Persetujuan

717 82 5
                                    

Kinal duduk bersender di sofa ruang keluarga menunggu Veranda. Beberapa kali memainkan game, namun bosan masih menyelimutinya. Hari ini dirinya harus ke rumah sakit menemui sang Mama dan Papa di Bandung.

"Nay, udah siap belum? Aku udah siap nih. Gamenya di matiin dulu deh. Sepatunya udah belum?" Veranda menghampiri Kinal ikut mematikan lampu meja dan mengecek apakah Kinal sudah memakai sepatu atau belum. Kinal mematikan game yang tadi dia mainkan kemudian beranjak dari tempatnya. Sesegera mungkin Veranda mengandeng tangan Kinal.

"Papa di rumah sakit juga?" Tanya Veranda sambil berjalan keluar bersama Kinal. Namun, Kinal hanya menggeleng.

"Coba kamu chat aja Papa dimana. Kalo di rumah ya kita kerumah dulu, kalo di perusahaan ya kita kesana. Kalo di rumah sakit sama Mama juga lebih bagus kita ga muter-muter jauh," jawab Kinal sambil mengeluarkan kunci mobil dari kantongnya.

Sesuai perkataan Kinal, Veranda mengirimkan pesan pada Keynal. Sebenarnya hari ini Kinal hendak melakukan operasi, namun dia belum izin kepada sang Papa. Sedangkan Veranda sudah setuju dan bahkan sangat setuju dengan keputusan Kinal. Sang Mama juga fleksibel saja soal itu. Jika memang iya Kinal hendak operasi dia akan mencarikan dokter yang tepat pastinya.

"Papa bilang di rumah sih Nay," ujar Veranda setelah membaca pesan dari mertuanya.

"Haduh, ujung ke ujung nih," gerutu Kinal. Mereka berdua segera masuk kedalam mobil. Kinal harus membawa kekasihnya ke Bandung sekarang. Kinal hari ini tampak tidak banyak bicara. Dia hanya diam dan bicara seperlunya. Veranda yang sadar dengan mood Kinal yang kurang baik pun hanya bisa mencarikan lagu kesukaan Kinal agar mood remaja itu membaik.

"Kamu ga mau bawa apa gitu buat Papa sama Mama?" Tanya Veranda. Menurut Veranda sepertinya kurang pas jika Kinal tidak membawakan apapun untuk Mama dan Papanya.

"Ga ah, males," jawab Kinal. Veranda hanya menaikan alisnya menuruti saja apa yang Kinal katakan. Kinal sedang dalam mode tak ingin di ganggu gugat jadi Veranda harus mengalah dahulu kali ini.

Beberapa jam perjalanan akhirnya Veranda habiskan dengan tidur. Memasuki pekarangan rumah orang tua Kinal, Veranda tidak banyak berkomentar. Ini bukan kali pertama dia ke rumah orang tua Kinal. Rumah yang besarnya 11-12 dengan rumahnya, tak sebesar mainson Kinal namun tetap saja mewah. Turun dari mobil Kinal mengandeng Veranda masuk ke dalam rumahnya. Beberapa pelayan menyambut Kinal, hanya di balasi dengan anggukan oleh Kinal. Biasanya Kinal tampak lebih ramah dari ini.

"Eh, tumben masuk kok ga ada suaranya," ucap Keynal heran. Dia sedikit bertanya dengan kode pada Veranda, namun hanya di balas gelengan kepala.

Kinal memilih duduk di ruang tamu, melepas sepatu, kemudian membaringkan tubuh di sofa. Keynal masih saja berdiri di dekat sofa itu sambil melipat tangan di bawah dada. Sedangkan Veranda mengambilkan minuman untuk Kinal di dapur.

"Kamu kenapa? Masuk ga salam. Lupa cara salam?"  Tanya Key dengan nada datar. Kinal hanya menghela nafas kasar sambil mendongkakan kepala dan memejamkan mata.

"Huah! Kinal pulang!" Seru Kinal. Veranda yang sudah tiba pun langsung menutup mulut Kinal dengan tangan kanannya.

"Ga sopan kayak gitu," nasehat Veranda. Kemudian melepas tangannya dan memberikan segelas es sirup pada Kinal. Kinal tak menjawab hanya menerima minuman itu lalu meneguknya hingga habis.

"Tumben style mu ga manly pas ketemu Papa?" Tanya Keynal heran. Biasanya sang putra Devin akan berpenampilan 80% laki-laki jika bertemu dengannya. Sekarang Kinal hanya mengenakan kaos polos, jeans panjang, sneakers, dengan rambut ponytail.

"Alah capek ah punya badan dua gini. Kinal pengen satu aja jadi Devi Kinal. Ya tetep jadi Kinal dengan style tomboy Kinal. Kinal cuma mempermuda biar gampang ngomong ke Papa," jawab Kinal sambil sedikit beranjak dari posisinya. Dia membiarkan Veranda mendekat ke arahnya.

Pacar DurianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang