Gavin masih tetap memeluk adiknya, tapi Rania belum juga mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya. Hal itu tidak membuat Gavin melepaskan pelukan, tapi justru membuat Gavin semakin mengeratkan pelukan tersebut.
Rania yang merasa sesak karena Gavin memeluknya terlalu erat, gadis itu mencoba untuk melepaskan pelukan Gavin. Rania tidak ingin jika tiba-tiba saja air matanya jatuh di depan sang kakak, apalagi ayah dan bundanya belum tidur.
"Kak lepasin!"
"Gak! Kalo lu mau cerita gue bakal lepasin," ucap Gavin.
"Lepasin dulu!"
Tak ingin membuat Rania semakin semakin murung, Gavin akhirnya melepaskan pelukannya.
Rania menarik napas panjang, mencoba untuk mengatur napasnya yang sedari merasa sesak karena masalah yang terlalu di buat rumit oleh dirinya sendiri.
"Jadwal berangkat Rania di ajuin satu hari lebih awal," jelas Rania singkat.
Pernyataan yang di lontarkan Rania membuat Gavin memilih untuk menyandarkan tubuhnya karena sedari tadi tetap tegap karena ekspresi Rania yang membuat dirinya khawatir. Pria itu memandangi atap rumah, ia bermaksud untuk mencari kalimat yang bisa dengan mudah untuk di mengerti Rania.
Gavin duduk dengan tegap seperti semula. "Gini ya Ran, lu ga usah mikiran hal yang ga terlalu penting. Kalo semisal jadwal lu di ajuin ya udah lu ikutin aja."
"Ya gue tau lu pasti berat banget ninggalin semuanya, tapi kembali lagi ke awal. Lu harus tau udah seberapa jauh lu melangkah untuk dapatin beasiswa ini? Seberapa keras usaha lu selama ini? Ran! Kadang kita harus lihat kebelakang, bukan untuk kembali lagi ke awal melainkan untuk menjadi penyemangat karena lu udah maju sejauh ini, terus kalo lu berhenti di tengah-tengah itu artinya lu ngehianatin usaha yang udah lu capai sampai saat ini," jelas Gavin.
Gavin yang merasa sangat capek, ia memilih pergi ke kamar untuk merebahkan badannya.
Selang beberapa detik Gavin pergi, air mata Rania menetes satu persatu. Entah kenapa gadis itu tiba-tiba menjadi seseorang yang rapuh hanya karena akan pergi meninggalkan keluarganya. Tak mau berlarut dalam kesedihan dan pikirannya sendiri, Rania memilih untuk melupakan semua yang membuat dirinya sedih. Ia hanya ingin menikmati sisa waktu yang ada bersama keluarga dan teman-temannya.
***
Matahari bersinar terang hari ini, begitupun dengan Rania yang memancarkan kecerian dalam dirinya. Tak terlihat sedikitpun kesedihan yang sempat ia alami beberapa hari lalu.
Hari ini Rania berniat untuk menghabiskan waktu seharian dengan Naya dan Sally. Sesuai dengan kesepakatan mereka bertiga, mereka akan bertemu di rumah Sally sebelum memutuskan untuk kemana mereka akan pergi.
Rania yang baru saja tiba di rumah Sally, gadis itu memperhatikan sekitarnya kagum. Beberapa kalimat tasbih ia lontarkan ketika melihat rumah Sally yang begitu mewah dan juga indah. Walaupun bukan kali pertamanya Rania datang ke rumah milik keluarga Sally, tapi hal itu tidak membuat Rania berhenti terkagum dengan rumah tersebut. Halamam rumahnya sangat luas, terdapat garasi yang berisi beberapa mobil mewah.
Saat tengah asik memperhatikan sekitar, tiba-tiba saja Naya datang dan mengejutkan Rania.
"Ngapain si Ran? Kayak gak pernah kerumah Sally aja," tanya Naya.
Kini perhatian Rania tertuju pada Naya yang berdiri di sampingnya, Rania terheran dengan sahabatnya itu. Dari mana dia datang? Sedari tadi Rania memperhatikan sekitarnya tidak mendapati sosok Naya, dan kenapa gaya Naya tiba-tiba berubah?
"Tunggu! Lo Naya?" tanya Rania tak percaya.
Naya hanya mengangguk tak mengerti kenapa Rania menanyakan pertanyaan itu, bukankah itu sudah jelas bahwa dirinya adalah Naya Varischa, sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Seoul [Hiatus]
Fanfiction[BELUM TAHAP REVISI] ~•Cerita ini belum di revisi jadi di maklumi kalau banyak typo di mana mana•~ "Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Lalu apakah kita bisa bersatu karena perbedaan tersebut?" (Rania Anastasya) Rania Anastasya, se...