CHAPTER 14 : Nyata

516 58 14
                                    

Perlengkapan medis di pasang, berupa selang kantung darah serta alat bantu pernafasan. Kemeja putih yang sebagiannya sudah penuh dengan warna merah tersebut di robek begitu saja hingga memperlihatkan luka yang menyebabkan keluarnya darah dari sana.

"Tahan! Tahan darahnya agar tidak keluar!"

Sayup terdengar suara tersebut begitu mengerikan rasanya, pun hanya dari luar saja. Ia tak memperhatikan prosesnya langsung, namun perintah tersebut sungguh membuat kesadarannya hampir melayang.

Jessica terduduk lemas di kursi tunggu dengan wajah yang berlinangan air mata. Cairan bening tersebut membanjiri pipinya tanpa tahu ampun, sedangkan kelopak mata Jessica sudah membengkak layaknya sosis.

Jessica berharap-harap cemas. Hatinya tak mau membiarkannya tenang. Denyutan sakit terus menghantui sepanjang jam dan Jessica menumpahkannya melalui tangis yang tak kunjung henti.

Ia nyaris tidak percaya bisa menangis tersedu di sini, di kursi tunggu depan ruang operasi untuk menunggu Yoong. Jessica berusaha menyeka air matanya berkali-kali, namun tetap saja gagal karena ia pun tak bisa berhenti untuk menangis.

Terhitung satu setengah jam sudah berlalu dan Jessica masih menunggu di sana hingga seorang dokter dengan jubah putihnya keluar dari ruang operasi. Rautnya lelah bahkan jas pria itu nampak lusuh.

Jessica lantas berdiri untuk menghampirinya, menunggu pernyataan dari sang dokter dengan harapan besar yang ia siratkan di dalam mata.

"Joesonghamnida, agashi. Kami sudah berusaha sebisa mungkin. Tapi nyawanya....."

Jessica menggelengkan kepalanya kuat. Kenapa dokter itu menjeda kalimatnya? Apa mereka sedang syuting sebuah drama sekarang? Tidak. Tidak ada waktu untuk bercanda saat ini.

"Apa? Kenapa? Kau berbohong! Kalian pasti menyelamatkan pria bodoh itu, kan?!" Jessica mulai meraih kerah dokter yang menundukan kepalanya penuh penyesalan tersebut.

Menggoncangkan tubuh pria berjas putih itu dengan kuat sembari tak kuasa mengendalikan tangis yang kian membanjiri pipinya.

"Maafkan saya..." Selanya kembali di tengah jeritan Jessica yang terus saja mengulang kata yang sama.

Tubuh Jessica akhirnya merosot jatuh ke lantai. Kakinya lemah, tak dapat menumpu bobotnya yang bahkan tidak seberapa itu.

Telapak tangan Jessica menutup seluruh wajahnya yang banjir air mata lalu menangis sejadi-jadinya di bawah sana.

"Jessica..." Suara tersebut memanggilnya, namun Jessica tak mendengar apapun dalam tangisnya yang masih bergema.

Gadis itu seolah tuli. Ia tak memberikan respon apapun.

"Jessica, bangunlah." Untuk ke sekian kalinya suara tersebut terdengar.

Kali ini Jessica sedikit tersentak karenanya. Ia mendapat kesadaran setelah itu hingga kelopak matanya terbuka sempurna.

"Gwenchana?" Ucap gadis yang ternyata Tiffany sudah duduk di samping ranjang.

Jessica segera bangkit. Seingatnya, ia masih menangis di lantai tadi, namun sekarang justru sudah terbaring di salah satu ranjang rumah sakit.

Apa dirinya pingsan? Jessica mengusap wajahnya gusar. Kepala gadis itu mendadak pening dan ia melihat kelopak matanya bengkak sekarang. Itu nyata.

Tangisannya bukan sebuah mimpi, melainkan ia menangis saat tidur, karena mimpi itu.

"Apa yang terjadi?" Suara serak Jessica terdengar lemah. Tenaga gadis itu sudah habis.

"Apa lagi? Kau tertidur di kursi tunggu."

PUZZLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang