Malam itu Yuna pulang melalui pintu belakang gedungnya. Dengan dibalut celana olahraga dan kaos tanpa lengan ia berjalan seorang diri menuju apartemen tempatnya tinggal. Angin berhembus dingin di antara kesunyian, menimbulkan suara-suara aneh yang menakutkan. Semakin aneh saat Yuna mendengar langkah kaki selain dirinya, entah sejak langkah keberapa ia mulai merasa ada yang membersamainya.
"Hey~!"
Yuna terkesiap. Sungguh dua orang lelaki asing telah berdiri tepat di belakangnya.
"Mau ke mana, gadis manis?"
Lutut Yuna lemas sekali. Gadis itu berusaha untuk melangkah cepat-cepat meskipun sekujur tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Tenaganya terkuras habis oleh rasa takutnya juga keringat dingin yang membasahi dirinya perlahan-lahan. Sampai akhirnya ia sungguh merasa hidupnya telah usai ketika pergelangan tangannya ditarik oleh seseorang. Salah satu di antara-
"Kan sudah kubilang jangan pulang malam-malam, Sayang!"
Bukan?
"Ada apa lihat-lihat begitu? Jangan coba ganggu kekasihku ya!" Ujar lelaki itu kemudian. Membuat dua lelaki yang semula berdiri di belakang Yuna pergi ke arah lain. Yuna tak mengerti apa yang tengah terjadi. Apakah dirinya sudah dalam kondisi aman? Atau semakin kacau?
"...siapa?" Tanya Yuna saat kedua lelaki asing tadi sudah tak terlihat lagi olehnya. Genggaman di pergelangan tangannya terlepas begitu saja. Lelaki dengan kaos garis-garis itu menggaruk tengkuknya malu. Matanya berubah segaris bersamaan dengan deretan gigi putih yang ia pamerkan. "Maaf," katanya. "Aku berpura-pura menjadi kekasihmu agar mereka tak melakukan hal buruk padamu."
Oh.
Wajah bodohnya lucu sekali.
"Terima kasih!" Ujar Yuna cepat-cepat. Diikuti dengan bungkukan badan untuk memberi penghormatan atas kebaikan yang telah diberikan. Lelaki itu kemudian mengambil sesuatu dari tasnya (ransel besar berisi gitar yang menempel di punggungnya) dan memberikannya pada Yuna. Sebuah sweater dengan warna biru tua. Tidak cukup tebal tapi kelihatannya hangat.
"Pakai itu ya! Setidaknya dalam sisa perjalananmu cuma sedikit kemungkinan kejahatan seperti tadi terjadi lagi. Hati-hati di jalan! Maaf aku ada urusan penting," ujar lelaki asing tadi sebelum melambaikan tangan sesaat dan pergi ke minimarket di dekat sana.
Yuna memakai sweater itu. Berjalan pulang dengan perasaan yang tak menentu. Bahkan sampai dirinya telah merebahkan diri di ranjang, satu hal di sudut pikirannya tak mau hilang.
Wajah bodohnya lucu sekali.
Dan sweater itu tergantung, menatapnya dengan senyuman nakal. "Pemilikku menganggu isi otakmu ya?"
Mungkin memang benar, sweater.
Karena malam berikutnya Yuna sungguh melewati jalan itu lagi. Meskipun pintu utama masih terbuka dan memberinya kesempatan untuk pulang melalui jalan utama yang lebih ramai dan lebih sering ia lewati.
Sweater biru itu ia kenakan. Sambil berharap-harap setengah cemas ia melangkah cepat-cepat. Kejadian itu membuat perasaannya terbelah menjadi dua sisi. Sebagian trauma dan sebagian menginginkannya lagi. Namun jelas bukan, tentang bagian mana yang ia inginkan lagi?
Matanya menyipit, berusaha melihat sosok yang familiar di kursi depan minimarket sana. Oh, please. Ia sungguh berharap bahwa benda besar yang disandarkan pada meja itu adalah ransel gitar, juga pemilik yang duduk menghadapnya ialah pemilik sweater ini pula.
Dengan segenap harapannya itu, Yuna mempercepat langkah. Berbelok ke minimarket dan bergegas masuk sambil berpura-pura tidak melihat sosok yang ada di depan minimarket. Tepat sedetik yang lalu ia sadar benar sosok itu ialah sosok yang ia kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Late Night Conversation
FanfictionYuna memakai sweater itu. Berjalan pulang dengan perasaan yang tak menentu. Bahkan sampai dirinya telah merebahkan diri di ranjang, satu hal di sudut pikirannya tak mau hilang: Wajah bodohnya lucu sekali.