23. Amaryllis [Berani]

3 2 0
                                    

Queen dan Alice dekat. Mereka akrab sekali. Setelah hampir sebulan selalu bermain bersama, mereka sudah seperti surat dan perangko. Segala kesibukan mereka jalani berdua. Meski berbeda, mereka tetap saling mendukung satu sama lainnya.

Tuan Ehren melihat putrinya berdiri di meja kasir dengan tangan memegang satu tangkai bunga mawar biru. Ia tak tahu siapa pengirimnya. Queen memandang lamat-lamat mawar itu dan meletakkannya di bawah meja kasir saat menyadari sang ayah mendekatinya.

“Kau menyukai bunga?”

“Ayah tahu siapa pengirimnya? Ayah ‘kan di sini sejak buka,” tanya Queen dengan mata penasaran.

“Tentu,” jawab Tuan Ehren dengan lugas.

“Siapa?” Queen mengambil mawar tadi dan menelitinya. Tidak ada kartu apalagi nama pengirim di sana.

“Tentu saja kurir. Oh, iya. Ini.... Ayah menyimpannya karena takut hilang bila ayah letakkan di bawah mawar itu. Ini tidak di ikat bersamaan dengan mawarnya.”

Tuan Ehren menyerahkan selembar kartu Queen. Setelahnya, ia pun pergi membereskan rak-rak bagian mie instan di sudut toko. Ia tak lagi melihat bagaimana ekspresi yang ditunjukkan putrinya. Sementara itu, Queen membuka kartu ucapan berwarna biru senada dengan warna mawar itu sendiri.

To: Queen

Guten Tag! Have a good day, everyday!

-Your secret admirer-

Queen mendesah. Ia menajamkan pandangannya pada baris akhir. ‘Secret admirer, huh?’ Ia mendecak. Rasanya hidupnya tak pernah tenang barang sedikit saja. Selalu ada yang datang untuk mengganggu. ‘Secret admirer? Untuk apa? Tunjukkan saja dirimu itu. Dasar pengecut!’

*

Queen duduk manis di pekarangan rumahnya. Orang Jerman beranggapan hari ini panas sekali. Queen mendengar percakapan pria dan wanita yang baru saja melewati rumahnya. Wajar, nama musimnya saja musim panas. Pastilah di sana panas. Setidakya untuk warga asli Jerman atau bagi orang-orang yang sudah lama tinggal di sana. Namun, tidak untuk Queen. Ia tidak merasa panas sama sekali. Baginya hari ini sangat teduh. 

Queen menghembuskan napas untuk yang kesekian kali. Pikirannya kusut. Siapa pengagum rahasianya? Ia bahkan tak pernah bertemu pria yang mencurigakan selama ia membantu sang ayah di toko. Ia pun berpikir dengan cermat. Terus berpikir....

‘Oh! Remaja yang waktu itu!’ serunya dalam hati. Namun, genggaman eratnya pada mawar melemah begitu saja. Ia bergumam, “Tidak, pasti bukan anak itu. Mungkinkah....”

Queen mengernyit. Ia melihat Rama di depan gerbang sambil melambaikan tangannya. Seulas senyum terlukis indah di wajahnya. Ia pun meletakkan mawar itu dan membukakan gerbang.

Rama memberikan tas jinjing kecil pada Queen dan berkata, “Sebentar lagi musim dingin. Pakailah agar tetap hangat.”

Rama melirik mawar yang tergeletak di atas bangku. Ia menarik sudut bibirnya. Tidak. Bukan tersenyum, tapi menyeringai. Ia kembali melangkahkan kakinya masuk ke kamar dan mengistirahatkan diri sejenak. ‘Bunganya sudah sampai.... Cepat juga.’

***

Athala terduduk lemas. Tur sudah selesai 2 bulan yang lalu. Harusnya ia lebih bugar, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Batinnya tersiksa atas kepergian Queen ke Jerman. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa menemani Queen ke sana. Namun, perasaannya sedikit lega saat Rama memberitahunya tentang di mana Queen berada. Ia tahu, ia harus berterimakasih pada Rama suatu saat nanti.

Dinar berjalan memasuki ruang ganti artisnya. Ia melihat Athala yang murung, entah meratapi apa. Gadis bernama Queen atau karirnya? Dinar pun mendesah. Ia menepuk bahu Athala dengan keras.

“Aduh!” Athala mengaduh. Bahunya terasa perih. Ia lantas menoleh dan mendapati manajernya berdiri dengan melipat tangan di dadanya.

“Duh, sakit tahu! Tenaga kakak sudah seperti kuda. Bahuku remuk rasanya...,” keluh Athala. Ia menghiraukan wajah protes sang manajer.

Dinar berkacak pinggang setelah menyerahkan beberapa lembar kertas yang sedari tadi dibawanya. “Kau disuruh datang ke kantor besok. Beliau mau bertemu.”

Kini giliran Athala yang mendesah. Kepalanya terasa ingin meledak. “Keraguan adalah pengkhianat yang akan membuatmu kehilangan keberanian untuk sekadar mencoba.” Athala ingat, sebuah kutipan dari penulis kenamaan pada zaman Renaissance Age, yaitu William Shakespear. Kutipan yang menguatkan pola pikirnya bahwa ia tak boleh ragu. Karena ragu hanya akan mengahalanginya untuk mendapat kebenaran. Oleh karena itu, ia harus tetap mencoba bagaimanapun hasilnya.

Athala melesakkan ponselnya ke saku bagian dalam jaketnya. Ia tahu, lambat laun masalah itu akan naik ke permukaan. Inilah saat yang tepat baginya untuk memusnahkan masalah yang ada.

***

“Biar saya saja, Tuan Ehren.” Rama bersikeras mengambil bohlam lampu yang digenggam pria paruh baya itu.

“Mengganti bohlam adalah keahlianku, Ram.”

Rama mengusak rambutnya frustasi. Di sebelahnya ada Queen yang menatap dengan pandangan menantang. Ia harus segera menyelesaikan acara ganti bohlam itu. Bila tidak, Queen akan terus meremehkannya.

Tanpa ragu, Rama mengambil alih bohlam yang digenggam Tuan Ehren dan menaiki tangga lipat yang sudah terpasang tepat di bawah posisi lampu yang putus. Ia julurkan lengannya dan mengganti bohlam putus dengan bohlam baru.

Tuan Ehren berterimakasih pada Rama yang membalasnya dengan sebuah senyuman. Sedikit kata-kata terselip di bibirnya. Sama-sama, Tuan Ehren.

“Hei, Ram. Bisnismu baik-baik saja? Bukankah lebih baik kau tinggal di Jakarta? Aku baik-baik saja di sini. Kau tak perlu mengkhawatirkanku.”

“Kau pikir aku ke sini karena khawatir padamu? Asal kau tahu saja, aku ke sini untuk memastikan keadaan Tuan Ehren.”

Queen mendecih. Bibirnya merapalkan beberapa kata yang membuat tawa Rama pecah. “Haah.... Kenapa kau begitu kesal? Aku bercanda. Aku ke sini memang karena khawatir padamu. Tenang saja. Aku tidak akan berkunjung lagi, setidaknya kalau bisnisku bangkrut. Haha.”

Queen memutar bola matanya, “Tidak lucu, Ram.”

Tuan Ehren datang menginterupsi obrolan keduanya setelah menyimpan tangga lipat tadi. Ia juga menepuk bahu kokoh Rama dan menatapnya tegas. “Kapan kalian akan menikah? Aku merestui kal-.”

“Ayah, kenapa kau berkata begitu?” Queen memotong ucapan ayahnya. Ia tampak putus asa.

“Bukankah kalian sepasang kekasih?” tukas Tuan Ehren.

Queen menggeleng kuat, ia menyanggah semua dugaan yang dilontarkan sang ayah.

“Kami hanya teman, Tuan Ehren,” jawab Rama dengan cepat. Queen pasti kesulitan menjawabnya. Jadi, ia membantu menjawabnya dengan cepat dan jelas agar tak ada kesalahpahaman.

“Begitu? Sayang sekali ya, padahal kau cocok untuk putriku.”

To be Continue

1 APRIL : Queen-Athala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang