Delapan Detik

13 2 0
                                    

Setelah berkendara selama beberapa saat mereka akhirnya dapat melihat bangunan Hotel Constantine yang megah dari udara.

Berdiri kokoh setinggi 330 lantai dengan arsitektur kontemporer nan futuristik. Namun, sentuhan arsitektur gotik klasik era Perang Salib begitu kentara, membuat bangunan ini sebagai salah satu ikon penting di Washington.

Mobil-mobil mewah hilirmudik di pintu masuk hotel. Setiap tamu dilayani layaknya anggota keluarga suatu kerajaan.

Semasa Daniel masih tinggal di Amerika, bangunan hotel masih dalam tahap awal. Belum banyak yang bisa dilihat kala itu, hanya debu dan suara bising yang saban hari memekakkan telinga.

Mobil sedan hitam yang dikendarai oleh Ardeen perlahan menurunkan ketinggiannya dan berhenti tepat di depan pintu hotel yang megah.

"Kita sudah sampai tuan Daniel," kata Ardeen.

Daniel terbangun dari ingatan masa lalunya ketika mendengar suara Ardeen.

"Nadya, kita sudah sampai ayo bangun," bisik Daniel sembari menepuk pipi Nadya.

Mata Nadya masih mengatup, hanya erangan lirih yang keluarkan. Alam bawah sadarnya masih enggan untuk bangun dan justru memeluk Daniel erat. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Nadya terbangun dan menguap lebar.

"Kau baik-baik saja?" tanya Daniel.

Nadya, mengusap kedua matanya mencoba menghilangkan rasa kantuk dimatanya, "Hanya sedikit pusing."

Setelah mengetahui kedua kliennya siap, Ardeen segera membuka pintu penumpang sebelah kiri dan memersilakan Daniel dan Nadya keluar. Daniel keluar terlebih dahulu, kemudian ia menuntun Nadya perlahan.

"Mari ikuti saya," ucap Ardeen menunjukan jalan.

Lobby hotel itu sangat luas dan mewah, ornamen klasik dan desain interior yang futuristik berpadu apik menciptakan suasana yang mewah namun sejuk untuk dipandang.

Nadya berjalan sedikit terhuyung, sesekali ia memijit keningnya karena rasa pusing yang teramat sangat dan akhirnya ia tersandung sepatu high heels-nya sendiri hingga hampir terjatuh. Namun, reflek Daniel yang begitu cepat langsung memapah pinggang Nadya.

Sebenarnya Nadya begitu tersipu malu ketika lusinan pasang mata memerhatikan dirinya. Namun, tidak dengan Daniel, dengan percaya diri ia merangkul pundak perempuan itu.

"Jangan dipaksakan ... abaikan saja mereka." Nadya akhirnya pasrah, ia pun membiarkan Daniel melingkarkan tangannya di pinggang Nadya dan membantunya untuk berjalan.

Ardeen terlihat begitu khawatir, ia pun menyarankan untuk segera memanggil dokter. Namun, Nadya menolak saran Ardeen, ia hanya menginginkan istirahat sebelum kembali berpose di depan lensa esok harinya.

"Terima kasih Ardeen, kalau ada sesuatu aku akan memanggilmu," ucap Nadya.

Ardeen memahami, ia pun segera memandu mereka berdua menuju sebuah lift khusus yang letaknya terpisah dari yang lainnya.

Pintu lift terbuka, Ardeen lantas menekan beberapa tombol khusus yang hanya menuju ke griya tawang yang berada di lantai teratas.

Nadya menyandarkan kepalanya di bahu Daniel, aroma tubuh Daniel membuatnya begitu nyaman. Selama ia menjalani hubungan dengan pria. Tak ada yang bisa membuatnya begitu sangat nyaman seperti Daniel.

***

Setelah beberapa saat, bunyi suara bel berdenting dari pengeras suara lift.

"Selamat datang di Griya Tawang Constantine," sambut Ardeen seraya menyalakan penerangan dengan sekali jentikan jari.

Kesan romantisme begitu terasa di ruangan yang luas itu. Ranjang dan sofa untuk bersantai tidak dipisahkan oleh tembok. Begitu cemerlang dengan hiasan lengkungan garis-garis simetrikal.

Kemudian Ardeen menjelaskan semua fitur dasar yang dimiliki oleh griya tawang dengan augmentasi A.I super canggih yang telah disematkan di seluruh sistem. Semua perangkat di dalam ruangan seluas 25 meter persegi itu terintegrasi dengan kecerdasan buatan. Cukup dengan perintah suara, dari hiasan lampu terkecil hingga jaringan internet super cepat di penyeranta.

Bahkan Avatar dari A.I yang bernama Sera, bisa mewujud dengan bentuk Hologram jika diperlukan.

Berhubung kesehatan tamunya sedikit tidak baik, Ardeen memohon undur diri dan menyerahkan dua buah keycard kepada Daniel.

"Baiklah, jika ada hal lain yang diperlukan ... tidak perlu sungkan untuk memanggil saya kapan saja,  layanan kamar akan tiba sebentar lagi. Please do enjoy your stay." Ardeen menunduk penuh kesopanan dan meninggalkan mereka berdua.

Nadya yang tak kuasa menahan rasa pusingnya segera melempar tubuhnya ke ranjang besar dan empuk berbalut sprei warna putih cemerlang.

"Hey, kau yakin tidak butuh obat atau apa pun?" tanya Daniel sembari melepas jasnya.

"Aku baik-baik saja, hanya butuh tidur beberapa jam."

Daniel menghampiri Nadya di ranjang. Entah mengapa ia seperti merasakan kekhawatiran di dalam benaknya. Ia pun duduk di bibir ranjang sembari membelai lembut rambut di pelipis Nadya.

Nadya pun tersenyum, ia membuka mata dan memandang Daniel lekat-lekat.

Detik pertama, lapis Qasrun atau ranah jasmaniah mereka berdua saling menyamakan persepsi bahwa mereka berada di dunia yang sama.

Detik kedua, lapis Sadrun dalam jasad mereka meyakini bahwa ada keterikatan jiwa di antara mereka berdua.

Mengalir terus ke detik-detik selanjutnya, kesadaran mereka melewati lapis Qalbu, menuju Fuad, berjalan ke Syaggaf, hingga ke muara kerinduan, yaitu Lubbun. Perjalanan jiwa mereka akhirnya berujung pada Sirrun. Akhirnya, jiwa mereka saling bertemu di lapis terdalam kesadaran mereka.

Hanya butuh delapan detik. Mereka berdua menemukan keberadaan 'cinta' yang telah lama mereka cari.

"Rahvana .... " ucap Nadya.

"Sinta .... " jawab Daniel.

Mereka berdua saling memadu kasih hanya lewat kedua jendela jiwa masing-masing.

"Di dalam diriku, ada kamu."

Mereka berdua mengucapkan kata-kata sakral itu hampir bersamaan.

NadDaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang