Hasrat yang hilang seakan lenyap ditelan kegelapan, tidak menimbulkan bekas yang mendalam, laksana jiwa yang terbuang. Kesunyian telah tinggal tak menaruh tempat didaerah kekuasaan, menjadi budak bermahkota singgasana kerajaan, terbelenggu di gubuk yang usang.
Ilusi terbang nun jauh di balik lamunan, tatapan hampa seolah meronta-ronta mencari jalan pulang, gairah yang menggelora menghantam nafsu naik ke atas permukaan. Nyawa melayang-layang dibalik tirai tabir kehidupan, roh berkeliaran dalam genggaman, saling mencari atau dipertemukan. Bunga tidur, begitu orang mengatakan, karena Allah memegang nyawa seseorang pada saat kematiannya dan nyawa seseorang yang belum mati ketika dia tidur, dan tidur merupakan persimpangan kematian.
Rancangan mimpi seperti perjalanan mesin waktu yang siap menembus lorong hitam, dengan kecepatan tinggi dan sekejap mata maka akan beralih ke dimensi lain. Pengaturan masa dan waktu bisa diatur tergantung keinginan, memilih masa depan atau melihat masa kelam. Dari kejauhan terlihat secercah cahaya membayang dalam pandangan, penghantar menuju gerbang keabadian, sebab hakikat mimpi hanyalah khayal, dia indah untuk dikenang, tapi bukan untuk dilupakan.
Desir angin membopong butiran embun menyelinap masuk di antara celah dinding kehidupan, aroma bunga kenanga menyusup dari belakang, disertai lolongan anjing sayup-sayup sampai dalam pendengaran, sehingga menambah suram keadaan. Ranjang besi yang usang menghasilkan irama ngiik ngiik setiap kali ada pergerakan, spontan kondisi itu membuat bocah laki-laki yang celentang di atas ranjang tersentak, aura semacam itu telah menjadi sahabat karib saat menjelang subuh di sepertiga malam.
Malam telah mencapai penghujung, butiran embun menolak jatuh di antara ranting menuju daun, lantunan ayat suci sangat jelas menghempas kesunyian, kokok ayam jantan saling bersautan di antara perbukitan.
Sembari memulihkan ingatan, disingkapkan tirai dengan kondisi badan yang masih sempoyongan, menghela nafas sejauh mata memandang, dengan seretan langkah paksaan. Gelap, hitam kelam yang terlihat, langit belum pulih, seakan sungkan menampakkan gambaran surga, sebab surga selalu digambarkan dengan langit yang biru, awan putih, dan juga cahaya yang berwarna putih keemasan.
Terpaku diam, tatapan ke depan tapi menerawang, entah apa yang ada dipikiran bocah itu, terkadang ia juga berhalusinasi. Berbagai macam do’a yang disertai dengan ramuan. Ureh nan ampek: cikarau, si kumpai, si dingin, si tawa, dan tak lupa disematkan berbagai macam mantra:
“Bismillahirahmanirahim
Saibun namonyo bumi
Daro salam namonyo langik
Nan sa isi-isi langik
Nan sa isi-isi bumi
Nan jang manantang kapado aku
Aku mambari kato tigo
Inna kato Allah, ilolloh kato Mahammad, ain kato Adam
Berkat doaku lailahaillah”