PART 22

3K 336 51
                                    

Angin berembus membawa luka yang tak kunjung padam. Apakah semuanya akan dibiarkan berlalu begitu saja? Tampaknya, Torra tidak akan memilih opsi tersebut. Ia semakin memacu laju mobilnya melewati jalanan beraspal yang begitu berdebu, dan hanya satu tujuannya kini. Inna Bastari, bukan yang lainnya.

Secepat mimpi bersemi menjadi kenyataan, bagi Torra semua jelas karena keinginan sang kuasa. Orang lain boleh berpikir jika semua ini hanya sekedar roman picisan ataupun tanggung jawab saja, namun tidak dengannya yang jelas bersalah, tetapi tetap memiliki rasa dan siap untuk kembali memperjuangkan.

Banyak pengharapan terpatri di antara rasa penyesalan yang ada untuk berusaha diperbaiki Torra, demikian pula dengan usaha para durjana. Sekuat kaki melangkah, maka sekeras itu godaan mencobai dirinya. 

Benar saja. Saat sebentar lagi langkah Torra mencapai ke sebuah pemukiman elit di pinggiran kota Kupang untuk menitipkan mobilnya, dering ponsel pun terdengar dari kantong celananya. Nyaris ia tak ingin menjawab panggilan tersebut, tapi nihil ketika sebaris nomor itu berasal dari telepon rumahnya.

"Halo, Nak? Kamu di mana?" Ya, itu suara Thomas, pria yang memiliki paras wajah tak jauh berbeda dengannya.

"Torra mau otewe ke Bandara, Pa. Torra mau ke Jakarta, Pa. Jemput Inna. Papa kenapa kok napasnya gitu?! Papa anfal lagi?" Tak ingin menciptakan kebohongan untuk rasa cemas yang sedikit berlebihan, jujur adalah pilihan Torra untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

"Mamamu, Nak! Mamamu kecelakaan mobil sama Laura pas mau menuju ke sini tadi!" Tetapi bagai tersambar petir di siang bolong, dengan gilanya Torra harus menginjak pedam rem pada mobil yng sedang ia kendarai, akibat berita mengejutkan dari Thomas.

"APA?! Papa jangan bercanda dong! Torra ngejar pesawat siang yang jam satu nih!" Menoleh ke kanan dan ke kiri sembari menyetabilkan kekacauan di jantung, Torra suara Torra naik satu oktaf untuk kabar tersebut.

Torra juga secepatnya membawa mobilnya ke sisi kiri jalan ketika suara klakson lainnya terdengar dari arah belakang, namun pergerakan itu terasa lamban untuknya, mana kala Thomas kembali membuka suaranya, "Orang Rumah Sakit Umum Kupang yang telepon ke sini barusan! Tolongin Papa dulu, Nak! Nggak mungkin Papa nyetir dalam keadaan kayak gini!"

"Ya udah. Papa tunggu di sana. Torra bakal jemput Papa secepatnya!" Saat kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya, sungguh sosok Inna Bastari tiba-tiba saja tak lagi terlihat di isi kepalanya.

"Bener ya? Papa tunggu ini."

"Iya, Pa. Iya." Suara Thomas yang semakin mengkhawatirkan, membuat keputusan itu dengan mudah terjadi. Maka kini angan-angan pun berubah, menjadi huru-hara tanpa muara.

Hati boleh berjanji untuk tetap berdiri di koridornya bersama uluran waktu, namun keadaan berkata sebaliknya, ketika Indri Bastari terus saja menenun doktrin atas kesedihan mendalam putrinya, "Biar ibu yang urus sama om Sandi nanti, Nduk. Dia 'kan pengacara, jadi surat cerai itu bisa secepatnya keluar. Kamu nggak usah mikir soal perasaanmu lagi sama laki-laki model si Torra itu, daripada nanti mereka sekeluarga semakin menginjak-injak harga diri kita! Cucu ibu, Nduk! Cucu ibu dibunuh!"

"Ibuuu..." Inna bahkan terlihat semakin menyedihkan dengan lelehan air matanya yang terus mengalir, dan sungguh inilah kesukaan terbesar bagi Aldi. Sulit mengajak Inna berada satu pijakkan, dokter kandungan itu terus memuluskan jalannya melalui satu-satu yang tersisa.

"Tentukan pilihanmu, Nduk! Ya Tuhannn... Cuma kamu yang ibu punya saat ini, Inna..! Bagaimana bisa kamu berpikir untuk kembali sama dia dan membiarkan ibu sendiri di sini, hm? pikir, Sayang. Pikir baik-baik supaya jangan masuk jurang lagi kayak kemarinnn..." Dan keberuntungan nyaris berpihak padanya, saat Indri memainkan lakonnya dengan begitu ciamik.

Puing kepedihan naik satu per satu membentuk barisan yang kokoh dalam diri rapuh Inna, bahkan tumpukan dosa, pun menjadi semakin tercurah seperti air hujan membasahi bumi, "Ampun, Buuu... Maafkan Inna yang sudah banyak buat salah. Jangan marah sama Inna, Buuu... Jangan marahhh..."

"Ibu nggak marah, Nak. Itu sudah takdir hidupmu dari Gusti Alloh. Sudah jangan nangis lagi yo, Nduk. Kita udah janjian sama nak Aldi mau ke kubur bapakmu, jadi sekarang buruan mandi biar mukanya jangan bengkak-bengkak kayak gini, oke? Anak ibu yang cantik, nggak boleh cengeng! Harus kuat dan cepat sehat biar bisa kuliah lagi, terus kerja cari uang halal yang banyakkk...!" Membuat Indri sedikit kelabakan, merasa sudah keterlaluan atas masa lalu Inna. Wanita paruh baya itu lantas mengiring sang putri menuju ke kamar mandi, sebab sebentar lagi Aldi akan menjemput mereka menuju ke makam suaminya.

Sementara di tempat lain, Theresa mengaduh sejadi-jadinya atas luka lebam yang ia alami, karena kali ini Laura memakai cara ektrim, dengan melukai diri mereka berdua, "Kenapa jadi beneran sakit kayak gini, sih, Laura! Aduhhh...! Tulang ekor Mama rasanya mau patah tahuuu...! Arghhh...!"

"Lebay! Udah deh dramanya, Ma! Kalau nggak gitu nanti ketahuan dong kita cuma rekayasa!" Perempuan itu bahkan merelakan bamper mobilnya rusak berat dan mebuat seorang laki-laki digiring ke kantor polisi, untuk bisa meloloskan keinginannya mendapatkan cinta Torra kembali.

"Tapi ini beneran sakit, Laura!" Sadar akan kesalahan bermula darinya, tekad Laura kian menggebu untuk memperbaiki sampai ke batas akhir kesanggupannya.

"Udah cukup! Mama pikir lenganku yang lecet ini nggak sakit? Menuntut lima belas juta dibayar tunai aja cepet si Mama. Nah aku? Masa mau tekor terus setelah ruko itu jadi milik Mama? Totalitas, Nyonya Theresa. Aku cari duitnya juga susah kudu jilat sana jilat sini lobi proyek ke orang partai ke pembesar-pembesar. Memangnya dari mana, sampai bisa bikin Mama punya nama di kalangan ibu pejabat tanpa harus jualan online lagi?" Tetapi Laura tetaplah Laura, wanita tamak yang sukar untuk mengalah, bahkan pada takdir sekalipun.

Sedikit menggerutu sembari menahan sakit, omelan Theresa terus saja terdengar di antara rintihannya, "Kamu belum jadi menantu aja udah kayak gini gimana nanti, Laura Wijaya? Kamu yakin bisa membahagiakan anak saya kalau kayak gini caranya?!"

"Tahu apa Mama soal bahagia? Cucu yang asli-asli dari darah daging Mama sendiri aja disingkirkan demi ruko dan uangku. Jangan sok ceramahin aku deh! Mendingan dari sekarang siapin tenaga biar nanti pas Torra datang nggak ketahuan sakitnya hasil dari rekayasa!" Luka kecil di pelipis Theresa memang sengaja dibentuk sedemikian rupa, namun sungguh pinggulnya mendapatkan benturan yang cukup keras.

Dari sanalah bersitegang kedua durjana itu terjadi sedari tadi, namun lambat laun Theresa mulai mengikis omelannya, ketika Laura membungkamnya dengan kebenaran tentang keculasannya. Ya, culas nan kejam. Yang masih diberi kesempatan untuk merubahnya, namun selalu dianggap sebagai sebuah keberuntungan oleh-NYA. Sampai kapankah? Jangan bertanya. Aku tidak tahu jawabannya.

***

BERSAMBUNG. JANGAN LUPA FOLLOW AKUN TEMENKU @MemeyMecxa2 YA? MAKASIH. KAYAK SINETRON CERITA INI. NGGAK USAH DIBACA AJA HEHEHE...

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang