9 || Curiousity that Leads to Trouble

5K 719 13
                                    

Curiousty

•●◇★◇●•

"Arleen, rasa penasaranku semakin tinggi. Rasanya ada sesuatu yang membuatku ingin pergi ke menara adik baru kita untuk melihat apa yang terjadi disana. Pelayan dan pengawal bergiliran masuk kesana. Bahkan tabib kerajaan juga pernah masuk kesana! Kenapa kita tidak boleh masuk? Ah, kita harus menyamar menjadi pelayan agar bisa melihat Aelion! Setuju tidak?" Artheen menyikut Arleen yang sedang fokus membidik burung angsa di depannya dengan panah. Ketika Artheen menyenggolnya, panah itu meleset dan membuat angsa buruannya terbang menjauh.

Arleen menoleh dengan kesal. Rasanya ingin sekali mengunci mulut kembarannya sendiri yang terkenal cerewet itu.

"Idemu terlalu bodoh! Aku tidak ikutan."

Artheen masih tidak menyadari raut wajah kesal saudaranya karena terfokus pada menara yang seperti tak ada kehidupan didalamnya, menara Antares.

"Kau kan pintar, aku juga cerdik dalam mengelabui. Kita bisa saling melengkapi." Artheen menyengir lebar.

"Kau saja yang berpakaian seperti pelayan wanita itu! Aku tidak ikut!"
Arleen bertambah kesal. Ia membayangkan tangannya menjitak keras kepala kembarannya sendiri sampai mengaduh.

"Aduhh, kalau begitu menyamar jadi pengawal saja ya??"

"Tidak!"

"Ayolah Arl-"

"Tidak!"

"Temani saja-"

"Tidak!"

"Arl-"

"Tidak bodoh, apa kau tidak lihat ayah masuk ke dalam menara itu tadi?! Kalau kita masuk kepala kita akan terpenggal dengan sendirinya! Dan bocah penjaga Aelion itu berkata kita harus merahasiakan ini dengan baik! Masuk kesana artinya sama dengan bunuh diri!" Arleen gencar meluapkan rasa kesalnya.

Rasa bersalah terbesit dalam hati kecil Arleen saat melihat Artheen mematung dengan tatapan tak percaya, namun ia harus menyadarkan kelakuan Artheen yang kekanakkan ingin masuk kesana.

Arleen mengusap wajahnya frustasi. "Begini, jangan buat keributan dan tetap bersikap normal, selayaknya kita. Jangan melakukan hal yang membuat nyawa kita melayang." Arleen menjeda ucapannya. "Jangan."

Artheen mengangguk kaku. Arleen menepuk bahu saudara kembarnya dan membawa panahannya, pergi dari sana.

Lima detik dibutuhkan untuk menyadarkan Artheen yang masih bengong di posisinya.

"Sial, aku kenapa?"

••••

Suara ribut terdengar dari luar pintu kamar Aelion yang tadinya sunyi semenjak kepergian Anthera, yang beralasan ingin makan karena lapar.

Situasi sepi dan damai tadi dimanfaatkan Aelion untuk menenangkan dirinya sembari melihat ke luar jendela, walaupun sekarang jendelanya sekarang dipasang teralis besi kotak-kotak.

Pintu terbuka lebar menampakkan tubuh tegap Revechel dengan jubahnya yang super mewah (oke, jangan bicarakan penampilannya yang ditempeli kemewahan) menjuntai kebawah lantai. Dua dayang di samping kanan kirinya tak diijinkan masuk ke dalam kamar Aelion kecuali Revechel tersendiri.

Dan saat inilah, ayah dan anak itu saling berpandangan.

Aelion merasa bingung apa ia harus memberi hormat kepada ayahnya sendiri atau mendiamkannya saja. Anak itu berdiri dari duduknya setelah memutuskan untuk memberi hormat saja, daripada kepalanya putus sendiri.

Aelion mencoba mengingat gerakan luwes pelayan laki-laki yang ia lihat kemarin memberi homat kepada keluarga kerajaan. Ia menunduk dan mendekapkan sebelah tangannya di dada, memberi hormat.

Revechel yang melihat itu mendengus kasar. Bahkan Aelion sendiri dapat merasakan beberapa helai rambutnya yang tertiup angin dingin dari nafas Revechel.

"Aku akan mengirimkan guru etiket kepadamu besok. Kau bukan pelayan, Aelion." Ada rasa dingin menjalar di dada Aelion saat pria itu menyebut namanya. Dan ia menyadari bahwa cara penghormatannya salah, itu adalah penghormatan pelayan untuk orang yang derajatnya lebih tinggi dari mereka.

Jadi malu.

"Sudah merasa baikkan?" Aelion mengangguk kaku saat ayahnya sendiri menanyakan keadaannya.

Suasana yang canggung. Revechel duduk diatas salah satu sofa tunggal berwarna merah yang sering diduduki Anthera. Ia menatap tajam Aelion yang masih berdiri dan menunduk bak sedang dihukum berdiri di depan kelas.

"Aku teringat jika aku tidak pernah melihatmu dengan mata terbuka. Selalu tertutup."

Aelion mencoba membalas ucapan ayahnya. Ugh, benar-benar kaku! Berbeda sekali saat ia mengobrol dengan Anthera.

"Ha-hamba meminta maaf Yang Mulia Lord....? Hamba tidak bermaksud begitu."

Revechel terkekeh kecil. Kekehannya sanggup membuat Aelion merasakan sesuatu tak nyaman menjalar di dadanya, lagi. Apa ucapannya salah?

"Sepertinya aku benar-benar harus mengirimkan guru etiket paling tegas secepatnya kesini."

Mungkin benar.

Aelion menelan salivanya.

"Tapi sekarang, aku ingin memberitahukan sesuatu yang amat penting. Rumor tentangmu semakin menyebar dan untuk mencegah hal tak enak terjadi, aku akan mengkonfirmasi keberadaanmu kepada publik 1 minggu lagi. Jadi bersiaplah." Amat sulit bagi Revechel mengatakan akan mengadakan acara debutante untuk Aelion. Ia memikirkan pasti anaknya tidak akan mengerti kosakata seperti itu.

Aelion hanya menganggukkan kepalanya patuh.

Revechel melirik jam dinding kuno yang tertempel di dinding, lalu berkata pada Aelion. "Aku harus pergi sekarang. Kau beristirahatlah secukupnya."

Pria itu berjalan dua langkah dari pintu sebelum menoleh kembali berkata untuk ke terakhir kalinya. "Jangan tahan nafasmu."

Aelion segera membuang nafasnya lega saat ayahnya menutup pintu kamarnya. Ia segera duduk di kursi dekat jendela tempat ia merenung tadi. Sekedar merilekskan kakinya yang kaku karena berhadapan dengan pria dingin semacam Revechel (hanya 5-7 menit sih, tapi jika bersama ayahnya sendiri rasanya sampai bertahun-tahun).

Ia teringat senyum Revechel yang sangat- sangatt tidak cocok di wajah pria itu. Sangat kaku, malah lebih mirip seringaian yang menyeramkan! Seketika Aelion merasa merinding dan mengusap lengannya sendiri.

"S-sangat mengerikan. Sumpah demi apapun yang hidup di dunia ini, aku tidak ingin melihat senyumnya yang menyeramkan-"

"Siapa?"

Aelion terlonjak kaget melihat tubuh besar menutupi jendela kotak-kotaknya.

Aelion segera mengambil pisau yang ia siapkan (yang belum tahu, pisau itu adalah pisau yang digunakan Aelion asli untuk bunuh diri) dari kolong kasur untuk menghunuskan ke arah manusia laba-laba dadakkan yang sedang merayap di jendela kotak-kotaknya.

"Oh! hei, hei, tenang adik. Aku tidak memiliki niat jahat!" Pemuda yang merayap di jendelanya menghindar dengan gesit saat tak sengaja Aelion menujamkan pisaunya secara brutal.

"Uwahh uwahh penjah-hmpp!"

Artheen membukam mulut Aelion dengan satu tanagnnya melalui celah jendela. Satu tangannya menopang berat badannya di salah satu teralis besi.

"Kau gila? Kau ingin aku mati jatuh dari sini?!" Artheen mengucap sumpah serapah. Ia menjauhkan tangannya ketika melihat mata Aelion yang berkaca-kaca.

"C-cengeng! Jangan menangis nanti ketahu-!"

"SIAPA YANG--!!"

Violet membuka pintu kamar Aelion dengan tergesa-gesa sesaat curiga mendengar suara ribut-ribut di dalam. Ia menutup mulutnya untuk meredam teriakkannnya ketika melihat salah satu pangeran Easter tengah bergelantungan di jendela teralis kotak-kotak.

"P-pangeran Artheen?!"

To be continued....

•●◇★◇●•

After Life: ReincarnationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang