Ig: @Anantapio26_
Nanta mendaratkan pantatnya pada bangku kosong tepat di sebelah Olivia. Nampak teman-temannya masih sibuk berlalu lalang membawa beberapa berkas penting yang akan dibahas pada rapat OSIS kali ini. Gadis itu menoleh, menatap Nanta dengan kedua alis nyaris tertaut.
"Lo kenapa?" tanyanya mengenai keadaan wajah Nanta yang masih menampakkan sedikit lebam.
"Nggak apa-apa," jawab Nanta santai.
Olivia tidak lanjut bertanya, bola matanya menelisik jauh mengenai peristiwa yang sudah Nanta alami. "Lo berantem sama siapa?" selidiknya.
"Udah lah, nggak usah dibahas," jawab Nanta tetap kalem.
Olivia menghela pelan. Ia tidak memaksa Nanta untuk bercerita. Tangannya terulur untuk menyerahkan berkas laporan pada Nanta. "Nih, coba lo koreksi," ujarnya.
Nanta menerima beberapa lembar laporan yang Olivia berikan. Ia menghela. Rasanya otaknya harus bekerja lebih keras lagi saat harus menatap berkas-berkas sialan ini. Ia pun merundukkan kepalanya di atas meja. "Otak saya lagi macet," ujarnya pasrah.
Olivia berdecak. "Lo nggak harus lupain semuanya, Nan," ucapnya seakan tahu apa yang tengah Nanta rasakan.
"Iya. Tapi saya harus ikhlasin semuanya," balas Nanta meremas rambutnya.
"Sabar, ini cuma soal waktu."
Nanta mendesah. Ia sudah hilang fokusnya untuk mengikuti rapat kali ini. Tak lama kemudian Renaldi datang dan langsung duduk di bangku utama. Mulai langsung membahas beberapa poin penting mengenai laporan program kerja yang sudah terlaksana di setiap bulannya.
Pandangan Nanta lurus menatap Renaldi dan pengurus harian lainnya yang duduk berderet di sampingnya. Berusaha untuk tetap memperhatikan semua yang disampaikan Renaldi maupun anggota lainnya.
Bersamaan dengan diskusi. Iringan awan jingga mulai menampakkan warna cerahnya. Nanta menoleh ke arah jendela yang terkena cahaya senja keemasan. Menghela sebentar tatkala rapat mulai selesai.
Ia bangkit. Rapat telah usai. Tak perlu menunggu lama ia segera meluncur. Entahlah, ia akan pergi ke mana. Kakinya begitu saja mengantarnya pada sebuah halte yang menampakkan seorang gadis yang tengah duduk sendiri. Gadis itu Laisa dan Napak sedang sibuk dengan ponselnya. Rautnya nampak cemas. Entah karena apa.
Dari belakang Arya datang menepuk bahunya. Lantas membuat Nanta menoleh. "Samperin aja, nggak usah takut nggak bisa move on," bisiknya.
Hatinya ingin menuruti perkataan Arya, namun otaknya malah sebisa mungkin untuk mengelabui niatnya. Sial! Ia malah berbalik dan menjauh. Untunglah Arya dengan cepat mencegahnya untuk pergi. Laki-laki itu segera menarik Nanta dan mendorongnya untuk menghampiri Laisa.
Sembari menenangkan jantungnya, Nanta mulai melangkah pelan menghampiri Laisa. Gadis itu tampak tidak menyadari kedatangannya. Terlebih kedua telinganya sedang tersumpal earphone nirkable. Lantas, Nanta memberanikan diri untuk duduk di samping Laisa. Pandangannya lurus ke depan, menatap kosong jalanan ramai di hadapannya.
"Belum pulang?" tanyanya tanpa menoleh.
Laisa mendongakkan kepalanya. Mengalihkan pandangannya dari ponsel untuk menatap Nanta. Mendadak, jantungnya kembali berdentuman tak keruan. "Belum," jawabnya.
"Terus pulang sama siapa?" tanya Nanta dan sialnya bukan Laisa yang menjawab pertanyaannya, melainkan Alfan yang berdiri tepat di hadapannya.
"Gue." Laki-laki itu terlihat angkuh.
Nanta mengangkat kepalanya, membalas tatapan Alfan dengan dingin.
"Mending lo pergi. Jauh-jauh dari Laisa, karena dia udah jadi milik gue sekarang," usir Alfan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...