Tatapmu saat pertama kali itu, seperti sihir, El. Hal-hal yang paling aku benci seperti asap rokok saja, tiba-tiba tak terasa saat kamu yang mengepulkannya.
Amarah yang semula memuncak, reda begitu saja. Dua jam menunggu sia-sia, terganti lima belas menit hening, menutupi canggung namun enggan berpaling.
Ingat rintikan hujan itu?
Tepat saat langkah kita sama-sama menjauh, rintiknya datang.
Langit kesakitan, semesta saja tak rela kita berjauhan.
Kita sama-sama tak ingin kehilangan.
Tapi jarak yang tak berdekatan? Membuat hatimu dingin kemudian kesepian.
Sampai, kamu putuskan untuk mencari pelabuhan, pada perempuan yang dapat memberimu pelukan tanpa khawatir jarak memisahkan.
Kamu tahu, El?
Rasanya hancur berantakan. Rasanya tak mungkin lagi menyatukan hati yang pecahannya menjadi-jadi. Sudah berserakan, sangat sulit untuk kembali direkatkan.
Tapi, terima kasih telah pernah mencintai raga yang jauh dari sempurnaan ini. Denganmu, aku mengenal bahwa menjadi diri sendiri adalah hal yang menyenangkan. Terima kasih sudah pernah berbagi kisah dengan topengku yang kulepas.
Mengenalmu itu seperti membaca buku yang belum usai ditulis, tak ada yang tahu bagaimana akhirnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Rain.
RomanceHingga detik ini, kisah ini tak menemukan akhir. Ini kisah semesta, dengan candanya.