Prolog

10 2 0
                                    

7 tahun silam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

7 tahun silam.

Jiwanya mendidih. Api tersuar dari tatapan bengisnya. Sorak-sorai menggejuju langit-langit arena. Laki-laki itu bertelanjang dada, tergores di punggungnya beberapa luka yang tertanam selamanya. Ingar bingar pendukungnya menyatroni gendang telinga Johnny. Cukup untuk membangkitkan bulu kuduknya.

Laki-laki di depannya adalah petarung tak terkalahkan. Membunuh lawan adalah sebuah pencapaian. Ia bertarung bukan untuk uang, melainkan sebagai hiburan pemuas hasrat. Jual beli tinju adalah suatu seni. Saling tangkis, adu pukulan, tersungkur, kesakitan sama artinya dengan menari.

Para penonton meneriakkan namanya hingga menyaputi lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Tempat langganan para eksekutif muda mencari kesenangan dunia. Harga diri dipertaruhkan. Laga krusial untuk Johnny sang pendatang baru. Baru setahun ia masuk klub petarung. Pengalaman cukup mumpuni, bintang gemilang di usia muda. Bertarung hanya untuk melampiaskan diri.

Pekerjaannya sebagai detektif membuat semua pasang mata takzim melihatnya. Bergulat dengan pukulan setiap hari adalah santapannya. Menumbangkan para penjahat dari kelas teri hingga kelas tertinggi ordo mafia adalah rutinitasnya.

Laki-laki di depannya memberi hormat sebelum memulai jual beli pukulan dengannya. Ia membuang jauh-jauh sarung tinju yang sempat ia kenakan. Riak wajahnya yang mematikan berubah sangat bersahabat.

Johnny melepas kemejanya, kemeja hadiah perayaan satu tahun bersama kekasihnya. Juga melepas sarung tinju dan memilih menggunakan kain putih yang membebat jemari-jemarinya. Pertarungan harus berjalan sportif itu hukumnya. Seluruh otot-ototnya telah ia panaskan. Desir nadi yang tak hentinya bergojalak sudah ia tenangkan.

Bertarung bagi Johnny adalah upacara sakral. Prosesi di mana ia dan kematian berada pada sebuah garis lurus yang semakin mendekat tatkala tinju-tinju datang menghunjam.

"Sudah siap!" Inspektur berseru. Satu tembakan kosong terlepas, kepulan asap pecah.

Mata berketap-ketip. Kelopak berkedut cepat. Sudut bibir robek dan mencuarkan tetes darah. Butir-butir keringat mengguyur hebat.

Tinju menerjang. Tendangan melayang. Sebujur tubuh pun terkapar.

6 ronde tamat. Teriakan terbungkam kini bergemuruh. Percikan keringat telah tekesat. Napas yang tadinya terburu terasa teratur. Tepuk tangan menggema bagai guntur.

Sang Juara diangkat. Dipuja-puja layaknya dewa. Tariannya kini sudah berakhir. Opera yang ia mainkan telah khatam.

Elegi Jiwa SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang