Sembilan Nyawa

33 4 0
                                    

Nadya tertidur pulas setelah Daniel memberikan kenyamanan untuknya. Hanya tatapan sederhana dan sentuhan lembut di keningnya sudah lebih dari cukup untuk menenangkan jiwa Nadya yang sebenarnya sudah terlampau lelah.

Hari beranjak malam, akan tetapi mata Daniel tak bisa terpejam sedikitpun. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia menapakan kaki di tanah kelahirannya.

Duduk termangu melihat keluar jendela, benderang cahaya lampu-lampu perkotaan menyala satu per satu. Seperti kunang-kunang yang saling bersahutan dengan cara mereka.

Hamparan kerlip lampu kendaraan di jalanan mengular hingga bermil-mil jauhnya di mata Daniel. Seperti urat nadi cahaya yang saling bertautan satu sama lain.

Daniel mengedarkan pandangannya, di arah selatan ia bisa melihat komplek bamgunan megah berwarna putih cerah bermandikan cahaya lampu.

"White Raven ...." gumam Daniel sembari menatap ke arah komplek gedung itu.

Ia alihkan pandangannya ke arah Nadya yang sudah tertidur pulas mengenakan piyama. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya untuk menjalin hubungan dengan orang lain, apa lagi dengan seorang wanita seperti Nadya.

Perbedaan dunia dan habitat mereka sangatlah jauh. Jika Nadya adalah bunga teratai yang sedang mekar dengan semerbak keharuman, maka Daniel adalah air dan lumpur tempat di mana bunga-bunga teratai tumbuh di atasnya.

Dunia yang Daniel tempati sangat jauh dari hingar bingar kemewahan. Darah dan bau daging busuk yang terbakar adalah udara yang mengisi paru-parunya, menjalar ke setiap sel darahnya yang menghitam.

Bunyi alarm di jam tangan Daniel membangunkannya dari lamunan. Pukul sembilan tepat, tak terasa ia duduk melamun lama di kursi samping jendela kaca nan besar itu.

Satu botol wine sudah hampir habis ia minum untuk menemani lamunannya yang mengembara ke dunia imaji tak bertepi.

Walaupun Nadya mengijinkan untuk tidur seranjang dengannya, akan tetapi Daniel masih sungkan. Terlebih Nadya tertidur begitu lelap dengan wajah ayu. Ia pun memutuskan untuk menyudahinya dan beranjak ke sofa.

Namun, sekelebat bayangan tertangkap ekor mata Daniel ketika ia melepas kemejanya. Satu burung gagak putih dengan cincin emas di kakinya, bertengger di pagar beranda sembari menatap Daniel penuh maksud.

Daniel awalnya ragu, ia mendekat ke beranda untuk melihat lebih jelas. Burung gagak itu mengepakan sayapnya dan menyisir bulu dengan paruh. Matanya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya ia mematuk lirih kaca jendela beranda.

Daniel pun membuka jendela, burung gagak putih itu langsung terbang memutar-mutar dan kemudian hinggap di lengan Daniel. Matanya kembali mengedip lalu kemudian mematuk cincin emas di kakinya. Seolah memberi isyarat untuk menerima pesan yang dititipkan padanya.

Daniel melepas cincin emas itu, benaknya mengatakan bahwa ini adalah ulah dari orang yang paling tidak ingin ia temui. Namun, ia bersama dengan Nadya sekarang dan untuk sekali waktu ia menuruti kemauan orang yang menjadi empu si burung gagak putih.

Ia kenakan cincin itu, layar hologram segera muncul dari pemancar kecil seperi mata cincin.

"Daniel, akhirnya aku bisa menghubungimu setelah sepuluh tahun," ucap suara perempuan dari layar hologram itu.

Namun, Daniel menyadari bahwa suara itu langsung ditransmisikan ke dalam otaknya, ia sedikit tersentak dan membuat burung gagak itu terbang kembali ke asalnya.

Ia sangat mengenali suara perempuan di dalam pikirannya. Aksen rusia yang khas serta nada suara yang begitu berwibawa.

"Ibu?" jawab Daniel.

"Ya, akhirnya kita terhubung kembali setelah sekian lama. Apa yang membuatmu kembali?" tanya suara perempuan itu

"Urusan pekerjaan, aku tidak akan mengacau di sini, apalagi tepat di depan muka White Raven."

"Tunggu, apa kau kembali aktif di Agensi?"

"Bukan begitu, aku sedang menemani seorang wanita saat ini, aku akan di DC untuk beberapa hari ke depan."

Suara di ujung panggilan terdiam sejenak, kemudian desahan napasnya terhela panjang, "Begitu kah? Aku harap kali ini, wanita itu tetap hidup setelah bertemu denganmu."

Daniel terdiam, ingatannya mengudara ke masa lalunya yang pedih. Setiap kali ia jatuh hati dengan wanita, dapat dipastikan wanita itu tidak berumur panjang. Semesta seakan melarangnya untuk jatuh hati dengan wanita akibat karma yang ia emban di kehidupan sebelumnya.

Ya, karma Sang Rahvana yang sudah digariskan oleh Shiva. Sejak ia menculik si Putri Manthili yang sudah bersuami dengan Rama sampai hari akhir semesta. Shiva melarang Rahvana untuk jatuh cinta selain dengan Sinta, akan tetapi Shiva juga melarangnya untuk dapat bersatu dengan Sinta sampai akhir dunia.

Sembilan wanita ia kencani, sembilan nyawa berakhir di dekapannya. Sembilan kali ia rasakan pedih yang mengoyak jiwa. Entah itu jatuh ketinggian atau pun timah panas bersarang di tengkorak, Daniel menyaksikan itu semua dengan mata kepala sendiri.

Angin berhembus kencang, menyibak haru yang tak terarah, menyadarkan hati. Daniel mengedarkan pandangan ke langit, cahaya bintang begitu redup, akan tetapi kerlipnya masih menyiratkan harapan jutaan insan di bumi. Tak terasa setitik air mata jatuh di wajahnya.

"Kali ini ... itu tak akan terjadi," ucap Daniel kepada perempuan di panggilan.

"Ya, terserah kau saja ... datanglah ke rumah kalau mau, Ayah ada di rumah."

"Kalau aku ada waktu, aku akan ke sana."

Daniel menyudahi panggilan dan menutup kembali jendela kaca. Suara decitan bingkai jendela membangunkan Nadya.

"Daniel?" erang Nadya dengan pandangan yang masih buram.

Daniel berjalan ke ranjang dan duduk di samping Nadya, "Ya, aku di sini ... tadi hanya butuh sedikit udara segar."

Nadya mengangguk, ia pun kembali menutup matanya, rasa lelah akibat jetlag seperti menggrogoti setiap celah di kepalanya. Daniel pun mengusap kepala Nadya dengan lembut.

Setelah Nadya bernapas tenang, Daniel beranjak ke sofa untuk membaringkan badan. Namun, Nadya menahan tangan Daniel memintanya untuk berbaring di sampingnya.

"Ada baiknya kita tidur di tempat terpisah," cetus Daniel.

"Just stay with me, please." Nadya merajuk dengan manja.

Daniel menghela napas, ia akhirnya menyerah dan berbaring sedikit berjarak di samping Nadya. Akan tetapi, Nadya justru mendekatkan tubuhnya ke Daniel, mendekap Daniel begitu erat dan membenamkan wajah di dadanya.

"Jadi ... besok kita akan kemana?" tanya Daniel.

"Dari jadwal yang aku baca di penyeranta, kita akan menghadiri street fashion show besok pagi di Washington Street Mall. Hanya sepuluh menit berjalan dari sini."

"Baiklah, aku akan menyuruh Ardeen untuk mengurus semua keperluan untuk besok."

"Tidak perlu, aku terbiasa mengurus semuanya sendiri," jawab Nadya.

"Ssshh ...." Daniel menaruh satu jari di bibir Nadya, "tugasmu adalah menikmati liburan, sekarang tidur dan biarkan orang lain mengurusnya untukmu."

Nadya tersipu begitu matanya bertemu wajah Daniel dari dekat. Ia pun membuang muka dan menutup wajahnya di balik selimut. Semua tindakannya begitu spontan dan di luar kendali ketika bersama Daniel. Walaupun ia sadar akan tindakannya, akan tetapi ia tidak bisa menahan perasaannya untuk selalu dekat dengan Daniel.

Tak ada ciuman, sentuhan atau pun untaian kata kemesraan, mereka berdua membiarkan perasaan mereka berkelana di samudera cinta sepanjang malam.

NadDaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang