7

98 11 4
                                    

Malam itu Jungkook mimisan, banyak sekali sampai-sampai Jimin bingung apa yang sebaiknya ia lakukan alih-alih berjalan mondar-mandir dan membiarkan Jungkook menyeka hidungnya dengan lembaran tissue yang tergeletak di atas meja. Buku-buku, laporan, bahkan laptopnya yang masih terbuka tak luput dari darah Jungkook yang tercecer di mana-mana. Butuh waktu buat Jimin menenangkan Jungkook setelah Taehyung pergi. Butuh waktu buat Jimin membersihkan kehancuran yang mereka sisakan. Butuh waktu pula buat Jimin menghentikan Jungkook berucap maaf sembari membantunya mengutip satu-persatu barang yang berceceran di sekeliling mereka.

"Aku marah pada Seokjin." Ucap Jungkook sewaktu mereka selesai mengemasi barang berserakan hasil perbuatannya. Jimin ingin tahu, sungguh, tentang apa yang terjadi pada Jungkook dan saudara-saudaranya, bukan karena Jimin merasa ia layak untuk diberi tahu, melainkan karena Jimin merasa begitu ingin tahu mengenai sahabat-sahabatnya yang merenggang dan enggan berkumpul jadi satu. Mungkin karena Jimin merasa kehilangan, atau juga kesepian. Sebab, rumahnya itu begitu mengerikan kala tak ada yang menemani Jimin di dalamnya. Semenjak ibunya tiada, Jimin terlalu ketakutan buat masuk ke dalam rumahnya, merasa begitu kosong sebab Jimin tak lagi temukan presensi ibunya. Seolah mengerti, seolah memahami, teman-teman bergantian datang kerumahnya, bermalam, bermalas-malasan, atau sekadar mabuk buat luapkan kepenatan. Lama-kelamaan mereka singgah lebih lama dari yang seharusnya, mereka tinggal lebih lama dari yang Jimin pernah kira. Dan kemudian, satu hal terjadi dalam hidup masing-masing dari mereka, dan mereka terlalu sibuk buat selesaikan urusan mereka. Cuma Jungkook yang tersisa, dan masih bertahan sebab dia tak punya tempat lain buat bersembunyi dan melarikan diri.

"Aku berteriak di depan mukanya. Dia pasti kesal sekali padaku." Jungkook tersenyum, meski Jimin tahu Jungkook tak berniat melakukannya mengingat bagaimana raut Jungkook yang kacau kala mengucapkan kalimatnya. "Bicaraku kasar padanya. Kupikir, sekalipun Namjoon menghormati Seokjin sebagai abangnya, setelah mendengar apa yang kuucapkan padanya, Namjoon akan berada di sisiku kemudian berpihak padaku. Tapi Namjoon justru berbisik di telingaku dan bilang supaya aku berbaikan dengan Seokjin, tanpa berpikir apa yang akan aku rasakan." Jungkook menangis, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Pilu sekali tangis Jungkook malam itu, isakannya bahkan buat Jimin ingin ikut-ikutan menangis kencang saat itu juga. Tapi, Jimin tak berniat buat buka suara, tak berniat buat mendekap Jungkook dan memenangkannya. "Sedih sekali rasanya, sewaktu menyadari tidak ada yang memihakku. Tidak ada yang berusaha mengerti maksudku, tidak ada yang berusaha memahami betapa sakitnya aku. Sedih sekali, Jimin. Rasanya seperti aku tidak ada artinya lagi."

Rasa-rasanya Jimin mengerti rasa yang berusaha Jungkook buat jelaskan. Jungkook kesepian, bukan karena tak ada orang di sekelilingnya, bukan karena ia menyadari bahwa ia tengah sendiri dan tidak ada satupun yang menemani. Jungkook kehausan, bukan haus buat minum yang akan melegakan kerongkongan, Jungkook haus akan afeksi yang dia ingin ayahnya berikan, yang dia ingin dapat dari orang-orang yang berarti dan dia anggap penting buatnya. Jungkook merindukan, rindu pada sosok yang buatnya jadi lemah seperti dirinya yang sebenarnya, pada sosok yang kepadanya Jungkook tak perlu tunjukan seberapa kuat dan tangguhnya dia. Jungkook ketakutan, dia takut kehilangan, takut buat dibuang, sebab Jungkook tak ingin ditinggalkan.

Tatkala Jimin mendapati tangis Jungkook berkali lipat lebih pilu, Jimin mendekat dan mendekapnya, berinya pelukan setangguh yang ia bisa. Lantas, Jimin bertanya, "lalu apa yang kau mau, Jung? Apa yang kau inginkan?" sebab Jimin ingin mendengar apa yang sesungguhnya Jungkook ingin buat dirinya, apa yang sesungguhnya Jungkook mau dapat dari apa yang telah dilakukannya. "Aku mau jadi manusia, Jimin." Kata Jungkook, dan Jimin tak bisa menolak hatinya yang meletus nyeri tatkala mendengarnya.

Jimin yakin ia telah lama berkata seberapa sempurnanya Jungkook dengan gemilang prestasi yang disandangnya. Siapa yang tak ingin dapat apa yang bisa Jungkook genggam sementara usianya masih setara anak SMA? Bukan jarang orang-orang cuma menganggapnya gemilang dengan dorongan nama keluarga dan kekuasaan yang orangtuanya punya. Jungkook tak akan repot-repot mendatangi orang itu dan berucap di depan wajahnya sembari tunjukan seberapa sempurnanya dia, Jungkook akan berjuang habis-habisan buat buktikan dengan gelar yang didapatnya dengan dua tangan yang terbuka. Jungkook tak akan repot-repot bicara, dia akan tunjukan seberapa kerasnya dia berusaha. Dan ketika Jimin sadar, Jungkook hancur dengan kekuatan yang dihabiskannya buat menghajar sendiri dirinya, membuat dirinya sendiri babak belur kehabisan napas sementara orang-orang di luar sana memujinya sebab apa yang telah diraihnya.

"Aku tidak bisa jadi setangguh yang mereka minta. Aku tidak bisa jadi gemilang sementara aku sendiri tak diizinkan buat punya cahaya. Aku tidak bisa, Jimin. Dan aku sekarat sebab aku terlalu keras buat mencoba." Jungkook menangis dalam peluknya. Jungkook rubuh dan hancur dalam rengkuhannya, dan Jimin tak cukup kuat buat mengutip kepingan Jungkook yang berserakan di bawah kakinya. "Aku tidak bisa jadi seperti Namjoon, sebab Namjoon terlalu sempurna, aku tak bisa bahkan buat sekadar selangkah di belakangnya. Aku tidak bisa jadi seperti Seokjin, sebab Seokjin punya cahaya sementara aku tak memilikinya. Aku tidak bisa jadi seperti mereka, Jimin, tapi mereka limpahkan tanggungjawab besar buat kutanggung seorang diri." Jimin ikut hancur bersama Jungkook, menyadari betapa rusaknya Jungkook sementara dirinya sendiri berusaha buat nampak sempurna. Jungkook cuma bocah malang yang dihadiahi mahkota di atas kepalanya, tapi tanpa ditanyai apakah dia ingin mahkota itu untuk terus singgah di atasnya, lantas dia diberi syarat berat buat menjaganya buat menyongsong mahkota itu setinggi yang ia bisa, sementara dia kehilangan jati dirinya. Sementara, dia kehilangan segala yang dia punya. Jungkook terlalu hancur dan tak ada seorangpun yang menyadarinya.

"Kau berhak buat jadi manusia, Jungkook. Aku tak akan menyalahkan mereka yang tak bisa melihat seberapa berat usahamu buat melihat mereka bangga. Kau berhak buat jadi manusia, sebab kau sungguhan manusia, kau bukan dewa. Tak apa buat tak jadi sempurna, kau bukan Tuhan yang bisa lakukan segalanya. Tak apa, sebab kau sungguhan manusia." Jungkook tumpahkan tangis di bajunya, mencengkram erat-erat lengannya sementara ia terisak-isak tanpa henti sembari pukuli sendiri dadanya. Jungkook cuma butuh mereka paham bahwa Jungkook tak ingin ada mahkota di atas kepalanya, Jungkook tak ingin gelar yang tengah di sandangnya. Jungkook cuma butuh jadi manusia, yang menangis kala mereka terluka, Jungkook cuma mau jadi manusia yang kecewa kala gagal dapat apa yang telah ia perjuangkan dengan seluruh kekuatannya. Jungkook mau jadi manusia yang jatuh dan berdarah, yang menyalahkan kemudian melarikan diri, bukan lelaki layaknya dewa yang dipuja sebab dirinya yang sempurna.

Hari itu, setelah bicara banyak dengan Jungkook yang mati-matian mengatakan apa yang hatinya pinta, Jimin sadar bahwa semua orang sama terlukanya, bukan cuma satu sisi saja. Namjoon pasti tahu mengapa ia memilih buat memihak pada Seokjin sementara dia meninggalkan Jungkook yang menyalahkan semua orang sebab menganggap tak ada yang sudi mempertimbangkan keinginannya. Namjoon pasti sama terlukanya, begitu pula Seokjin, keluarganya, ayah Jungkook yang tak sadar seberapa Jungkook terluka, mereka pasti sama sakitnya, tapi memilih buat sembunyikan kesakitan mereka. Ya, benar, sebab mereka semua bukan manusia, mereka menuntut kesempurnaan sebab semua orang telah terlanjur menyaksikan kesempurnaan mereka. Mungkin karena Jimin tak paham rasanya jadi mereka, mungkin karena Jimin tak pernah berada di posisi di mana mereka berada, maka Jimin tak mengerti mengapa mereka sudi buat terluka buat dapatkan mahkota di atas kepala.

Jimin masih membawa mug nya yang berisi kopi sementara ia memeriksa pintu depan dan menguncinya, tatkala ia melihat Yoongi di depan rumahnya. Aneh sekali tatapan Yoongi kala itu, tatapan yang Jimin tak bisa artikan sebab Yoongi tak nampakan emosi di dalamnya. Begitu Jimin menghampirinya, hendak bertanya mengapa Yoongi tak masuk seperti yang biasa dilakukannya alih-alih berdiam diri di luar dan menatap nanar pada rumahnya. Tapi, Yoongi buru-buru bertanya, dan Jimin bingung buat menjawabnya, "Jimin, siapa nama ibumu?"

;

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang