Bunda

293 187 55
                                    

     Terlihat langit sudah gelap. Esok merupakan tanggal merah yang sangat ditunggu-tunggu oleh Agus. Ia sudah biasa tinggal sendiri di dalam rumah tanpa orang tua. Ia mengambil segelas susu yang masih hangat di dalam botol minum lalu kembali ke ruangan tamu sambil menonton acara berita. Sesekali ia melihat layar handphone untuk menunggu kabar ayahnya.

Agus, bunda pergi sebentar ya. Agus jaga ayah baik-baik, ingatkan ayah untuk tidur yang cukup. Bunda pergi keluar kota sebentar, nanti kalau bunda sudah pulang, Agus bunda belikan mainan yang bagus.

Terlintas teringat ucapan bunda hari itu, orang yang sangat berharga dibandingkan apapun. Ia kangen dengan bunda. Tanpa Agus sadari setetes air mata mulai terjatuh. Tiga tahun bunda tidak kembali ke rumah, ia tidak tahu kemana keberadaan bunda sekarang.

Handphone Agus bergetar, terlihat sebuah pesan dari ayah mengabarkan lembur malam ini. Agus segera membalas pesan ayahnya. Tak lama kemudian ia memutuskan untuk segera tidur.

                              ----------

"Bunda?"

"Ini betul bunda kan?"

"Bunda kemana saja? Kok tidak kembali? Agus kangen sama bunda," terlihat sesosok cahaya putih mendekati Agus.

"Benar Agus, ini bunda. Bagaimana kabar Agus sekarang?"

"Agus sehat bun, kabar bunda gimana?"

"Bunda sehat, Gus. Ayah bagaimana?"

"Ayah sehat bun. Tapi... Ayah sering pulang malam, maaf ya bun, Agus tidak menepati janji Agus dulu,"

"Tidak apa-apa, Gus. Ayah pulang malam juga untuk kamu, kamu belajar yang rajin ya. Bunda pergi dulu,"

"Bunda mau pergi lagi? Emangnya, bunda kemana sih?"

Tidak ada balasan, terlihat senyuman dari wajah bunda. Cahaya bunda mulai redup perlahan-lahan. Agus segera berlari menuju cahaya, namun sayang, cahaya sudah mulai menghilang.

"BUNDAAA!" Teriak Agus di atas tempat tidur yang penuh dengan air keringat. Ternyata hanya sebuah mimpi. Agus terlalu kangen sama bunda sampai-sampai memimpikannya.

"Huhuhu," terlihat air mata Agus perlahan mulai menurun. Ayahnya yang tak sengaja melewati kamar Agus segera menghampirinya.

"Agus, kamu sedang memimpikan bunda ya?" Tanya sang ayah kepada Agus yang masih meneteskan air mata. Ayah segera duduk di tempat tidur Agus.

"Ayah terkadang juga memimpikan bunda, bunda merupakan teman hidup ayah yang paling berharga. Bunda yang selalu menyemangati ayah ketika sedang terpuruk dan juga pengingat ketika ayah lupa waktu dalam bekerja," ucapnya dengan melihat langit-langit rumahnya.

"Ketika kamu lahir, bunda tidak sedih kalau kamu seorang bisu. Ia tetap senang melihat anak yang diinginkannya dapat lahir. Ayah juga senang melihat kamu lahir, bagi ayah, kamu adalah harta kedua ay—,"

"Kemana bunda?"

"Agus tanya dimana bunda?" Potong Agus.

Seketika suasana mulai sunyi, tidak ada suara dari kedua pihak. Ayah segera menundukkan wajahnya. Terlihat genangan air di matanya yang tertahan.

"Maaf Gus, ayah tidak bisa mengatakan sekarang,"

"Kenapa?"

"Nanti kamu akan mengetahuinya sendiri." Ayah segera berdiri dan meninggalkan kamar Agus yang terlihat gelap.

                                     -----

Hari mulai cerah, Sinta bergegas menuju rumah Tasya yang dikabarkan sedang sakit dikarenakan demam yang tidak kunjung sembuh. Tasya merupakan teman masa kecilnya, karena ibu mereka merupakan sahabat dari sekolah dasar. Segera ia menaiki ojek langganannya bernama pak Rama. Pak Rama selalu siap mengantar Sinta kemanapun ia butuh.

"Ketempat Tasya pak,"

"Siap dik!" Pak Rama langsung menancapkan gas dengan secepat mungkin. Terlihat jalanan begitu padat menutupi motor pak Rama. Sinta yang melihat jalanan yang padat langsung panik dan sedikit kesal.

"Yah, kok tumben sih jalanan nya macet? Biasanya kosong?"

"Mungkin sedang ada kecelakaan dik?"

"Mungkin, pak."

Sinta mencoba bersabar menunggu kemacetan yang masih berlangsung selama berjam-jam. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas, perjalanan masih terlihat padat hanya saja sedikit longgar dari sebelumnya.

BRAK!

Terdengar jelas suara benturan keras dari arah depan. Terlihat segerombolan bapak-bapak berbondong-bondong menuju arah suara. Seluruh orang yang ada di sana dibuat penasaran dengan suara tersebut. Sinta menanyakan salah satu bapak-bapak yang membantu mengangkat orang yang terjatuh dari motor.

"Masih pelajar neng, kayaknya tertabrak keras dengan mobil di belakangnya." Sinta langsung berpikir siapa orang yang terjatuh.

Pelajar?

Sinta segera berlari menuju tempat kejadian, seorang pelajar yang sedang tidak menyadarkan diri tergeletak di atas susunan kayu yang tertata rapi dengan alas karpet hijau. Tubuh yang berlumuran darah di kepalanya tidak kunjung berhenti. Bapak-bapak segera meminta bantuan kepada pihak rumah sakit terdekat untuk memeriksa keadaan korban lebih lanjut. Tak lama kemudian suara sirine ambulan mulai terdengar, pelajar tersebut dibawa ke dalam mobil dan segera dilarikan ke rumah sakit Pusaka Harapan Negeri.

Sinta mengikuti mobil ambulan dari belakang dengan motor pak Rama. Beruntung mobil yang menabrak pelajar tersebut bertanggung jawab untuk membayar biaya rumah sakit. Perjalanan yang tadinya terlihat padat kini mulai longgar karena adanya suara sirine. Beberapa menit kemudian mobil sudah sampai ke dalam rumah sakit, pelajar tersebut segera dibawa ke ruangan darurat.

"Sebentar pak! Saya seperti mengenal pelajar tersebut..." Ujar Sinta

"Azkha?!" Sinta sontak terkejut kalau pelajar tersebut adalah Azkha.


Cinta Dalam BisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang