Cindy sungguh tidak dapat menahan kesedihannya, begitu ia tahu bahwa dirinya telah mengalami keguguran. Sebelumnya ia bahkan tidak tahu bahwa dirinya sedang mengandung. Tetapi, karena kejadian yang ia alami dengan Tika, yang membuat ia harus mengalami rasa sakit yang sangat tidak tertahankan, membuat Cindy harus merelakan janin yang ia kandung.
Cindy hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Ia tidak mau berbicara dengan siapapun. Termasuk Gerald yang menjaganya di rumah sakit.
Cindy benar-benar tidak habis pikir. Kejadian ini bagaikan sengatan petir yang datangnya tiba-tiba. Menyengat Cindy dan meninggalkan rasa sakit yang begitu menyiksa batin dan jiwanya secara berkepanjangan.
Frustasi? Tentu saja Cindy sangat frustasi. Seluruh tubuhnya pun terasa begitu lemah tak berdaya. Tidak tahu lagi bagaimana ia harus memikul segala beban yang silih berganti menderu kehidupannya.
Di ruangan vvip itu, selain ada Cindy yang terbaring lemah dengan perasaan hancurnya, ada pula Gerald yang terus berbolak-balik dengan perasaan cemasnya.
Berulang kali Gerald berhubungan dengan seseorang melalui sambungan telepon. Entah siapa saja yang ia hubungi. Tapi Cindy bisa mendengar saat Gerald berkata, "hallo, gimana? Dimana bos Panji?"
Cindy memejamkan matanya erat menahan kesakitan yang ada di ulu hatinya. Dimana Panji saat ini? Saat Cindy terbaring lemah tidak berdaya, kehilangan anak Panji yang ia kandung, dimana sosok pria itu? Kenapa dia tiba-tiba menghilang? Tidakkah ia mempedulikan keadaan Cindy disini? Atau justru ia malah bersorak bahagia karena tidak perlu bertanggung jawab akan hal ini.
Kepala Cindy semakin sakit kala ia mengingat pria itu. Rasa sesak itu menyerang dadanya.
"Lo belum bisa hubungi bos Toro?!" Tanya Gerald lagi. Nada suara Gerald tampak tidak tenang. Bahkan tak sedetik pun ia mampu untuk duduk tenang.
"Sialan! Coba lo mencar, cari ke rumah atau ke kantornya." Ucap Gerald kemudian memutuskan panggilan itu.
Gerald tahu bahwa Panji saat ini sedang marah besar. Dan membuat Panji marah adalah hal yang sangat berbahaya. Pria itu bisa nekat senekat mungkin. Bahkan tidak mengenal batasan. Karena itu, Gerald berusaha untuk menghubungi Toro. Orang yang memungkinkan untuk menghalangi perbuatan kejam Panji.
"Akkhh! Sialan!" Ereng Gerald membuat Cindy melirik pria itu sekilas.
Berulang kali Gerald mencoba menghubungi Toro, tetapi pria itu tetap tidak menjawab. Memang, kakak ypanji itu sungguh sulit untuk di hubungi. Apa lagi oleh orang bawahan seperti Gerald. Hal mustahil jika ia sudi membuang waktu untuk sekadar menjawab panggilan.
Gerald menggenggam ponselnya kuat. Pikirannya tertuju pada satu hal yang tidak ingin ia lakukan. Tapi ini jalan terakhir. Karena dengan menghubungi orang ini, Gerald tahu bahwa ini semua akan selesai. Toro akan bergerak, Panji akan dapat di cegah.
Gerald duduk di kursi di samping ranjang rawat inap Cindy. Suara napasnya terdengar kasar membuat hati Cindy bertanya ada apa.
"Yana," suara Gerald terdengar berat. "..gue tahu Yana pasti sangat kehilangan. Tapi, gue nggak mau bos Panji gegabah. Apa bisa, Yana telepon bos Panji?" Tanya Gerald dengan hati-hati.
"Bos Panji bisa bunuh ytika, Yana. Apa bisa Yana ngomong sama bos Panji?"
Dengan tatapan nanar tak menjurus, akhirnya Cindy pun bersuara. "Aku bukan malaikat, Gerald. Aku nggak mungkin bantu orang yang udah bikin aku kaya gini." Jawab Cindy.
Harapan Gerald pupus. Ia tidak mungkin untuk memaksakan Cindy yang kondisinya pun sedang sangat memprihatinkan. Terpaksa, Gerald harus memilih jalan terakhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella Escape || Panji Zone
RomansaHidupku sempurna. Punya papa dan mama yang baik serta sangat pengertian, punya sahabat yang selalu ada, dan punya kekasih yang begitu menyayangiku. Tetapi.. Tiba-tiba semua itu sirna seketika. semua itu berubah setelah ibuku meninggal. hidupku hancu...