BAGIAN EMPAT PULUH TUJUH

17 3 0
                                    

Bacanya pelan-pelan, biar kalian bisa ngerasain apa yang Zella rasain:")

***

KINI aku sudah sampai dirumah. Membawa sebuah beban hidup yang baru. Yang mungkin sudah merenggut semua rasa yang kupunya.

Melangkah perlahan mendekati pintu, aku tak langsung masuk ke rumah. Rasanya enggan untuk membuka pintu, meski jemariku sudah menggenggam knopnya.

Aku merasa sedang mengulangi apa yang kulakukan saat dihari pertamaku ujian. Enggan membuka pintu dikarenakan pikiranku benar-benar kacau. Mengingat baru saja ada hal yang membuatku hampir mati karena terkejut.

Dirma.... kenapa kamu melakukannya? Katakan padaku kalau itu bohong. Kamu pasti tidak akan menjadi serendah itu.

Air mataku kembali tumpah. Bahuku bergetar mengikuti irama tangisku. Sakit, sangat sakit. Sebuah fakta yang memaksaku untuk mempercayainya, fakta yang sama sekali mustahil dilakukan cowok itu. Kecewa, sangat kecewa. Sebuah rasa yang masih tertinggal semakin menusuk hati.

Aku merunduk, menempelkan dahiku dipintu. Tenggelam dalam pikiran. Saat dimana aku mengalami frustasi berat, tangisku tak akan pecah tapi hatiku yang akan melakukannya. Sedangkan ekspresiku hanya datar dan membiarkan air mata berjatuhan.

Ketika aku memejamkan mata, tak sengaja mendengar suara isak tangis. Bukan, itu bukan berasal dariku. Lalu suara siapa itu? Aku menajamkan telinga. Ternyata suara itu berasal dari dalam rumah.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menarik knop dan pintu terbuka.

Mataku terbelalak. Tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Ibuku meringkuk diatas sofa sambil menangis hebat, menatap betapa laknatnya suaminya sekarang.

"Aku mohon, Mas. Ceraikan istrimu dan kembalilah bersamaku. Kembalilah bersama anak kita, Kinan."

Napasku tercekat ketika mendengar suara wanita itu. Wanita bernama Andin itu.... kurang ajar!

"Mau apa anda kemari!?" aku melangkah mendekatinya membuat mereka menoleh kaget ke arahku.

Tanpa merasa bersalah aku langsung menarik bahu Tante Andin menjauh dari Ayah lalu melayangkan tamparan yang mendarat sempurna dipipinya.

"Mau apa anda kemari!?" tanyaku ulang.

Ayah mendelik melihat apa yang kulakukan barusan terhadap selingkuhannya itu. Tangannya yang bebas menariku, mencengkram tanganku kuat seraya menatapku nyalang.

"APA YANG KAMU LAKUKAN, ZELLA!?"

Aku meringis menahan sakit karena cengkraman Ayah terlalu kuat. Tak peduli pipiku yang sudah dibanjiri air mata, aku tak peduli. Yang aku pedulikan hanya sosok tua yang menangis diatas sofa sana. Menatapku nanar, bingung harus melakukan apa. Aku tahu Ibu tak akan bergerak sedikitpun. Sosoknya sama sepertiku, jika merasa tertekan, seluruh tubuhnya akan menjadi kaku.

"Tolong jangan halangi saya untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik saya, Zella!!"

Aku mengalihkan tatapanku ke arah Tante Andin. Tak kusangka dia mengatakan hal keji itu. Didepan istri pria yang ia cintai. Benar-benar dunia serasa akan kiamat!

"Wanita laknat! Lancang sekali anda berkata itu didepan Ibu saya! Dimana rasa malu anda sebagai wanita?!"

Tante Andin bergerak mendekati saya. Menyuruh Ayah untuk melepaskan cengkramannya. Menghadapkanku pada wajahnya yang sok suci itu. Aku benci padanya! Aku benci semua tentang dirinya!

Kembalilah bersama anak kita, Kinan.... anak kita? Kinan? Tidak mungkin!

"Saya bukan wanita laknat, Zella. Kamu seharusnya mengatakan itu pada Ibumu. Dia...!" ujar Tante Andin, jari telunjuknya mengarah ke Ibuku, "Dia yang seharusnya kamu bilang wanita laknat, WANITA YANG TELAH MERENGGUT KEBAHAGIAAN PUTRI SAYA!!"

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang