Delapan

1.4K 140 3
                                    

"Bagaimana? Semua berkas beres?" Tanya Bian di telepon kepada seorang pria yang ia sewa untuk mengurus berkas pernikahannya yang akan diselenggarakan dua minggu lagi.

"....."

"Baiklah. Pastikan tidak ada masalah sampai hari H. Hmm."

Bian menghela nafas. Semakin mendekati hari H pernikahannya, perasaannya semakin tak karuan. Pasalnya calon mertuanya mengajukan beberapa persyaratan yang membuat Bian tak bisa berkutik.

***

"Kita sama-sama orang tua. Kita sama-sama menginginkan kebahagiaan untuk anak-anak kita. Jadi berilah kami kesempatan untuk membahagiakan putri Bapak dan memperlakukannya seperti putri kami sendiri." Ujar Tuan Bramantiyo yang memang sengaja menyusul putranya setelah mengetahui apa yang terjadi dan apa yang harus mereka lakukan sebagai bentuk tanggung jawab mereka.

Aminah merasakan tangannya digenggam erat oleh Nyonya Bramantiyo. Dilihatnya wanita anggun itu memohon dengan matanya.

"Bian tidak berniat menyakiti Nayla. Kami pun tidak menyalahkan Nayla yang berada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Tapi semua sudah terjadi dan mungkin ini memang jalan mereka berdua." Tambah Nyonya Bramantiyo.

Bian pasrah. Kalau Muhammad Salahudin tidak bisa menerimanya, maka tidak ada yang dapat ia lakukan lagi.

"Saya akan menyetujui pernikahan ini dengan 3 syarat."

"Kami akan menerima apapun itu." Tegas Tuan Bramantiyo.

"Nayla dan putra Bapak akan tinggal terpisah dulu sampai keadaan psikis Nayla lebih baik. Nayla akan tinggal di sini sampai dia merasa siap. Tentu saja putra Bapak sebagai suami boleh mengunjunginya setiap saat."

"Baiklah."

"Nayla tidak akan dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri sampai dia siap, karena saya yakin, kejadian itu pastilah meninggalkan trauma yang mendalam."

"Saya setuju."

"Kalau kejadian itu tidak membuahkan hasil, saya ingin putri saya diberi hak untuk memilih apakah ia ingin melanjutkan pernikahannya ataukah bercerai. Dan jika Nayla memilih untuk bercerai, keluarga Bramantiyo harus menghormati keputusannya."

"Tentu saja."

"Kalau begitu kalian boleh mengurus segala berkas yang dibutuhkan. 2 minggu dari sekarang, pernikahan bisa digelar. Hanya acara sahnya, tanpa pesta apapun."

***

"Nayla tidak sudi Bu. Sudah cukup pria jahat itu menghancurkan semua mimpi-mimpi Nayla. Jangan zalimi Nayla lebih dari ini." Isak Nayla ketika mengetahui apa yang sudah disepakati oleh kedua keluarga.

"Nay, walau bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Seisi desa sudah mulai bergunjing, kalau tidak ada pernikahan, mereka akan terus mengatakan hal yang buruk tentangmu."

"Nay tidak peduli, Bu. Pokoknya Nay tidak sudi menikah dengan orang jahat itu."

"Apa pernah sekali saja, ayah membuat keputusan yang salah untukmu?"

Nay melihat ke arah pintu. Ayahnya yang kurus terlihat lebih tua dari biasanya. Matanya terlihat lelah dan kerut di dahinya bertambah banyak. Nay tidak tega melihat pria gagah itu. Pastilah dia lelah karena memikirkan masa depan putrinya ini.

"Kalau Nay tidak percaya pada keputusan yang ayah buat, setidaknya percayalah pada apa yang dihadapkan Allah padamu. Ayah membesarkanmu untuk menjadi pejuang hidup. Sepahit apapun itu, jalani saja dulu. Nanti kau akan tahu, hikmah apa yang kau dapat setelah menjalaninya."

"Tapi Ayah.....dia orang jahat." Rengek Nayla dengan air mata yang tak kunjung ingin berhenti.

"Ayah sudah hidup selama 45 tahun. Dia memang melakukan kesalahan. Tapi dari tatapannya Ayah tahu, dia sangat menyesal dengan apa yang telah terjadi. Orang jahat tidak akan menyesali apa yang sudah diperbuatnya."

Dan Nay hanya menangis di pelukan ibundanya. Nay tahu, dia tidak bisa menghindar dari apa yang dihadapkan kepadanya. Dari apa yang menantinya dalam dua minggu ke depan nanti.

Menikah dengan orang yang telah menghancurkan mimpi-mimpinya.

Berjodoh dengan seorang pemerkosa.

JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang