20. Jade Vine [Terus Sembunyi]

3 2 1
                                    

Embun singgah di alas Bumi pertanda fajar akan segera tiba. Queen mendudukkan dirinya sejak 15 menit yang lalu saat alarm ponselnya berbunyi. Ia mendengus, hatinya berbahagia akan tetapi gerak tubuhnya menandakan sebaliknya. Tak sepatutnya ia bersikap seperti itu.

Sekali lagi, Queen mengecek layar ponselnya. Jarinya tampak menghitung dan bibirnya pun merapal. Hanya tersisa 3 hari sebelum keberangkatannya ke Jerman. Niat hati bertemu sang ayah, tapi ada sesuatu yang terasa tak utuh di relung jiwanya.

Madam Shu menelponnya, sekitar seminggu yang lalu saat dirinya beralasan tak enak badan pada Rama. Wanita paruh baya itu berbasa-basi kepadanya dengan menanyakan kesehatan lalu diakhiri dengan tujuannya menelepon, yaitu bertanya perihal kepergiannya ke Jerman. Tentu saja Queen menjawab dengan jujur, ia juga meminta cuti dari mami asuhnya. Namun, Madam Shu menjawab bahwa dirinya sudah bebas. Utang pamannya pada Madam Shu telah lunas. Terdengar aneh, tapi Queen sama sekali tidak bertanya bagaimana perhitungan utang itu dibuat. Ia hanya tahu bahwa saat ini ia sudah tidak berutang, ia terbebaskan.

Queen kembali mendesah. Ia merasa berat meninggalkan tanah kelahirannya. Banyak kenangan yang ia buat di negara yang kaya budaya itu. Ia tak tahu apakah ia akan kembali ke Indonesia atau menetap di Jerman bersama sang ayah yang kesepian. Tiba-tiba fokusnya terpecah, ia mengetik sebuah catatan di ponselnya.

Queen beranjak dari kasur lalu mendekati jendela. Ia menyibak tirai di hadapannya dengan sekali hentak. Surai blonde dan kulit cerahnya tampak bersinar diguyur sinar mentari pagi. Hangat, ia pun memejamkan matanya. Tak lama ia menggeser sedikit jendela yang membatasi balkon dengan kamarnya. Ia kembali merasakan sejuknya udara pagi yang mungkin akan dirindukannya.

‘Setidaknya aku harus berpamitan secara langsung...,’

Waktu bergulir seiring jarum jam yang berputar pasti. Tak terasa bulan pun telah menggantikan matahari. Saat ini Queen berada di depan sebuah gedung yang sempat memberinya kehangatan. Ia memasuki club itu dan secara spontan kakinya membawa dirinya ke ruangan khusus milik Madam Shu. Lantas, ia mengetuk pintu sebelum masuk.
Pintu itu berderit dan terbuka perlahan. Tak jauh di sana tampak Madam Shu yang sedang duduk bersama seorang gadis. Queen pun mendekat dan tersenyum pada keduanya. “Aku akan pergi tiga hari lagi. Aku pasti akan merindukan mami.”

Madam Shu berdiri dan memeluk Queen dengan erat. “Aku juga akan merindukanmu, Queen.”

“Setidaknya mami tidak akan kesepian lagi sekarang.” Queen melirik gadis di hadapannya yang sedang tersenyum manis.

“Aku akan tetap kesepian di sini tanpamu. Chang Er sudah berkeluarga, ia pasti sibuk dengan keluarganya...,” bisik Madam Shu.

Queen melepaskan pelukannya dan beralih memegang bahu Madam Shu. Ia meyakinkan mami asuhnya melalui tatapan mata. “Keluarga bisa disebut keluarga apabila mereka tahu jalan pulang.”

“Kau benar. Sampaikan salamku pada ayahmu, ya,” pinta Madam Shu.

Queen mengangguk pasti dan mereka kembali berpelukan. Cukup lama hingga suara lain memecah salam perpisahan mereka.

“Terimakasih sudah berada di sisi ibuku selama ini, Zeva.”

Chang Er masih mempertahankan senyumnya. Mau tak mau Queen membalas senyum itu dengan sebuah senyum yang dipaksakan. Keningnya berkerut saat mendengar putri dari Madam Shu memanggil awalan namanya. Namun, karena tak ingin ambil pusing ia pun pergi dari sana. Perpisahan pun selesai.

Queen membawa kakinya ke sebuah halte yang tak jauh dari club. Ia duduk di sana dan menatap ujung sepatunya. Dinginnya malam tak lagi dirasakan olehnya karena ia sedang menangis. Tubuhnya menjadi sedikit berkeringat juga hangat. Baju yang dikenakannya pun tergolong hangat. Sehelai turtleneck, jeans panjang, dan cardigan. Tatapan matanya menyendu, hangatnya kasih seorang ibu pasti akan ia rindukan. Walaupun bukan ibu kandung, itu cukup untuk membuat dirinya yang haus kasih sayang bisa kembali merasakannya.

Satu, dua, tiga. Lelehan air mata telah menganak sungai di pipinya. Queen menangis terisak. Ia berusaha setengah mati menahan luapan emosi itu sedari tadi. Kedua tangannya menangkup wajahnya sendiri untuk meredam isakannya agar tak seorang pun mengetahui bahwa ia sedang menangis. Tiba-tiba satu belaian ia terima pada puncak kepalanya. Aroma parfum yang sangat Queen kenal. Ia pun segera memeluk orang yang masih berdiri itu tanpa ragu.

“Kenapa berat begini, Ram?”

Rama terus membelai puncak kepala Queen dengan sayang. Ia sama sekali tak berniat untuk memutus kontak fisik itu. “Selalu ada pilihan, Queen. Dan saat ini Tuan Ehren membutuhkanmu. Kau satu-satunya harapan, hanya kau keluarganya yang tersisa.”

‘Harapan ya? Harapanku....’

“Menurutmu aku harus menetap bersama ayah?” tanya Queen. Ia mendongak menatap Rama dengan mata sembabnya.

“Tentu saja. Bukankah itu yang selama ini kau cari?”

Queen terdiam. ‘Yang aku cari selama ini.... Ayah.’ Ia mengeratkan pelukan pada Rama. Tangannya tampak mengepal menahan segala emosi yang bergejolak di dadanya, sedangkan Rama kembali membelai surai itu sembari tersenyum.

***

Tepat di tanggal 13 Mei, Queen dan Rama pergi ke Jerman. Dan Athala tidak tahu menahu soal itu. Ia hanya tahu bahwa hari ini, 16 Mei, apartemen Queen kosong. Tampak secarik kertas yang sengaja ditempel di depan pintu, menjelaskan bahwa pemiliknya sudah meninggalkan apartemen itu untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Jelas sekali pesan itu dibuat untuk Athala karena ada namanya tertulis di sudut kiri kertas berwarna biru muda itu.

Athala menarik catatan tersebut, membacanya dengan saksama lalu merematnya hingga berbentuk bola kertas. Terlalu kuat hingga bola kertas itu benar-benar kecil. Ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Queen. Namun, tak ada jawaban dari seberang sana. Ia beralih untuk mengirim pesan lewat chat online, tapi tak juga dibaca oleh Queen. Ia pun mendesah kecewa. Kembali, ia menatap bola kertas yang berada digenggamannya. Pandangannya menyendu, perasaannya campur aduk. Dengan berat hati ia pergi dari gedung itu sembari membawa bola kertas itu bersamanya.

‘Mau sampai kapan menghindar dariku, Zeva?’

Di sisi lain, Queen dan Rama sudah 2 hari berada di Jerman, tepatnya di kediaman sang ayah. Benar saja, Rama lancar sekali berbahasa Jerman. Ia juga langsung membawa Queen bertemu ayahnya karena memang tempatnya tak jauh dari Fraport. Sesampainya di sana, Rama melihat dengan jelas bahwa pria tua bermata hijau itu tampak bingung saat melihat seorang gadis tiba-tiba datang dan memeluknya di dalam toko. Rama juga melihat bahwa Queen menangis sembari menyebut kata ayah dan aku merindukanmu. Mengharukan sekali. Saat ini, mereka bertiga berada di ruang keluarga, mengobrol dan saling bercerita dengan raut wajah bahagia.

“Aku tak menyangka kau masih mengingat di mana rumahku.”

Rama menyunggingkan senyuman, ia lantas berkata, “Tentu, Tuan Ehren adalah penyelamat saya waktu itu. Saya tak mungkin lupa.”

Queen beranjak dari sofa dan berjalan ke arah dapur, meninggalkan sang ayah dan Rama yang sedang mengenang masa lalu mereka. Sebelum itu, ia mengamati foto di sebuah figura yang tergantung tepat di tengah ruang keluarga. Foto sang ayah, ibu, dan seorang bayi gembul. Ia tersenyum manis, pasti mereka sangat bahagia kala itu. Queen melanjutkan langkahnya ke dapur. Ia menyeduh teh hangat dan menyiapkan camilan khas Jerman, Lebkuchen. Setelah selesai ia kembali ke ruang keluarga.

“Wah, ada apa ini? Kenapa Queen di bawa-bawa? Kalian membicarakan apa?” Queen bertanya setelah ia meletakkan teh hangat dan camilan.

Tuan Ehren beralih menatap mata anaknya. Ia membelai rambut Queen dengan perlahan. Setelahnya ia mendesah panjang. “Matamu seperti ibumu. Coklat.”

“Bukannya lebih mirip dengan ayah?” tanya Queen saat menatap mata ayahnya lamat-lamat.

“Saya rasa, warna mata Queen adalah perpaduan coklat dari ibunya dan hijau dari Anda, Tuan Ehren,” ujar Rama menimpali.
Tuan Ehren menoleh ke Rama dan tersenyum. “Calon mantu tau saja, ya.”

Rama tersenyum manis, sedangkan Queen terkejut dengan penuturan sang ayah. Ia hendak bertanya, tapi ia urungkan karena sang ayah tampak bahagia. Mau tak mau ia ikut tersenyum mendengarnya, meskipun ada rasa tak suka.

To be Continue

Hola!
Langsung aja ya, gimana chapter ini?
Kalian di tim mana nih??
Athala atau Rama?
Komen ya ^^

1 APRIL : Queen-Athala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang