Delia bergulung malas di atas kasur. Ini hari Sabtu. Ia baru pulang dari lembur. Besok hari adalah libur yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan pekerja. Apalagi orang-orang yang melakukan aktivitas rutin di hari Senin sampai Jumat.
Tapi itu tak berlaku bagi Delia. Bukannya Delia membenci hari Minggu. Tapi hari Minggu membuatnya gelisah. Ia ingin segera hari itu berlalu dan hari Senin segera datang. Baginya setiap hari Minggu waktu berjalan lambat. Sepanjang hari ia memikirkan punggung bidang yang ia lihat saat apel pagi. Atau kerut halus pada wajah maskulin di seberang ruangan yang sedang berpikir serius. Mata yang mengecil saat tersenyum ramah. Bahkan suara bass yang merdu saat menyapa namanya.
Ah, membayangkannya saja membuatnya tersenyum malu sendiri.
Delia teringat hadiah yang diberikan tangan besar itu seusai ia makan siang tadi. Saat ruang kerja masih sepi dan hanya mereka berdua yang sudah kembali. Hadiah tanpa banyak kata. Tanpa ada peringatan atau hari spesial apapun. Hadiah yang diberikan karena ingin memberinya, begitu katanya.
Delia meraih kotak hadiah dari nakas di samping ranjang kasurnya. Ia membuka tutup merahnya. Ia tersenyum memandang isinya. Lalu ia menutupnya lagi. Dan begitu lagi untuk kesekian kali sepanjang sore ini.
######
Pria berambut tebal itu melemparkan tubuhnya di sofa panjang nan empuk. Nafas beratnya terdengar jelas mengusik perhatian teman satu kontrakannya yang sedang menonton TV.
"Ada apa, nih? Kelihatan sumpek gitu."
"Delia.." jawab pria itu, samar.
"Kenapa Delia? Hadiahmu ditolak?"
Ia menggeleng lemah, "Dia menerimanya."
"Lantas?"
Pria itu begernyit. Matanya memincing ragu. "Sepertinya dia tidak suka hadiahku. Dia tampak tak senang menerimanya. Ya... Diterima begitu saja, terimakasih, lalu sudah."
Temannya terkikik,"Terus kamu berharap seorang Delia akan berteriak girang? Waaahh, Yoga aku suka sekali hadiahnya, begitu?" tirunya dengan nada centil.
Yoga merebahkan tubuhnya. Dipandangnya langit-langit berwarna putih itu. Temannya benar. Delia yang mereka kenal bukan tipe wanita yabg seekspresif itu. Rekan sejawatnya itu cenderung dingin sebagai wanita. Bukan pendiam, tapi tak banyak bicara juga. Yang ia ucapkan memang sesuatu yang ingin sampaikan. Perkataannya selalu terus terang. Tak banyak basa basi dan kata penghias yang menyegarkan telinga, apa adanya.
Begitupun penampilannya. Pakaiannya sederhana. Tak menyolok. Temannya pun tak kan ada yang bisa menyadari baju apa yang ia kenakan kemarin. Wajah manis khas wanita jawanya juga hanya tersapu make up tipis. Sering terlihat kusam menjelang sore hari. Dengan lingkar hitam tipis di bawah mata dan sedikit sisa-sisa jerawat dari masa pubernya.
Meskipun begitu ia salah satu rekan kerja favorit sejawatnya. Hampir disetiap proyek Delia diikutsertakan dalam tim. Ia cekatan. Hasil kerjanya pun dapat diandalkan. Walaupun bukan seseorang dengan jabatan tinggi, karena kepribadian tangguh dan kemampuanya, Delia cukup disegani di tempat kerja.
Sebungkus snack -yang dilempar teman sekontrakannya-mendarat tepat di kepala Yoga, menyadarkan dari renungan singkatnya.
"Lagian aku heran. Apa yang kamu suka dari Delia sih?" Tanya pria yang juga sekantor dengan Yoga itu.
"Maksudku.. aku tahu dia cerdas dan kerjanya bagus. Tapi untuk romantisme... She is not fun at all."Yoga bangkit. Senyum tipis terlukis dibibirnya. "Karena kau hanya mengenalnya sebagai rekan kerja."
"Maksudmu..."