan sih, gue gamau juga".
"Gue bakal bikin lo mau!!!".
"Tapi Your-".
"Gaada tapi-tapian, bye gue mau pulang!", aku berjalan menjauhinya dan menyambar tasku yang sedari tadi tergeletak dilantai.
"Biar gue anter" -Felix
Langkahku terhenti sembari menoleh ke arahnya "Ini udah malem, gue bisa naik bus kok, santai aja", balasku tersenyum.
"Ya justru itu gue anter aja bego" -Felix
Oke, daripada berdebat, aku mengalah.
"Yaudah iya, gausah ngegas" -Youra
.
.
.
Deru angin menyapa gelapnya malam, suara bising serangga-serangga kecil beradu di lubang telinga. Youra menatap keatas langit, menemukan jutaan bintang yang menjadi saksi sebuah kesunyian.
Tidak terasa hujan pun turun.
Pria yang lebih tinggi dari gadis dibelakangnya itu pun menghentikan laju kendaraan "Berhenti disitu dulu ya? hujan nih", ucapnya menunjuk salah satu kedai bertuliskan ( CLOSED ) dan Youra hanya mengangguk tanda mengiyakan ucapannya.
Youra terdiam sesaat karena hujan yang tiba-tiba mengguyur setiap penghujung jalan dengan derasnya. Tidak, gadis itu tidak takut hujan atau apapun itu, dia hanya sedang memikirkan pekerjaan sekolahnya yang menggunung di mejanya.
"Kedinginan ya?", celetuk pria kelahiran 2000 itu memecah keheningan.
Youra mengerutkan keningnya "Enggak kok", jawabnya dengan tangan memeluk kedua lengannya dan hidung yang memerah diujung, tanda ia benar-benar kedinginan.
Gadis bodoh.
Pria tampan itu mendengus tidak menyangka, melepaskan kedua tangannya yang terkait didepan dada "Gausah boong deh. sini", Felix menarik tubuh Youra menghadap kearahnya, melepas jaket yang berada dipunggungnya dan menempelkannya pada bahu gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Pianist • Lee Felix
RomanceTentang sebuah rasa penyesalan yang dibebaskan oleh seorang gadis- . . . happy reading~