Langkah 3 - Konspirasi Semesta?

1K 93 6
                                    


ADITH

Kemarin ...

"Gang putih melati blok II No.73 ... yaelaaahh ... gue salah bacanya tadi ... ini kan blok III," gerutuku membuka catatan digital alamat sebuah rumah, tempat di mana aku harus mengambil dua kotak bolu jadul pesanan Mama.

Lagian heran, jaman si buta dari goa hantu sudah lewat dari kapan tahu, urusan beginian masih saja repot harus mengambil sendiri!

Jasa kurir banyak keleussss, gaptek amat!

Tapi, sesaat aku terpekur, mengingat sanggahan Mama saat aku mencoba memberi alternatif itu dengan alasan klasik sejuta anak yang disuruh emak yakni 'malas' jika harus keluar lagi, padahal baru saja menginjak kaki di rumah.

"Teman Mama emang gaptek, dia hanya bisa pakai hp lama yang kecil, itu pun cuma bisa sebatas telepon aja, tapi bolu buatannya enak, lembut dan bikin ketagihan, ngalahin bakery-bakery terkenal di daerah kita, Dith. Satu lagi, dia nggak percayaan sama orang, jadi sebisanya kalau nggak sana yang antar, ya kita yang harus ambil langsung ke sana."

Menarik napas dalam beberapa kali.

"Sabar sabar," ucapku mengelus dada sendiri, tidak mungkin kan dada manusia lain?

"Biasanya orang sabar itu ... ya bakal diuji lebih berat lagi lah! Tidak semudah itu bisa dapat payung atau umroh gratis!" --Aku menepuk tangan sekali, amat hiperbolis.

Baru sebentar menarik kembali gas di genggaman, aku bisa merasakan pergerakan Rookie yang sedikit aneh. Pantat vespa yang biasanya berjalan lurus dan ringan kini terasa begitu berat dengan egolan layaknya bebek genit di jalanan.

Berhenti di tepi.

Menjejak stand-nya ke arah bawah, aku lalu turun dan melepas helm, mengecek kondisi terkini Rookie yang sempat terlintas dalam benak. Dan, benar saja, ban belakangnya kempes tampak gelenyir-gelenyir.

Aku mengacak mahkota. "Rookieeeee, plislah! Mau hujan nih, masa kamu tega sih? Bisa-bisa diomelin Mama kalau pesanannya belum diambil juga." keluhku berkacak pinggang dengan kepala tolah toleh ke atas bawah kanan kiri.

Memakai kembali helm coklat dengan banyak stiker bebek kuning tertempel, pelan-pelan aku menuntun mesra si anak sulung --yang walau berkapasitas kecil dan kadang rewel, tapi selalu bisa diandalkan di situasi genting pun saat-saat kepepet, termasuk mengejar copet di gang-gang sempit.

Asli, aku pernah ya kecopetan jaman awal masuk kuliah dulu, untung saja Rookie masih gesit puripurna kala itu, seruduk-menyeruduk ini anak jagonya, membuat sampah masyarakat bertampang jamet kuproy itu lari terseok ngilu pada akhirnya.

Baru setengah jalan, kali ini aku bisa merasakan adanya perbedaan bulir-bulir di dahi yang bukan hanya peluh saja, tapi bertetangga pula dengan titik-titik air dari atas langit sana.

"Huuuuffffttttttt ...."

Mendongakkan kepala, maka bibirku bergerak semakin melengkung turun.

"Tuh kan ... tuh kaaaaaaann ...."

Jika sudah begini, yang bisa kulakukan hanyalah menambah kecepatan dalam berjalan agar bisa keluar dari gang ini segera, menuju tukang tambal ban sekaligus menumpang meneduh kalau-kalau hujan kian menderas.

Mengejar Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang