24. Banyak Cerita

448 28 7
                                    

Pertunjukan pentas seni semakin dekat. Saat ini kelas dua belas bahkan sudah ujian. Aileen beserta teman-temannya saat ini sedang menganggur karena disuruh belajar mandiri di rumah selama kelas dua belas ujian.

"Mau ngapain, nih?" Diaz duduk di kasur Aileen dan menatap Aileen yang sedang membaca. Diaz bahkan hampir mencabut bola matanya ketika melihat Aileen mulai membaca sejak dua minggu yang lalu.

"Gue lagi membaca. Lo mending pulang, deh. Bokap lo lagi di rumah kan?" Aileen menatap Diaz. Perkataan Aksa tempo hari, belum bisa dia hapuskan atau belum bisa hilang dari kepalanya. Selalu teringang. Seolah menyuruh Aileen tetap sadar diri. Karena hal itulah, Aileen menyibukkan dirinya untuk membaca.

"Nggak seru, ah! Kita keluar, yuk!" Diaz menatap Aileen dengan penuh binar. Saat ini Diaz merasa tidak nyaman. Aileen bukan tipikal orang yang suka membaca. Kalau memang membaca atau melakukan hal yang tidak biasa Aileen lakukan, itu tandanya Aileen sedang menyibukkan diri untuk melupakan sesuatu.

"Nggak, lo aja. Ajak Vira, Luna. Si Aksa kalo perlu. Lo nggak bilang-bilang kalo udah tau si Alion itu, si Aksa." Aileen menyahuti perkataan Diaz tanpa memandang lawan bicaranya.

"Nggak, ah. Nggak seru. Kita aja, berdua. Gue yang bayarin." Diaz menolak langsung. Jika bersama ketiga nama yang diucapkan Aileen, tidak akan seru. Semua akan diam, tinggallah dirinya meladeni perkataan Luna yang sedikit diluar nalarnya.

"Baru, soal Alion. Gue pikir lo bakal langsung kenal. Tapi nggak. Lagian kenapa kalau nggak ngasih tau?" Diaz bertanya.

"Ya, nggak apa-apa, sih. Cuman kaget aja, dia udah ganteng sekarang." Aileen menjawab dengan santai.

"Gantengan gue kali." Diaz menatap sengit.

"Serah." Aileen kembali fokus pada bacaannya.

"Ayo, dong. Gue udah bisa bawa motor tahu." Diaz tetap membujuk Aileen.

"Nggak, lo pergi sendiri aja. Kalo nggak mau, pulang sana." Mata Aileen memang menatap buku, tetapi dia tidak sedang membaca buku.

Diaz terdiam sebentar. Dirinya menatap punggung Aileen. Diaz itu orang yang peka. Dia tahu bahwa Aileen sedang berusaha menyibukkan diri. Dan mungkin sedang menghindari dirinya.

"Gue ada salah, sama lo?" Diaz menyeletuk.

Dahi Aileen berkerut dan langsung membalikkan badannya.
"Salah? Nggak ada."

"Jangan bohong. Lo lagi mikirin apa?"

Aileen terdiam sebentar. Kalau dia jujur mengatakan bahwa dia sakit hati dengan perkataan Diaz dan Arkan dua minggu lalu, pasti akan terjadi kecanggungan. Aileen tidak suka yang seperti itu.

"Muka gue, muka pembohong, ya?" Aileen menatap Diaz.

Diaz mengangguk untuk mengiyakan.

"Sialan!" Aileen mengambil buku yang semula dia baca, lalu dilemparnya ke arah Diaz. Dan tepat mengenai wajah Diaz.

"Sakit, Leen!" Diaz menyentuh tulang hidungnya yang berdenyut nyeri.

"Tau, ah!" Aileen seolah tidak peduli.

"Az, lo mending pulang. Bapak lo pasti mau dengerin cerita lo. Dia pasti pengen lo curhat sama dia. Dia pasti pengen lo cerita tentang kegiatan sekolah lo, sama dia." Aileen menatap Diaz.

Diaz terdiam.
"Gue nggak terbiasa. Canggung rasanya."

"Bapak lo itu sayang banget sama,lo. Tapi karena dia punya tanggung jawab yang lebih besar, dia menduluankan pekerjaannya." Aileen menatap Diaz.

"Ayah yang baik itu, adalah orang yang menduluankan keluarganya. Nyokap gue kabur dari rumah aja, bokap nggak tau." Diaz menatap Aileen.

"Lo jangan egois, Az. Ada ribuan pekerja yang bergantung hidup sama bapak lo. Kalo semisal bangkrut, gimana nasib mereka?" Aileen menatap Diaz.

AILEEN (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang