PART 18

3.2K 397 117
                                    

"Hai, udah bangun? Maaf semalem Mas datangnya agak larut, soalnya masih--"

"--Masih anterin perempuan itu pulang dulu ke Kupang? Santuy, Mas. Aku nggak masalah kok. Di dalam perutku udah nggak ada isinya lagi, jadi Mas udah bisa lepas dari tanggung jawab!" sela Inna yang begitu dikejutkan dengan suara Torra ketika ia membuka mata.

Kejadian terburuk dalam hidup Inna itu, menari-nari sekali lagi dalam isi kepalanya karena hal yang tidak biasa. Selama nyaris tujuh bulan ke belakang, Inna sudah terbiasa bangun dari tidur dengan perutnya yang membuncit, jadi jangan mengatakan surganya istri ada di bawah telapak kaki sang suami, ketika Torra berperilaku seperti Dajjal padanya.

Torra bahkan mengarang cerita jika saat itu dirinya sedang di bawah pengaruh alkohol, "Aku minta maaf, Sayang. Aku khilaf dan dalam posisi mabuk berat waktu itu, jadi--"

"--Jadi kau harus memakluminya karena dia adalah mantan pacarku yang sampai sekarang masih kucintai dan juga menantu idaman kedua orang tuaku, Inna Bastari! Begitulah bahasa yang akan Mas katakan ke aku 'kan?"

"Sayang, kamu ngomong ap--"

"--Aku nggak mau bercerai! Aku juga nggak akan memberi Mas izin untuk menikahi perempuan itu, walaupun setelah sembuh nanti aku berencana untuk kembali ke Depok untuk kuliah lagi!" Menciptakan sejumlah selaan muak dari diri Inna yang sejak dulu begitu mudah terpancing. Ia memuntahkan kekesalannya dengan begitu berapi-api di depan suaminya.

"APA?!" hingga kedua bola mata Torra nyaris terpelocok keluar.

Ya, itu memang sangat mengejutkan bagi Torra. Sedari tadi mengurus pemakaman putri mereka, Torra sama sekali tidak berpikir Inna memiliki rencana kembali ke rumah kedua orang tuanya. Itu sebabnya mengapa Torra ia terkejut dan sedikit meninggikan suaranya, namun bagi Inna sendiri, perbuatan suaminya itu persis seperti sebuah opera sabun, "Apanya yang apa? Heh, sudah kuduga."

"Jangan berpikir negatif terus, Sayang. Nggak baik untuk kesehatan kamu. Maksudku balik ke rumah bapak dan ibu itu tadi. Kamu mau kita pindah ke sana?" Semua ucapan Torra jelas dianggap sebagai bagian dari kepura-puraan belaka.

"Kita? Mas masih waras? Aku mau menepi sendirian, Mas! Aku bukan malaikat yang bisa dengan mudah memaafkan kesalahan Mas begitu aja, terlebih lagi ibunya Mas yang sudah mencelakaiku sampai anakku mati!" Bahkan kini Inna tak segan-segan untuk mengungkapkan segalanya.

Tak urung, amarah Torra pun tersulut akibat umpan yang terus dilemparkan Inna padanya. Ia sama sekali tidak memercayai apa yang istrinya katakan tentang ibunya, "Jaga bicaramu, Inna! Omong kosong apa ini?!"

"Itu memang benar, Brengsek! Ibumu adalah orang yang memberikan foto-foto itu padaku, bahkan anak tangga rumah besar kalian itu juga penuh dengan minyak goreng!" Namun Inna dengan cepat menjelaskan secara lebih detail apa yang menimpa dirinya saat itu.

"Cukup--"

"--Aku perempuan, Mas Torra. Aku bisa ngebedain rasanya menginjak lantai yang baru selesai dibersihkan dengan kain pel, mana lantai yang sengaja ditumpahi sama air, sama obat pel dan juga bagaimana rasanya menginjak minyak goreng!" Perdebatan yang lebih nyaring, menggema ke seantero ruangan rawat inap dari sahut-sahutan keduanya.

"In, kecilkan suaramu."

"Jangan harap! Mamamu adalah seorang pembunuh dan yang dia bunuh jelas-jelas adalah cucu kandungnya sendiri!!"

PLAK

"Astaga! In, aku--"

"--Bajingan! Keluar kamu dari sini, Mas! Dasar pembunuh! Kembalikan anakkuuu...! Dokterrr... Susterrr... Pak Polisiii... Ini dia orangnya, Pak! Mereka semua yang membunuh anakkuuu...!" Dan kini yang lebih memilukan lagi, tentu saja adalah gambar tangan Torra yang terlepas begitu saja di pipi putih Inna.

Hemmm... Torra sungguh tak dapat menahan dirinya. Telapak tangannya bahkan masih bergetar hebat seusai melakukannya, belum lagi dengan tubuhnya yang berdiri mematung tepat di samping brankar besi.

Sepersekian detik ketika suara teriakan Inna terdengar begitu histeris, Aldi yang baru akan memulai visite paginya pun berlari ke arah ruangan tersebut. Dengan napas yang masih memburu ia bertanya sembari memindai ke seluruh isi kamar, "Ada apa ini?"

"Usir dia dari sini sekarang juga, Kak! Dia habis nampar aku barusan!"

"Apa?!" Lalu sangat terkejut ketika Inna menyambarnya dengan kalimat tersebut. Tentu saja tatapan mata tajam itu, Aldi hadiahkan untuk Torra yang berdiri di depannya.

Bahasa tubuhnya yang meminta penjelasan, sudah dicerna dengan baik oleh Torra, namun ia memilih untuk menutupi, juga mempertegas statusnya bersama Inna, "Maaf, ini urusan rumah tangga kami, Pak dokter yang terhormat! Anda boleh memiliki hubungan keluarga dengan Inna, tapi secara garis besar dia adalah istri saya!"

Pias pada jawaban yang Torra lontarkan, Aldi sempat menghadirkan seringai liciknya di sana. Isi kepalanya pun berputar cepat mencari sejumlah kalimat pembalasan, "Istri yang kamu sakiti dengan kembali menjalin affair bersama mantan pacar begitu maksudmu? Istri yang diperlakukan bagai budak seks hingga sempat membahayakan kandungannya lalu berakhir dengan kematian si jabang bayi di tangan ibu mertuanya sendiri? Istri yang sudah terbaring lemah pun masih dihujani tindakan premanisme? atau istri yang seperti apa maksud Anda, Bapak Torra Mahardika? Anggap saja saya berdiri di sini bukan sebagai saudara sepupu Inna, melainkan sebagai bagian dari penonton atau dinding kaca. Saya akan dengan senang hati menceritakan segala tingkah Anda jika diperlukan, supaya jangan Inna sendiri yang terus dipersalahkan!"

Skakmat!

"Aduh, duhhh... Perutku sakit, Kakkk..."

"Astaga, In! Di bagian man-- DARAH!" Dan Torra pun terdiam, bahkan semakin membisu mana kala cairan pekat berwarna merah itu menembus hingga ke bagian depan sarung yang Inna kenakan.

"Kak Al, sakit..." Rintihan Inna pun semakin memilukan kedalaman batin Torra yang masih dirong-rong oleh rasa bersalah.

"Ngapain kamu masih berdiri di sini, hah? Cepat ke depan sana buat panggilkan suster jaga. Saya nggak bawa sarung tangan, jadi harus gimana caranya mau periksa dalam ini?" Tapi lamunan itu terhenti sejenak, akibat titahb yang Aldi berikan padanya.

Ingin memberi jawaban namun urung terjadi, Torra memilih untuk mengabulkan perintah Aldi. Langkahnya melebar terus menuju ke meja suster jaga yang berada di depan koridor beberapa ruangan rawat inap, lalu gemuruh pun meluap dengan napasnya yang memburu, "Gawat, Suster! Ada darah yang keluar dari itunya istri saya lagi. Di sana ada dokter Aldi, tapi dia tidak bawa sarung tangan katanya. Jadi bagaimana ini? Mari tolong saya dulu, Sus!"

"Betulkah? Ya, astaga naga! Kenapa bisa perdarahan lagi setelah selesai SC? Nah, tunggu saya pergi ambil sarung tangan steril dulu, Pak. Tunggu sebentar di sini." Ada nada kekhawatiran dari perawat jaga yang meluap, sama sepertinya di sana. Lebih karena wanita itu sempat membaca riwayat perdarahan dan tindakan apa saja yang sempat menyapa Inna, maka keheranan berbalut dialeg orang timor pun masuk ke telinga Torra dan membuatnya menjadi mati gaya.

Menunggu sembari memilin ujung kemejanya adalah cara yang dipilih Torra, pada akhirnya. Sebab isi kepalanya terasa saling bertabrakan saat ini. Peri jahat dan peri baik sedang meleparkan satu demi satu penjelasan untuk saling membela diri, dan sungguh ia masih belum dapat memercayainya, "Mama tumpahin minyak goreng di tangga rumah? Masa, sih? Mama nggak mungkin setega itu membunuh keturunannya sendirinya! Inna pasti mengada-ngada biar bisa dekat terus sama dokter yang katanya sepupunya itu. Aku harus coba cari tahu soal mereka nanti!"

Menurut hukum alam, sejumlah kebohongan memang akan terus tercipta untuk melengkapi kebohongan yang sudah lebih dulu terlontar. Jadi biarlah waktu yang akan menurunkan sabdanya. Akan bahagiakah? Semoga...

***

BERSAMBUNG. TEMAN-TEMAN JANGAN LUPA FOLLOW AKUN TEMENKU @MemeyMecxa2 YA? JUGA JANGAN LUPA FOLLOW AKUNKU DI APLIKASI DREAME. MASIH ADA BEBERAPA CERITA GRATIS DAN SUDAH TAMAT JUGA LHO DI SANA. NAMA AKUNNYA JULIA INNA BUNGA. MAKASIHHH...

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang