Because of a Kiss

3.6K 543 54
                                    

"Akhhh!"

Sakura terbangun dari tidurnya setelah berteriak keras. Ya Tuhan! ia mengingatnya bahkan ketika ia sedang terlelap. Lelaki itu tak melepaskannya bahkan di dalam mimpi sekali pun. Kejadian itu sudah hampir sebulan berlalu tapi ia masih mengingatnya dengan jelas, setiap detiknya.

"Uchiha Sasuke, aku akan membunuhmu! Membunuhmu dengan tanganku sendiri!" Sakura mengutuk keras. Wajahnya terasa panas hanya karena mengingatnya.

"Kurang ajar. Berengsek. Jangan sampai aku menemukanmu." Ia mengutuk lagi, memukuli guling seolah-olah benda itu adalah wajah seseorang yang membuatnya uring-uringan satu bulan ini.

Ia melakukan itu secara terus-menerus, rutin seperti menguap di pagi hari. Sampai pintu kamarnya terbuka dan ibunya masuk seraya berkacak pinggang dan menggelengkan kepala. Lalu mulai mengomel.

"Kau baru bangun? Ya ampun, aku tak percaya kau itu anakku. Mandi dan kenakan pakaian yang pantas. Kita akan kedatangan tamu."

Tamu di pagi buta. Oh yeah, benar-benar hidup yang sempurna.

"Tamu siapa? Ayah?" Sakura turun dari tempat tidur. "Ibu, tolong katakan pada ayah untuk berhenti memamerkanku di hadapan teman-temannya," rengeknya manja.

"Bukan, Sakura. Mereka datang untuk menemuimu." Sakura menaikkan sebelah alisnya. Seorang tamu yang ingin menemuinya di pagi buta. Yang benar saja. Kenapa tak sekalian saja mengetuk langsung pintu kamarnya hingga mereka mungkin bisa menikmati teh pagi, atau susu, atau kopi atau apapun yang mereka mau sambil membicarakan suasana hatinya yang secerah mentari di musim dingin.

Demi Tuhan, Sakura jengkel sekali pagi ini.

Sakura mengamati raut wajah ibunya, mendapati sekilas rasa bersalah di sana. Dan pikiran-pikiran liarnya mulai menciptakan imajinasi aneh seperti biasa. Di antaranya berhubungan dengan–

–perjodohan.

Tidak mungkin!

Sakura menertawakan dirinya sendiri. Memangnya ia hidup di abad keberapa?

Eey, benar-benar tak mungkin. Ia masih tertawa saat melangkah memasuki kamar mandi, meninggalkan ibunya yang masih terdiam di tempat yang sama sebelum keluar dari ruangan itu setelah menghela napas dan memandangi pintu kamar mandi dengan raut prihatin.

Sakura di dalam kamar mandi masih tertawa dan berpikir. Hidupnya tak mungkin lebih dramatis lagi dari sekarang.

.

.

Dan yeah, hidupnya memang sangat sangat dramatis!

Sakura menahan umpatannya sepanjang pertemuan. Semua dugaannya benar. Dalam situasi berbeda ia pasti telah tersenyum senang karena perkiraannya hampir menyamai seorang cenayang. Tapi ini, sekarang ini. Sebuah–terkutuklah–perjodohan. Hal yang paling buruk dari semuanya adalah pria yang sedang dijodohkan dengannya, yang sekarang menyeringai tepat ke arahnya.

Uchiha Sasuke.

Sakura memberi pelototan tergarangnya pada pria itu lalu memberi kode untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu menuju halaman luas di sebelah rumah.

"Bagaimana mungkin seorang bodyguard tiba-tiba menjadi anak salah satu rekan bisnis Ayahku?" cecar Sakura sesaat setelah mereka menjejakkan kaki di tempat tujuan. Sasuke mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. Ada kilatan geli yang terpantul di matanya.

Sakura mengumpat kesal saat melihat hal itu. "Aku menolak perjodohan ini. Aku akan mengatakannya pada mereka." Sakura sudah sekali melangkah saat Sasuke mulai berbicara.

"Perusahaan keluargamu hampir bangkrut," ungkap Sasuke. Sakura menyipitkan matanya, memberikan peringatan bahwa ia tak percaya pada setiap kata yang diucapkan pria itu. Tapi Sasuke terus berbicara. "Perusahaan keluarga kami yang meminjamkan dana. Kurasa kau tak ingin membuat ayahku tersinggung. Dia orang yang amat sangat pendendam."

Sakura menatap pria itu sinis. Sejak kapan Sasuke memiliki seringai menyebalkan seperti yang pria itu tunjukan sekarang?

"Kau bohong!" ketusnya lagi, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi ia tahu semua yang Sasuke katakan benar. Perusahaan ayahnya memang sedikit terguncang akhir-akhir ini.

"Terserah kalau kau tak mau memercayainya," sahut Sasuke. "Tapi jika aku jadi kau, aku akan menerima perjodohan ini. Tak ada ruginya." Sakura melotot. Apanya yang tak ada ruginya? Semuanya tentang pria itu adalah kerugian baginya. Lagipula pernikahan itu bukanlah permainan.

"Well, perjodohan ini–aku pengecualian–sangat menguntungkan keluargaku," kata Sakura serius. "Tapi bagaimana denganmu, dengan keluargamu, apa yang kalian dapatkan?"

"Persahabatan?" Sasuke mengangkat bahu.

Sakura memberikan tawa mengejek. "Persahabatan." Ia mendengus. "Konyol sekali."

Sasuke menyipitkan matanya. "Aku akan membatalkan perjodohan ini." Perkataannya membuat Sakura tersenyum tanpa sadar. "Dengan satu syarat. Cium Aku." Senyum Sakura kembali memudar.

"Kau sinting!"

Sasuke menyeringai.

Sakura menghela napas. "Baiklah, satu ciuman. Hanya ciuman tak akan membunuhku." Gerutunya, lalu mendekat pada Sasuke.

"Di bibir."

"Baiklah, di bibir. Terserah kau saja." Sakura mendekatkan wajahnya pada pria itu. "Tutup matamu!" perintahnya saat Sasuke hanya berdiri tegap dengan mata yang terbuka lebar.

Pria itu menggeleng tegas "Aku akan tetap membuka mata seperti ini."

"Berengsek." Lalu bibir mereka menempel, hanya sebentar dan sebatas sentuhan ringan. Tapi itu saja sudah membuat wajah Sakura merona. Ia merasa dipermalukan.

Sasuke tampak tidak senang. "Kau sebut itu ciuman?"

Sakura tersenyum angkuh. "Memangnya apa yang kau harapkan?"

Tapi anehnya Sasuke malah menyeringai. Sakura merasakan tusukan tak kasat mata di punggungnya. Jadi ia berbalik dan mendapati para orang tua sedang menatap mereka dengan senyum bahagia di wajah mereka.

Hanya itu, dan Sakura bisa memastikan bahwa pernikahannya sudah ada di depan mata.

Sakura memandang sengit Sasuke. "Kau sengaja!"

"Tentu," sahut pria itu.

"Aku akan tetap membatalkannya," ujar Sakura jengkel. Sasuke menahan sikunya ketika ia ingin beranjak. Tak ada lagi seringai di raut wajah pria itu.

"Percuma saja. Mereka sudah menganggap kita saling menyukai. Memangnya bagaimana kau akan menjelaskan ciuman kita tadi?"

Sakura menepis tangan pria itu. "Kau akan menyesalinya. Kujamin itu."

.

.

Tiga minggu kemudian, resepsi pernikahan dilangsungkan.

.

.

Uhh

So cringy *gigitjari

Catet ya. Cerita satu ini minim konflik

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang