18

568 89 2
                                    

 "Bodoh!"

Jitakan kemudian meluncur dengan mulus, mendarat tanpa cacat di dahi Jennie. Sang pelaku mendelik kemudian, menatap sinis pada si korban yang kini tengah merintih. Untunglah waktu tidur mereka tidak diatur dan dibatasi, jadi pekikan Lalisa tadi tidak akan mengganggu.

"Apa, sih? Kau mau bersikap anarkis?" sungut Jennie tak terima.

"Tidak, aku hanya sedang berusaha membetulkan letak otakmu itu." sinisnya. "Heran, bagaimana bisa pernyataan yang sudah sangat teramat jelas itu kau tak paham? Sistem otakmu itu sebenarnya seperti apa, sih? Coba jelaskan."

Jennie mendengus. "Memangnya apa yang salah dengan kalimatku? Aku, 'kan hanya berusaha jujur."

Lalisa menghela napas kesal. "Nih, kuberitahu. Kalau ia sampai menekankan kalimatnya dan mengulang-ulang pernyataan cintanya tanpa ragu, itu artinya dia serius! Kau saja yang bodoh, sampai tak bisa mengetahui maksud dari perkataannya."

"Lalu?"

"Minta maaf! Duh, aku bisa mati berdiri kalau terus begini ceritanya."

Lalisa menepuk dahinya. Sedangkan Jennie masih terus saja menatap santai pada temannya yang bahkan sudah menipiskan kesabarannya.

"Nanti pagi, kau temui dia."

***

Jennie menuruti ucapan Lalisa dengan terpaksa. Iya, terpaksa. Karena temannya itu bahkan sudah terhitung sepuluh kali mulutnya tidak berhenti mengeluarkan petuah. Seolah-olah, dia ini orang yang paling bijak.

"Duh, mau kucari kemana lagi, sih? Kakiku pegal!" rengek Jennie, kemudian mengedarkan pandangannya ke para teman-temannya yang sedang berlalu-lalang. Menyiapkan ini dan itu, sedangkan Jennie tidak karena memang dapat bagian tugas nanti malam.

"Cari siapa?"

Jennie terlonjak. Menoleh ke belakang, mendapati sesosok tubuh tinggi menjulang dengan kayu-kayu yang bertengger di bahu tegapnya. Gadis itu seketika gugup, tapi merasa aneh saat menyadari ada yang berubah dari tatapannya.

"Cari–"

"Kalau tidak ada yang penting, minggirlah. Kau menghalangi jalan banyak orang." selanya tanpa mau tahu jawaban Jennie.

Sorot mata itu berubah, dengan arah pandang yang juga mulai berubah. Kali ini, ia menatap ke arah depan, sebelum mulai melangkah dengan Jennie yang masih mematung. Tapi, bukan Jennie namanya kalau menyerah begitu saja tanpa perlawanan. Dengan segera, tangannya bergerak mencekal pergelangan tangan lawan bicaranya.

"T-tunggu! Aku–"

"Lepas. Aku masih punya banyak tugas, tak ada waktu untuk mendengarkan."

Jennie tersentak kaget saat ucapan itu meluncur seperti tanpa dipikir ulang lagi. Menyisakan segores luka dalam batin Jennie, yang kini tengah berperang.

"Aku mau minta maaf, Taehyung." lirih Jennie tanpa melepaskan genggamannya.

Mereka berdua mulai jadi pusat perhatian. Jennie yang gengsi, memilih langsung melarikan diri dari hadapan pemuda pirang itu. Menyisakan Taehyung dengan segala pemikiran dan konspirasinya, juga atensi yang kini berpihak padanya.

"Apa dia benar-benar meminta maaf?"

Tanpa sadar, senyuman Taehyung terlukis.

***

"Bagaimana? Sukses?" serbu Lalisa begitu Jennie memasuki tenda lagi.

Jennie menggeleng dengan wajahnya yang cemberut. "Apanya yang sukses? Beruntung tidak, buntung iya."

Alien ; Taennie ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang