14 • kepastian

371 56 7
                                    

"Liburan gini, kamu sama kakak kamu mau pergi kemana?"

"Paling pergi ke puncak atau nginep di rumah nenek." Langit menggaruk dagunya, "bingung mau kemana lagi soalnya. Enggak ada tujuan."

Azkia seketika termenung. "Aku juga enggak tau mau kemana, ke rumah nenek juga waktu ada acara keluarga besar."

"Emangnya Azkia enggak kangen kakek sama nenek kamu?" tanya Langit.

"Kangen sih kangen, cuma.." Azkia terdiam. Ia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan yang sudah lama didengar. Mau menjawab juga, takut Langit salah pengertian.

"Cuma?"

"Aku seringnya telepon mereka. Habis ayah sibuk, kan rumahnya jauh banget di daerah pinggir kota. Kalau pergi sendiri, aku takut diculik sama om-om ganas."

Langit hanya mendengus mendengar jawaban Azkia.

Keduanya kembali sibuk menonton sambil sesekali meneguk kopi susu. Dahi Azkia tiba-tiba saja mengerut karena ia masih memikirkan pertanyaan Langit.

"Emangnya Azkia enggak kangen kakek sama nenek kamu?"

Andai saja Langit tahu keadaan yang sebenarnya, mungkin akan berpikir dahulu sebelum melontarkan pertanyaan tersebut.

Azkia berusaha menghiraukan pertanyaan yang masih menari-nari sejak tadi sore di kepalanya. Sampai Gian sadar anaknya tengah memikirkan sesuatu, terlihat dari raut wajahnya dan bibir yang pout terlalu lama.

"Kenapa nak?" Akhirnya si ayah muda itu duduk di sebelah Azkia. Tangan Gian mengelus-elus dahi anaknya, berusaha untuk menghilangkan kerutan yang ada. "Dahimu biasa aja dong, ayah sampai beli Olay biar enggak ada kerutan di dahi ayah. Tapi kamu malah ngerut terus."

"Ih ayah, diem dulu. Aku lagi mikir."

"Mikirin siapa? Udah punya pacar ya sekarang?"

Azkia menggelengkan kepalanya, "aku pengen ikut Langit ke puncak boleh enggak yah?"

"Enggak boleh. Ayah nggak mau kamu hilang di hutan," Gian langsung saja melotot ke arah anaknya, "kenapa engga mau pergi ke sana sama ayah aja?"

"Pergi kemana?"

"Ke rumah bibi kamu. Inget sama Jenika?"

Azkia mengerutkan dahinya lagi. Seperti ia pernah mendengar nama Jenika sebelumnya, tetapi entah dimana Azkia mendengar itu. Gian tertawa melihat aksi menggemaskan anaknya dan mengusap rambut Azkia.

"Jenika yang dua tahun lalu itu nikah sama preman di dekat kantor dia sendiri itu lho nak, teman-temannya sampai marah karena kaget kenapa suaminya preman." Ujar Gian.

Ah.

Tante yang suka mencubit pipi Azkia itu.

"Kita perginya sehari habis ayah reuni?" Tanya Azkia. Yang ditanya hanya mengangguk pelan, "ayah nanti bawa mobil kok."

"Nanti aku mau telepon Ami kalau aku ke bibi, mau sambil basa-basi sama Ami kesayangan."

"Bohong, bilang aja kamu mau ghibah sama dia kan? Pasti ngomongin reuni ayah sama guru kamu itu, siapa sih namanya?" Gian menepuk dahinya, "Randall."

"Ayah kepo!" Azkia menjulurkan lidahnya. "Kalau Ami telepon ayah, berarti kita jadi gibahin ayah."

Gian menghela nafas melihat kelakuan Azkia.

Ia beranjak dari sofa, berniat untuk membersihkan wajahnya sebelum sesuatu terjadi secara tiba-tiba.

Bruk!

"EH AYAH!"

Pagi ini Samudera sudah duduk manis di teras rumah Agus sambil memakan bubur sehabis mengikuti acara zumba di lapangan.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang