Her Decision

3.2K 477 38
                                    

Ketika sepasang insan sudah mengikatkan diri dengan hal sakral yang disebut pernikahan, maka mereka sudah siap menerima perubahan drastis dalam hidup mereka. Namun bagaimana jika kata 'mengikat' diganti dengan kata 'diikat'. Lihatlah, apakah mereka sudah siap atau justru malah sebaliknya.

.

.

"Dengar, Aku tak pernah menjanjikan padamu untuk tak melakukan ciuman pernikahan."

Untuk kesekian kali aku mendapatkan pelototan garang dari Sakura. Bukan sesuatu yang membuatku resah karena bagaimana pun aku tak menyesali apa yang sudah aku lakukan padanya. Siapa yang tahan untuk tak mencium bibirnya kuat-kuat ketika disuruh. Berikan satu alasan kuat kenapa aku tak boleh melakukannya dan aku akan mematahkan alasan itu seketika itu juga.

"Tapi kau tak perlu melakukannya seperti itu! Ciuman di dahi saja cukup," desisnya.

Aku mendengus. "Membosankan sekali," sahutku malas-malasan. "Kau bukan balita, Sakura," tambahku lagi sekadar menambahkan kekesalannya. Lalu kuangkat bahu dan memerhatikan para tamu undangan tanpa minat. Sejujurnya melihat reaksi Sakura lebih menarik dibanding melihat ratusan tamu undangan berpakaian modis.

Aku merasakan remasan di lenganku, tempat Sakura melingkarkan tangannya. Aku tahu ia belum selesai dengan semua gerutuan dan protes lemahnya. Itu membuatku tak tahan untuk menunduk dan memberikan kecupan singkat di dahinya.

"Nah, Apa bedanya yang barusan dengan yang tadi? Itu bukan ciuman pertama kita dan tak akan menjadi yang terakhir juga," kataku menggodanya.

Wajahnya tak bisa lebih merah lagi dan tak boleh lebih cantik lagi. Demi Tuhan, Sakura tak boleh terlihat lebih menarik lagi dari sekarang–setidaknya sampai pesta ini selesai, sebelum aku menyebabkan diri kami malu dengan membawa lari mempelai wanitaku sendiri.

Aku menaikkan satu alis ketika mendapat desisan geram darinya juga perubahan raut wajahnya saat menyapa tamu yang ingin memberi selamat kepada kami. Sungguh sangat menghibur hingga sedikit mampu mengurangi desakan gairah yang sudah aku tahan sejak tadi. Sakura benar-benar pandai berakting. Raut wajahnya cepat sekali berubah.

Benar-benar menghibur. Ah cantik sekali. Gadisku.

Hanya sekilas pandang dan Sakura benar-benar terlihat persis seperti mempelai wanita kebanyakan dengan wajah bersemu merah dan senyum malu-malu. Setidaknya itulah yang dilihat semua orang yang hadir di sini. Tentu saja kecuali aku. Karena aku tahu bahwa semu merah itu adalah reaksi saat ia sedang sangat jengkel.

"Aku benci padamu," desisnya setelah memastikan tak ada yang berdiri cukup dekat dengan kami.

"Aku juga mencintaimu, Love," sahutku sambil mendenguskan tawa.

Sisa acara selanjutnya ia habiskan dengan mengabaikanku sepenuhnya.

Acara belum selesai ketika Sakura mengeluh lelah. Kami meninggalkan ruang acara dan diantarkan oleh salah satu maid menuju kamar pengantin diiringi oleh dentingan piano dan senyuman menggoda dari semua orang. Pada akhirnya aku terlihat seperti pengantin pria yang membawa lari pengantin wanitanya sendiri. Tentu saja, siapa yang peduli.

Kamar pengantin kami bernuansa merah dan emas. Design yang sudah dapat kutebak berasal dari pemikiran ibuku dan ibu Sakura. Jadi inilah yang mereka kerjakan dalam beberapa hari ini, membicarakan kamar ini sambil menikmati teh sore dan tersenyum menggoda saat kami menghampiri.

Tempat tidur berukuran besar terletak di tengah ruangan, dengan ranjang khas bangsawan Eropa abad ke delapan belas. Lilin-lilin aroma dinyalakan di atas meja kecil di sebelah tempat tidur. Berjumlah tepat sepuluh cangkir dan sudah habis seperempatnya.

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang