DUA PULUH EMPAT

205 40 8
                                    

Lilia POV

Kami menelusuri lorong berdindin beton di kanan-kirinya. Sesekali aku merasakan jalanan ini menanjak, tapi sesekali rasanya menurun dan kembali menjadi datar lagi. Meskipun sebenarnya hanya jalan lorong lurus dengan beberapa kali belokan. Sama sekali tak ada tangga naik ataupun turun. Aku tak tahu apakah ini benar-benar kondisi jalan sebenarnya atau aku saja yang terlalu lama disekap di dalam ruangan itu sehingga lupa caranya berjalan dengan baik.

Bau karat dan amis benar-benar mendominasi ruangan gelap ini. Aku hanya mengikuti bu Nino yang menggenggam tangan kananku dengan erat di depanku. Satu-satunya penerangan yang kami andalkan adalah senter kecil yang terikat di dahi bu Nino, yang jarak penerangannya hanya sampai satu meter saja.

"Ibu tahu jalan ini kan?" tanyaku.

"Aku baru pertama kali lewat sini" jawabnya. Napasnya terasa berat, sebab kami memang berjalan dengan langkah yang buru-buru. Wajar saja kami terburu-buru, sebab tak ada yang tahu siapa yang nanti bisa saja mengejar di belakang. Seorang tawanan berhasil kabur.

"Sekarang aku paham kenapa kau hanya menyelamatkanku saja bu"

"Maksudnya?" bu Nino bertanya tanpa menoleh ke arahku. Kami terus berjalan dengan cepat.

"Ya, jalan sempit seperti ini, jelas akan sangat sulit kalau kita harus membawa orang lain" jelasku. "Apalagi kalau mereka tak bisa berjalan sendiri"

Bu nino menatapku heran, matanya nampak seperti baru saja melihat sesuatu yang aneh. Aku bahkan ikut menoleh ke arah yang ia tuju. Bisa jadi ia bukan melihatku, tapi sosok lain di belakangku. Tapi untungnya tak ada.

"Kenapa bu?" tanyaku.

"Pokoknya sebaiknya kita bergegas saja keluar dulu" jawabnya.

Rasanya sekarang ia menarik tanganku jauh lebih erat lagi. Langkah kaki kami semakin dipercepat. Bu Nino sepertinya benar-benar ingin segera keluar dari lorong gelap yang rasanya sudah mau satu jam kami berjalan di sini.

"Kita tidak tersesat kan bu?" tanyaku.

"Aku juga tak tahu, tapi lorong ini tak punya cabang sama sekali"

Aku mengangguk setuju. Ini benar-benar seperti satu lorong panjang tanpa cabang. Sejak awal kami sama sekali tak melihat tanda-tanda jalan lain. Jadi memang sudah seharusnya kami tak akan tersesat, semoga saja begitu.

***

"Itu sepertinya pintu" ujarku menunjuk lurus sekitar 2 meter dari tempat kami sekarang.

Meskipun masih remang-remang, aku yakin kalau itu benar-benar sebuah pintu besi. Bukan di dinding, tapi di atapnya. Ada tangga yang menempel ke dinding menuju pintu itu.

Dengan cepat kami berlari ke arahnya, rasanya semangat yang hampir saja hilang itu, tiba-tiba terisi kembali. Seperti pemain akrobat yang sangat terampil, bu Nino melompat ke anak tangga kedua langsung.

Kreeettt....

Urat-urat di tangan bu Nino muncul ke permukaan kulitnya. Jelas sekali kalau pintu itu cukup berat untuk di buka. Aku ingin membantu, tapi tangga itu bahkan hanya cukup untuk satu orang saja. Lagipula, ku rasa aku tak akan banyak berguna. Mengingat tanganku yang begitu lurus seperti kertas tisu.

Kreeeetttttt....

Dooomm..

Daun pintu itu terbanting ke samping atas atap. Bu Nino tersenyum padaku sambil berusaha mengatur napasnya. Sepertinya dari tadi ia menahan napas untuk mendorong besi segiempat itu.

"Ayo cepat!" ujarnya.

"Ini?" ujarku kaget melihat ruangan di atas lorong itu.

Bu Nino yang masih berusaha untuk menutup kembali pintu itu tertegun dengan suaraku barusan. "Kenapa?" tanyanya.

"Ini ruang bawah tanah Kantor Indira kan?" tanyaku.

Ia menoleh ke sekeliling. "Sepertinya..." ujar bu Nino sambil menepuk pundakku untuk memberi isyarat agar segera meninggalkan tempat ini.

Kami harus keluar diam-diam dari sini. Bagaimana jika Indira rupanya ada di kantornya? Sia-sia saja pelarian kami kalau begini.

"Kita lewat dapur saja" ujar bu Nino memimpin di depan.

Baru saja kami melewati ruang tengah dan sampai di dapur, bu Nino menahan pundakku untuk berhenti berjalan sebentar. "Dengar!" ujarnya.

Ada suara pintu terbuka dari ruangan depan.

"Serius mau masuk lewat sini?" tanya salah seorang di depan.

"Ayo ikut saja!" ujar salah seorang lainnya.

"Dia tak ada di tempat kan?" tanya salah seorang lagi.

Bu Nino mengangkat tangannya sambil mengacungkan 3 jari padaku. Sedang aku segera menangkap maksudnya. Ada 3 orang disana. Dua perempuan dan satu wanita.

"Suaranya seperti..." ujarku pelan sambil memasang telinga tajam-tajam.

Bu Nino mengangguk. Suaranya benar-benar seperti mas Bayu, Lydya dan bu Nino.

Kami berusaha mengintip sedikit dari pintu dapur.

Sejenak aku sungguh tak bisa mempercayai apa yang sedang aku lihat saat ini. Bu Nino ada di dua tempat yang sama. Aku menoleh lagi ke Bu Nino yang sejak tadi bersamaku. Tapi ia hanya mengangguk.

"Itu siapa?" tanyaku pada bu Nino berbisik.

"Bisa jadi indira, atau pesuruhnya"

"Ma..." suaraku dihentikan oleh telapak tangan bu Nino yang mendarat dengan sangat tepat dan cepat. Aku menoleh padanya dengan tatapan kesal.

"Jangan menjerit!" ujarnya.

"Tapi mereka sedang dijebak" kataku kesal.

"Kita cari cara lain untuk menyelamatkannya" ujar Bu Nino. "Sekarang, kita harus meminta bantuan terlebih dahulu"

Aku termenung tak bisa menjawab lagi. Rasanya begitu kesal melihat mereka dibawa ke dalam perangkap oleh Indira, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

*** 

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang