“Woi, Dik!” sapa Aksa pada Dika, teman sebelah bangkunya.
“Apa?”
“Pinjem buku catatan ekonomi dong, gue belum nyatet, sibuk pramuka kemarin,” pinta Aksa.
Dika mengulurkan tangannya yang memegang buku catatan ekonomi kepada Aksa. Bisa dibilang Dika adalah anak laki-laki paling rajin yang ada di kelas Aksa. Biasanya anak perempuanlah yang paling rajin dalam hal mencatat.
Sembari menyalin catatan milik Dika, Aksa menyenggol siku Dika yang empunya sedang mewarnai sketsa gambarannya. Aksa tampak menatap ke kanan, ke kiri, dan ke belakang secara bergantian.
“Gue mau cerita,” ucap Aksa pelan, tangannya masih menulis dengan fokus. “Tapi lo jangan bocorin ke siapa aja.”
“Iya, cerit---“
“Mulut lo, bangsat!” sela Aksa sambil membekap paksa mulut Dika yang suaranya tidak bisa dikontrol. Aksa menempelkan jari telunjuknya di depan mulutnya untuk mengisyaratkan untuk diam.
Dika terkekeh setelah bekapan di depan mulutnya hilang. Tangannya mempersilakan Aksa untuk memulai cerita. Saat Aksa hendak mengucapkan kata pertama, suara khas yang mungkin Aksa sukai terdengar tepat di telinga Aksa.
“Kalian mau ngapain?” tanya Ratna kepo.
“Enggak, Na. Aku cuma ma---“
“Dia mau cer ... ra ra ... ma ... mah, dia mau ceramah,” ucap Dika ngeles. Ia memelankan dan mengganti kalimatnya setelah mendepat pelototan tajam dari Aksa. Dikan memakluminya, mungkin cerita ini sedikit sensitif dengan Ratna.
Setelah diabaikan oleh Aksa dan Dika, Ratna kembali duduk di mejanya dengan muka masam. Aksa mengacuhkannya dan kembali mencatat dan memulai ceritanya. Sebelum itu, ia berdoa supaya pelajaran pertama jam kosong dan Ratna tidak mendengar semuanya.
“Jadi, gue akhir-akhir ini mimpi aneh, Ka,” beber Aksa.
“Mimpi apaan emang?” tanya Dika dengan suara pelan, mungkin hanya bisa ditangkap oleh Aksa saja.
“Gue ketemu cewek, namanya May,” bisik Aksa.
Meskipun dalam bisikan, Ratna mampu mendengar apa yang diucapkan Aksa. Meski ia bukan siapa-siapa Aksa, apalagi kekasih Aksa, dirinya tetap merasa tertohok. Hatinya ngilu seketika, ia merasa cemburu.
“Lanjut gan.”
Aksa melanjutkan ceritanya sampai ia rasa semua sudah ia ceritakan. Ia kembali mencatat catatan ekonominya yang sempat terhenti. Ia belum berani menoleh ke arah Ratna yang duduk di belakangnya.
Benar saja, seperti doa Aksa, pelajaran pertama jam kosong. Gurunya hanya meminta hasil pekerjaan tugas minggu kemarin, untung saja Aksa sudah selesai mengerjakan tugas minggu kemarin yang tertunda.
“Lo yakin nggak kenal dia?” tanya Dika memastikan.
“Enggak, suer,” ucap Aksa dibumbui jari telunjuk dan jari tengahnya yang ia angkat membentuk angka dua, peace.
Dika manggut-manggut mulai mengerti apa yang dialami teman dekatnya. Ia kemudian tampak berpikir mengenai solusi untuk Aksa. Hal itulah mengapa ia berprofesi seperti bimbingan konseling di kelas.
“Lo jangan takut tidur dan bisa aja dia cuma khayalan,” ucap Dika sok bijak.
Tubuh Aksa menegang saat bahunya dipegang oleh Ratna. Ia berharap Ratna tidak menanyakan tentang ceritanya pada Dika. Tetapi, nasibnya tidak berpihak padanya, Ratna mulai menggeret kursi dan duduk di samping Aksa.
“Kalian cerita apa?” tanya Ratna diikuti gerakan menopang dagunya. Ia bersiap untuk mendengar cerita dari Aksa, walau ia sebenarnya sudah mendengar sendiri.
“Eng ... enggak kok, Na. Tadi Aksa minta dijelasin materi ekonomi yang dia tulis,” ucap Dika.
“Iya, ini,” sahut Aksa sambil menunjukkan buku tulisnya.
Dadanya berdegup kencang, ia takut jika Ratna cemburu dengan perempuan yang ia tahu bernama May. Ia tak mau Ratna mencari tahu kebenaran mimpi Aksa. Ratna bisa saja menjadi intel jika benar-benar mendesak.
“Masa?” tanya Ratna memastikan.
Aksa dan Dika mengangguk bersamaan. Dika menjadi ikut takut dengan Ratna. Pasalnya jika Ratna marah, bisa-bisa kelas yang mereka duduki saat ini menjadi kapal pecah. Sangat memprihatinkan.
“Tadi kok mimpi-mimpi gitu?”
"Anj*ng,” umpat Aksa dalam hati. “Aku mau ke kamar mandi.”
Saat Aksa keluar dan Ratna tidak melihat kepergian Aksa, ia mengisyaratkan Dika supaya tidak menceritakannya pada Ratna. Bisa-bisa dunia hancur hanya karena Ratna ngambek dengan Aksa.
“Jadi?”
Aksa yang baru saja membuka pintu kamar mandinya berjengit kaget melihat sosok Ratna yang rupanya sudah menunggu di depan pintu. Ia menuntun Ratna untuk keluar area kamar mandi.
“Kok kamu nggak jujur sih,” ucap Ratna dengan raut muka yang dibuat-buat.
Aksa menelan ludahnya paksa, ia paling malas berada di fase ini. Fase dimana sosok Ratna memaksa Aksa bercerita. Sedangkan cerita itu adalah hal yang sensitif dengan Ratna. Aksa diambang kebingungan.
“Tapi nggak boleh marah,” sahut Aksa pasrah. Urusan Ratna akan marah menjadi nomor terakhir.
“Iya-iya.”
Sebelum bercerita, Aksa menarik lengan Ratna untuk ke kantin. Ia memilih bangku pojok untu tempat mereka duduk. Aksa juga memesan es teh untuk berjaga-jaga jika Ratna kalap akan memarahinya.
Setelah memesan es teh, Aksa kembali dengan membawa dua gelas berisi es teh dan satu piring kecil gorengan. Dan Aksa sangat yakin jika Ratna tidak akan memakan gorengannya, takut gemuk.
“Jadi gim---“
“Jadi, aku akhir-akhir ini mimpi,” jelas Aksa. Tubuhnya terasa lolos dari jeruji besi setelah mampu mengucapkan kalimat ini pada Ratna.
“Terus? Ketemu cewek? Namanya May?” cecar Ratna.
“Kalo udah denger kenapa harus maksa cerita?!” tanya Aksa tersinggung dengan cecaran Ratna.
Aksa paling tidak suka dengan orang yang berpura-pura tidak tahu demi mengungkap kebenaran. Ia harap, suatu saat nanti mampu membinasakan sifat seperti itu. Dan tentu saja bersama orang yang memiliki sifat buruk itu.
Ratna terdiam tidak menjawab. Ia merasa bersalah setelah mencecar Aksa dengan pertanyaan itu. Ia menundukkan kepalanya saat matanya beradu dengan kedua manik mata Aksa yang menunjukkan amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaSa : DÉJÀ VU [END]
Novela JuvenilKita berada di masa yang sama. Kita berada di belahan dunia yang sama pula. Kita juga berada di alam yang sama. Tetapi, engkau sangat sulit untuk menampakkan wajah di depanku? Apakah perlu aku mencarimu? Atau aku hanya perlu menunggumu? Kita hanya p...