Part 22

191 13 2
                                    

Razi merebahkan diri kelelahan di atas kasur empuk berukuran besar di kamar Terrace Suite yang dipesan Koh Ahong untuk dirinya. Sebelas paperbag berisi perhiasan yang senilai dua Lamborghini tergeletak di meja sudut. Selain itu ada tujuh paperbag lain di kursi malas sebelah jendela. Hari itu melelahkan sekali, setelah menemani Marvish wawancara kerja, Razi melakukan pekerjaan rutinnya sebagi personal shopper khusus perhiasan kelas atas. Setelah kemarin menyambangi Harry Winston, hari itu Razi mengambil beberapa pesanan di Graff, Buccellati, Piaget dan Van Cleef Arpels.

KRIINNNGGG!!!!!

Handphonenya berbunyi, telepon dari Koh Ahong,

“Assalamualaikum, Koh.”

“Waalaikumsalam, gimana, Raz, lancar semua?”

“Alhamdulillah, so far sih udah beres, Koh. Tinggal berangkat aja besok ke bandara.” Jawab Razi sambil melepas sepatu dan jaketnya,

“Siipp, tapi sebelum balik, ke Cartier dulu ya, ada pesenan mendadak dari Bu Rasni yang di Surabaya.  Tanyain ada gak stok Panthere Sautoir, kalaupun harus PO gak masalah.”

Telepon ditutup setelah Razi mencatat beberapa pesan Koh Ahong di memo yang disediakan pihak hotel. Segera dia mengambil wudhu dan shalat jama takhir. Dalam sujud terakhirnya, Razi tak pernah lupa mengirim doa untuk almarhum Abah, almarhum Papa, Emak dan semua keluarganya yang sangat dia sayangi.

Razi sedang mengancingkan jaket di depan lift ketika ada seorang pria paruh baya ikut menunggu. Penampilannya seperti konsultan senior dengan tas kulit mengkilap yang dia tenteng, beberapa kali dia melihat jam rolex emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya,

“Good afternoon,” Sapa Razi ramah,

Pria itu hanya mengangguk sambil seklias memperhatikan penampilan Razi dari atas ke bawah. Lift terbuka dua detik kemudian, ketika mereka keluar di lobby, pria itu menahan Razi yang akan keluar lebih dahulu,

“Jangan lupa bersihkan kamar dan sediakan wine pesananku jam delapan tepat.” Ujar pria itu sedikit ketus, lalu dia bergegas keluar, meninggalkan Razi yang kebingungan.


Razi mengunyah potongan terakhir Rib-Eye Steaknya dan mengucapkan doa setelah makan dalam hati. Sambil menyesap segelas besar Ayran, dia memperhatikan dan mengagumi interior restoran Ruya yang bergaya Oriental Turki.

Hampir semua meja besar penuh oleh beberapa keluarga yang rata-rata berbangsa arab dan turki. Satu dua orang berkulit putih terlihat di beberapa titik. Lima sampai tujuh pelayan hilir mudik membawakan hidangan yang aromanya mengingatkan kita kepada deretan restoran di selat Bosphorus.

Razi baru saja ingin beranjak ketika ada seorang pelayan mengantarkan seporsi udang besar dipanggang setengah matang dengan lapisan saus guacamole dan semangkuk es krim tiga rasa,

“bunu sipariş etmedim.” Razi mengangkat tangan ketika pelayan itu meletakkan dua hidangan,

“bizden hediyeler, untuk tamu special kami malam ini,” Jawab pelayan itu dengan keramahan level sultan,

Canggih bener, batin Razi. Tanpa bonus ini pun dia sudah cukup terkesima ketika memberikan voucher yang dia dapat dari Koh Ahong. Awalnya pelayan Restoran Ruya tidak paham dengan amplop berisi voucher dan memo yang dia berikan, tetapi ketika manager mereka membuka amplop tersebut dan memeriksa isinya, segera saja dua pelayan senior mempersilakan Razi duduk di lounge privat untuk keluarga dan menawarinya hidangan terbaik.

Setelah semua hidangan habis (Razi harus menolak berkali-kali ketika pelayan kembali menawarkan menu), Razi beranjak pergi setelah memastikan paperbag merah bertuliskan Cartier ada di tangannya. Di pintu keluar, dia berpapasan dengan Mr. Dedeci, manager restoran Ruya yang belakangan diketahui sering menjalin Kerjasama dengan Koh Ahong,

Love of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang