27

492 75 6
                                    

Esok paginya, Jennie merasa panas sendiri.

Karena di depannya, ada Tzuyu. Yang kini bertingkah sok polos dengan image 'anak baru' yang baru saja disisipkan. Dan yang membuat Jennie kesal sekaligus heran adalah, kenapa Guru Im memperlakukan Tzuyu setara dengannya? Maksudnya, di sekolah ini, 'kan, hanya dia yang biasa dihormati karena statusnya sebagai putri pemilik sekolah.

"Nona Tzuyu, silakan duduk di samping Nancy." Guru Im beralih pada Nancy. "Nancy, angkat tanganmu!"

Tapi sepertinya, bukan hanya Jennie yang merasa begitu. Karena ternyata, Lalisa yang sedari tadi diam memperhatikan gerak-gerik Tzuyu mulai membuka suara. Bahkan arah pandang matanya tidak lepas dari pergerakan Tzuyu yang kelewat anggun.

"Apa kau merasa ada yang aneh, Jennie?" tanyanya, kali ini fokusnya beralih sepenuhnya ke Jennie.

Yang ditanya mengangguk, bahkan mulai mencondongkan badan ke arah Lalisa untuk membisikkannya sesuatu. "Sepertinya ada yang tidak beres."

"Jennie, Lalisa. Keluar kalian dari kelas saya!" tegur Guru Im, tak ayal membuat kedua karib itu tersentak kaget.

'Kalau begini, sepertinya memang benar ada yang tidak beres.'

Tidak mau bertele-tele, langsung saja Jennie tarik Lalisa yang baru saja hendak melayangkan protes. Mengucapkan permisi yang dibuat sesopan mungkin untuk kamuflase, tangan Jennie masih menyeret lengan Lalisa. Langkahnya membawa serta tubuhnya menuju koridor kelas. Anehnya, banyak kelas yang ternyata dibebas-ajarkan.

Padahal setahu Jennie, sekolah ini tidak pernah membiarkan hampir seluruh kelas tingkat akhir terlalu banyak kelas bebas. Terlalu riskan dalam menghadapi ujian akhir nantinya, kata Kepala Sekolah waktu itu. Tapi apa Kepala Sekolahnya masih orang yang sama? Waktu itu Rose bilang, ia terkena skandal. Apa hanya gosip?

Ah, entahlah. Jennie tidak tahu lagi.

"Kenapa banyak sekali yang freeclass?" tanya Lalisa yang lebih merujuk ke arah gumaman dibanding pertanyaan.

Jennie sendiri tidak menjawab dan lebih memilih terus menarik Lalisa. Salah satu alasannya, untuk memastikan kekhawatirannya tidak terbukti. Atau sesuatu yang lebih parah dari itu, Jennie tidak mau membayangkannya.

Namun belum sempat melaksanakan niatnya, langkah mereka berdua harus terhenti saat mendengar suara Kepala Sekolah yang berasal dari ruang informasi.

"Kepada Yang Terhormat Jennie Kim, harap ke ruang Kepala Sekolah secepatnya. Terima kasih."

"Kau ada masalah apa, Jen?" tanya Lalisa yang ikut terkejut. Karena biasanya, yang dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah hanyalah anak-anak dengan masalah yang menumpuk. Dan setelah itu biasanya diikuti dengan Drop Out.

Jennie menggeleng panik dengan bibir bawah yang digigit. Ia sendiri juga tak paham kenapa dirinya dipanggil, tapi tidak ada alasan untuknya menghindar. Karena siapa tahu, ia bisa menemukan petunjuk lebih.

Maka dengan bermodalkan tepukan bahu penyemangat dari Lalisa, gadis itu melangkah. Mendekati ruang Kepala Sekolah yang berada di lantai satu, meski masih dilanda panik. Akhirnya, satu-satunya cara adalah mengatur ulang napas agar tenang.

Tok tok tok.

"Permisi." ucapnya dengan suara yang sengaja sedikit dikeraskan agar terdengar sampai ke dalam ruangan.

Setelah memastikan mendapat jawaban dari Kepala Sekolahnya, Jennie masuk. Menggeser pintu terlebih dahulu dan menemukan Kepala Sekolahnya yang terduduk di balik meja. Memisahkan keduanya dengan jarak yang cukup dekat.

"Nona Jennie, sebelumnya aku meminta maaf karena mengatakan hal ini." ucapnya sebagai permulaan. "Tapi sepertinya, Anda harus mengundurkan diri dari sekolah ini mulai minggu depan."

Kalau istilah petir di siang hari itu benar, mungkin hal itu yang tengah Jennie rasakan. Ucapan sang Kepala Sekolah yang bagaimanapun sangat ia hormati ini terasa begitu mengejutkan. Terlebih lagi ketika pria paruh baya itu mulai mengutarakan alasannya mengatakan hal itu.

Sungguh, Jennie tidak bisa memproses berbagai permintaan maaf dan bermacam-macam segala ucapan yang dilontarkan sang Kepala Sekolah. Otaknya serasa macet, informasi ini terlalu mendadak untuk diterima. Dirinya masih shock, meski sudah dipersilakan keluar.

Sudah di luar ruangan pun, Jennie masih berusaha mencerna ucapan yang tadi dibicarakan. Ia bahkan sampai tidak sadar kalau percakapan dan segala macam hal yang tercakup ke dalamnya bersama Kepala Sekolah tadi memakan waktu lama. Karena ternyata saat ia keluar, sudah banyak siswa-siswi berkeliaran, waktu istirahat.

Dan jangan lupakan presensi Lalisa, Jisoo, dan juga Rose yang entah sejak kapan menunggunya di depan pintu. Wajah gadis-gadis itu sangat jelas terlihat cemas, lantaran panggilan mendadak tadi. Setahu Lalisa, Jennie tidak pernah terlibat kasus-kasus berat, pengecualian untuk keterlambatannya kemarin.

"Ada apa?" tanya Jisoo pertama kali. Ia dan Rose memang langsung menuju ke depan ruang Kepala Sekolah, dengan alibi ingin ke toilet saat mendengar pengumuman yang menggema ke seluruh koridor kelas.

"Kalau aku katakan ini, apa kalian semua akan tetap ada untukku?" suara Jennie bergetar menahan tangis dengan tatapan nanar yang ia tujukan untuk ketiga temannya.

Tanpa ragu meski heran, mereka bertiga mengangguk yakin. Membuat tangis Jennie pecah seketika, dan itu justru menambah keheranan dan kepanikan mereka. Dengan bermodalkan inisiatif, Rose membawa Jennie ke pelukannya, tak peduli dengan pandangan siswa-siswi yang mulai tertuju ke arah mereka.

"Menangislah, jika itu bisa membuatmu tenang." ucap Jisoo, mengarahkan telapak tangannya untuk mengusap kepala Jennie.

Tangisan Jennie kian mengeras. Bersamaan dengan pelukannya pada Rose yang dipererat. Lalisa yang melihat itupun semakin yakin, masalah yang dihadapi tidak seperti yang diperkirakan. Karena Lalisa yang paling paham sampai mana titik terendah Jennie sampai ia harus menangis.

Keempat serangkai itu masih berdiam di depan ruang Kepala Sekolah saat sumber masalahnya berdiri diam mengawasi. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun tetap bisa mengawasi mereka berempat secara detail dan terperinci. Tak mau tertinggal info, si pengawas itu diam-diam mengangkat kamera ponselnya. Memotret Jennie yang tengah menangis dan mulai mengerjakan sesuatu dengan foto itu.

"Jennie Kim, Dikeluarkan dari Sekolah karena Hamil."

Tugas pertamanya, selesai. Hanya tinggal menunggu hasil dari kirimannya di postingan akun media sosial samarannya, dan semuanya beres. Atau justru baru akan dimulai? Untuk kedepannya, masih abu-abu. Semoga saja, kemenangan masih berada di tangan yang seharusnya.

***

Happy Birthday, uri Taehyung!

Btw, kehadiran Hyunjin sebagai 'pacar' Jennie disini cuma pengalihan isu, ya.

Responnya beb -->

Responnya beb -->

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alien ; Taennie ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang