8/9

342 124 27
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



🌓



 "Aku, menyukaimu. Wendy."





Fyuh.

Aku sampai sempat lupa menghembuskan napas. Sudah kubilang 'kan? Lelaki ini terlalu jujur. Tiap katanya terlalu tulus. Terlalu bersungguh-sungguh sampai aku sendiri berpikir—wah, aku betulan enggak waras kalau sampai mengakui ini.


"Gimana, Wen?"

"Chan. Dengar ya. Memang, tadi aku sendiri yang bilang latihan pun harus tetap jaga totalitas. Tapi, jangan pakai namaku juga."


Untung aku mengajaknya bertemu sore-sore, langitnya sedang merah. Seenggaknya, kalau wajahku agak memerah, enggak terlalu kentara. Duh, jantungku dibuat lembur untuk hal-hal yang enggak perlu.

"Sebut saja nama perempuan yang kamu sukai itu, Chan. Oh, bayangkan saja yang sedang berdiri di hadapanmu ini, perempuan itu. Yang kayak begitu... baru namanya totalitas."

Dan perasaanku dibuat terluka untuk hal-hal yang tidak perlu. Wah, bisa-bisanya aku bawa perasaan sendiri. Aku masih coba berpikir positif, mungkin aku cuma bapar, bawaan lapar. Barangkali setelah makan nanti otakku kembali pulih dan mampu berpikir rasional.

Sedang si Chandra hanya memainkan bibirnya, keningnya agak mengkerut, dan kedua lengannya bergerak ke pinggangnya, "Kamu ini... Suka ke perpustakaan buat pencitraan, ya?"


Hah, apa?


"Di perpustakaan kamu tidur 'kan? Bukannya baca buku?"

Kusimpulkan si Chandra ini sama laparnya denganku. Bicaranya mulai ngawur.

"Kamu memang sebodoh ini atau—ah, sebetulnya kamu sudah tahu dari awal, ya? Wah, padahal kamu enggak perlu pura-pura, Wen. Kalau enggak suka ya bilang saja enggak suka. Enggak perlu membuatku kelihatan dungu begini."


Sumpah, kepalanya perlu ditempeleng sedikit. 

Barangkali ada yang bergeser di otaknya. Habisnya, kenapa aku malah diomeli? Memangnya aku salah bicara? Memangnya aku salah kalau memintanya jangan memakai namaku kalau hanya untuk latihan begitu?

Dan sekarang dia malah pergi tanpa permisi. Atau basa-basi bilang terima kasih karena sudah kubantu.



🌓



Aku lapar setengah mati.

Makanya, hal pertama yang kulakukan setelah sampai ke rumah ya makan. Supaya otakku bisa berpikir jernih. Supaya otakku enggak perlu dipenuhi hal-hal yang enggak perlu macam apa yang terjadi sore tadi. Supaya aku enggak perlu dibuat bingung sendiri pasal apa yang salah dengan perasaanku.


Raymond Chang. Peter Atkins. Fessenden. Riswiyanto. Vogel. Siapa bilang aku tidur? Buku mereka bolak-balik kubaca sampai mau meledak kepalaku.


Wajah rupawannya itu sesekali harus kutampar dengan buku Raymond Chang. Apanya yang pura-pura? Dari awal juga aku selalu bilang yang sebenarnya. Aku selalu bilang kalau menurut pandanganku, dia memang sedang enggak berbohong. 

Kalimatnya memang tulus ucap begitu. Dari denyut nadinya, kapan ia menghela napas, intonasinya saat bicara, ia... sedang... bicara... jujur, padaku.




Ah, pantas dia sampai semarah itu. Memang aku yang payahnya keterlaluan.


Harusnya ia tahu. 

Otakku ini biasa dipakai menghapal mekanisme reaksi senyawa organik. Jadi, aku mana paham soal reaksinya yang tiba-tiba marah tadi. 



🌓




ehehehehe, tinggal se-chapter lagi euy.

terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan! ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
bohong paling serius ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang