Prolog

35 22 13
                                    

FOLLOW DULU GUYS, BARU BISA BACA.

"Di saat aku tumbuh dewasa, aku malah kehilangan suasana hangat dalam keluarga ku."

***

"Mas yang selingkuh! Kenapa masih terus nyalahin aku?!" Ana berteriak dengan penuh emosi terhadap suaminya. Matanya sembap, ia menangis dengan mata yang terus menatap kecewa kepada suaminya.

Egi mendengus kasar, tangannya terlipat di atas dada. "Udah jelas-jelas kamu yang ketahuan jalan sama dia. Masih tetep nyalahin aku?" Egi berucap dengan nada santainya, ia menatap tegas ke arah Ana yang sekarang sedang mengusap matanya kasar.

"Mas salah paham! Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Kemarin cuman kebetulan aja kita ketemu." Ana berucap nadanya serak dan rendah. Air matanya sudah tidak sederas tadi, mungkin ia terlalu lelah menangis sepanjang hari.

"Terserah kamu. Sekarang pilihannya, mengaku selingkuh atau kita pisah aja."

Ana membulatkan matanya, ia tidak percaya suaminya akan berucap seperti itu dengan santainya. Seolah pernikahan yang sudah dijalani selama belasan tahun itu hanyalah sebuah omong kosong belaka.

"Mas apa-apaan, sih? Aku nggak selingkuh!" Ana menyangkal, ia tidak ingin keluarganya terpisah belah. Ia masih ingat jika dirinya mempunyai seorang anak yang masih membutuhkan kasih sayang keduanya.

"Kamu nggak mengaku juga, berarti kita emang harus pisah."

Ana sudah ingin menyangkal kembali tapi tidak jadi ketika mendengar ucapan selanjutnya dari Sang suami.

"Sekarang tinggal pilih, aku yang pergi dari rumah ini atau kamu."

Ana mematung di tempatnya. Haruskah ia berpisah dengan suaminya? Suaminya yang egois, tidak pernah percaya dengan apa yang dilakukan oleh istrinya. Suaminya yang selalu ingin menang sendiri, suaminya yang dengan gampangnya memutus ikatan suci dalam diri keduanya.

Ana tidak masalah jika memang harus berpisah, yang ia pikirkan sekarang hanya anaknya. Anak gadisnya yang memang sudah cukup dewasa, yang sudah bisa menjalani hidup mandiri. Tapi sekali lagi, Ibu mana yang siap berpisah dengan anaknya?

Ana bisa saja membawa anaknya pergi dari sini, menjalani hidup dengan dirinya. Tapi di lain sisi ia juga tidak yakin bisa menghidupi kebutuhan anaknya, sekarang pun jika ia keluar dari rumah ini, ia tidak tahu akan kemana. Hidup di kontarakan kecil? Ia tidak tega, lagi pun anaknya masih perlu sekolah. Ia juga tidak yakin dapat memenuhi biaya sekolahnya.

Ana baru saja akan berucap, namun matanya tidak sengaja bertemu dengan anak gadisnya yang sekarang tengah berdiri di anak tangga paling atas, sembari menatap nanar keduanya. Ia sudah mendengar semua percakapan sarat akan emosi orang tuanya.

"Pelangi?" Ana menatap putrinya yang sedang turun dari tangga dengan langkah pelan.

"Pelangi tetap ikut aku!" suara Egi terdengar saat Pelangi berdiri di hadapan kedua orang tuanya.

Tidak ada yang bersuara. Ana diam menatap Pelangi, sedangkan yang di tatap nampak memalingkan mukanya.

"Harus banget, ya?" Pelangi bertanya, entah kepada siapa. Arah matanya menatap ke kedua kakinya yang terbalut kaus kaki.

"Harus banget kalian nyakitin hati aku? Harus banget kalian pisah? Tanpa memikirkan apa yang nanti bisa aja terjadi." Pelangi melanjutkan, kini matanya menatap bergantian kedua orang yang sedari tadi diam membisu.

"Kalian nggak bisa bicara dengan keadaan kepala dingin? Kalian harusnya mikirin kehidupan aku, anak kalian. Bukannya mementingkan ego kalian sendiri." Pelangi tahu ia sudah keterlaluan berbicara seperti itu di hadapan orang yang sangat ia hormati. Tapi apalah daya. Pelangi marah, ia benci dalam keadaan seperti ini.

"Pela-" ucapan Ayahnya menggantung ketika Pelangi mengangkat tangan menyuruhnya diam.

"Aku nggak ngerti sama masalah kalian. Sekarang aku tanya, kalian mau pisah gara-gara apa? Bukannya aku ikut campur, tapi aku juga perlu tahu." Pelangi menatap lekat pada sepasang mata sekelam obsidian milik Ayahnya.

"Dia selingkuh." Egi menjawab dengan santainya.

Pelangi menutup kedua matanya rapat-rapat. Hatinya sakit. Ia tidak pernah menyangka Ayahnya akan bicara setenang dan semenyakitkan itu. Bagaimana hati Ibunya ketika mendengarnya? Pelangi tak bisa membayangkan, yang jelas ia melihat Ibunya menitikan air mata. Hal yang sangat ia tidak sukai.

Pelangi mengepalkan tangannya. "Bunda selingkuh?"

Ana terkejut mendengar pertanyaan dari Pelangi, lantas ia menggeleng. Mana mungkin ia selingkuh. Semua yang dikatakan suaminya hanya kesalahpahaman.

Pelangi menghela napas kasar, kepalanya pusing. "Aku nggak ngerti, aku nggak tahu siapa yang bisa aku percaya di sini. Sekarang terserah kalian. Kalau mau pisah, pisah aja!"

Pelangi berlari ke arah tangga, air matanya sudah tidak dapat ia tahan. Hatinya sakit. Ia tidak pernah menginginkan ini terjadi dalam keluarganya. Sekarang terserah mereka-orang tuanya-saja, Pelangi tidak peduli. Ia akan hidup mandiri, tanpa kasih sayang keduanya pun ia mampu. Iya, Pelangi mampu.

Pelangi membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Bahkan saat ia memilih pergi, kedua orang tuanya tidak ada yang memanggil dirinya. Keduanya seperti enggan menjelaskan. Keduanya sudah tidak peduli dengan dirinya. Pelangi benci keadaan ini. Lantas ia harus kepada siapa untuk dijadikan tempat mengadu ketika ia sedang lelah? Kedua orang tuanya sudah berpisah.

Pelangi meraung di balik pintu, tubuhnya merosot lalu terduduk. Angin malam berhembus menggoyangkan gorden kamarnya. Secara tiba-tiba, hujan turun pada malam itu. Seperti tahu dengan kesedihan yang di rasakan Pelangi.

Pelangi, gadis 17 tahun yang kehilangan warnanya dalam sekejap.

***

JANGAN LUPA VOMENT, CHINGU :"))

FOLLOW JUGA, ENTAR FOLLBACK :"))

Warna Untuk PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang