"Kita mesti berpisah tanpa kata"
RUANG sempit yang berpedar cahaya lampu yang mulai redup pertanda sudah mulai habis riwayatnya untuk terus bekerja. Keringat mulai bercucuran turun dari pelipis yang mulai berkerut.
Mata Hilma terus terkonsentrasi pada seorang bayi digendongannya. Mengamati dan merangkum setiap lekukan wajah yang begitu mirip dengan seorang pria yang pernah memancarkan warna untuk dirinya. Ini bukan dari bagian dari rencana hidupnya. Pria itu menghilang ketika tahu bahwa Hilma hamil.
"Kau membuat ini menjadi rumit...."gumamnya, seakan berbicara pada pria yang dia rindukan, "Aku tidak membunuh siapapun. Mereka yang membunuhku..." ia memandang sekilas foto keluarganya, dengan pandangan sendu. Tangannya terus membelai wajah mungil anaknya yang begitu manis.
Petir menyambar pertanda hujan akan mulai turun. Dalam diam, pancaran mata yang dikeluarkan begitu tegas. Suara gemuruh disusul gemericik air yang jatuh melewati genting tua tempat berteduh menghalau panas matahari dan hujan.
Pendangan pada kain biru seolah memadamkan segala emosi yang tak mampu di keluarkan. Dia tahu, tidak seharusnya berkonflik pada dirinya sendiri, terutama pada saat bahagia datang karna gadis mungil di gendongannya. Hilma butuh waktu sejenak untuk tenang dari bayangan, beberapa jam yang lalu seorang pria membuat kesalahan dengan menggodanya. Ardi, suami dari Lena baru saja masuk kedalam pemikiran yang membuat resah hingga ia tak mampu mengalihkan tatapan pada anaknya.
"Siapa yang aku percayakan selanjutnya Sam untuk menjaga Camel?" tanya Hilma pada dirinya sendiri. Keresahan menghantuinya sejak sore yang lalu ketika Ardi dinyatakan mati ditangan Hilma. Kegelisahan melingkupi dirinya yang terus memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Hilma jadi terbayang dengan wajah Lena yang mendengar berita bahwa sang suami telah di bunuh olehnya. Lena, sahabat yang sudah bersama sewaktu kecil. Berulang kali Hilma terus mengingatkan bahwa Ardi bukan orang baik. Sekarang ini, ia hanya perlu memikirkan bagaimana cara membuktikan tuduhan yang mengarah padanya. Petir menyambar memberikan suasana makin runyam ketika suara guntur yang menggelegar dari langit hingga membuat tangisan anaknya pecah.
"Settt.. ada mamah disini," mengarahkan jarinya mengusap pelan pipi Camel, anaknya. Iringan lagu tidur serta tepukan pelan menenangkan terus dilakukan dengan tujuan meredakan tangisan bayi digendongannya.
Diluar angin menderu keras. Pohon-pohon meliuk menyebabkan beberapa dahan patah. Hal itu, menimbulkan suara gemerisik keras bersamaan dengan cahaya kilat yang menyambar. Gedoran pintu mengagetkan Hilma yang sedang berpikir keras. Pintu yang tertutup rapat dipaksa didobrak oleh gerombolan warga. Ada tiga polisi bersama Lena dengan wajah kecewa penuh linangan air mata.
"Kenapa kamu lakukan itu sama aku Hilma? Aku tau, betapa kamu membenci Ardi," Lena berbicara dengan nada lirih melihat sahabat yang dia sayangi menghancurkan dunianya. "Lantas, perlu kau sampai membunuhnya."
"Percayalah Lena aku tidak pernah membunuh suami mu."
Hilma banyak menuai tatapan ketidakpercayaan, kebencian, dan entah orang yang memandang meremehkan.. Hilma mengeratkan gendongan pada anaknya. Hilma menatap Lena lekat. Mereka saling tatap-tatapan. Hilma tersenyum getir. "Seribu kali aku menceritakan kebenarannya kamu tetap menutup telingamu, kesalahan tetap akan bergilir dengan kebenaran, dengar itu baik-baik Lena," ucap Hilma penuh dengan penekanan.
Hilma memejamkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi selanjutnya. Menurunkan jarinya kedepan wajah anaknya yang menangis lebih kencang. Hilma mendesah kasar, sekarang ia tidak mampu menjaga anaknya dengan baik.
"BAWA PEMBUNUH ITU!!!," perintah Lena dengan berteriak sambil terisak. Ia tak kuasa menahan air matanya begitu menatap Hilma. "Dia pembunuh, cepat tangkap wanita ini. Penjarakan dia!" seru para warga yang basah terguyur hujan.
"Aku gak salah Lena, cepat atau lambat semua yang kau lakukan akan menuai penyesalan yang besar."
"Kamu harus dihukum atas kesalahan mu Hilma, aku gak peduli bahwa kamu adalah salah satu orang yang pernah aku sayangi di dunia ini," Lena merebut gendongannya dengan paksaan. Bayinya menangis kencang ikut merasakan kepedihan yang begitu dalam. Polisi itu mendekati Hilma dan membrogol kedua tangannya.
"Ibu kami tahan dengan tuduhan pembunuhan," ucap salah satu polisi yang menunjukkan surat penangkapan.
"Sial banget anaknya yang harus dilahirin sama seorang pembunuh, pantesan suaminya pergi ninggalin dia," celetuk salah satu warga. Perkataan itu mengingatkan dirinya pada sosok suaminya yang entah pergi kemana setelah tau kabar bahwa Hilma positif hamil. Benteng pertahanannya runtuh, hingga air matanya lolos tanpa permisi. Ia ditarik paksa menerobos hujan untuk masuk ke dalam mobil yang membawa ketempat jeruji besi.
Langit malam, masih sama pekatnya. Hujan enggan berhenti dan malah semakin menjadi deras. Seperti ikut bersedih atas semua kesedihan dimalam ini yang menimpa Hilma. Malam ini dan 17 tahun yang akan datang semua berbeda sejak tuduhan mengarah padanya.
Camel adalah saksi kebahagiaan yang ia tinggalkan. Dengan waktu yang tak ditentukan semua akan berlalu tanpa kecaman. Mungkin, raganya tak bersama putrinya, namun do'a mengalahkan jarak yang terlampau jauh. Mengikis segala haluan kedinginan membungkus kehangatan. Ini adalah garis takdir yang tuhan rencanakan. Dibalik semua yang dilaluinya ada alasan untuk tetap berdiri dan bertahan.
Hai guys !!!!
I'm come back. jangan lupa vote dan comment kalian untuk memberikan semangat dan saran yang baik agar cerita ini makin minim kesalahaan. jangan lupa juga ya follow akun instagram aku semisal kita mau berteman dan saling sharing
@wardah.shn (Instagram)
@warwardahdah (twitter)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia
ChickLitSekotak masa lalu kelam datang menghancurkan setiap tapakan kaki Camel, untuk itu ia melangkah lalu berlari dari masa lalu hitam yang entah datang dari mana. Ketika kenyamanan mulai tumbuh dari seorang pria yang meninggalkan secarik kertas berpesan...