***
"Aku bukan seorang guru, hanya sesama musafir yang kau tanyai arah. Aku menunjuk ke arah depan, ke depan diriku sendiri dan ke depan dirimu."
- George Bernard Shaw-***
Bandung, 1997
Sederhana. Hanya memainkan ukulele di pinggir jalan atau di depan sebuah warung, mereka bernyanyi sesuka hati. Meski dengan suara yang tidak bisa dikatakan bagus-bagus amat. Sesekali mereka tertawa kala nada bernyanyi mereka tak sama. Sebagai perumpamaan, sebagian ada menyanyi dengan nada C, sebagian lagi G. Ya begitulah jadinya.Semburat jingga terhampar indah di kaki langit. Tersisa 32 menit sebelum sang raja siang tenggelam dalam kegelapan malam, dan akan segera digantikan cahaya rembulan. Orang-orang berjalan dengan menampilkan wajah lesu sehabis bekerja. Ada juga yang terlihat ceria karena bisa berjalan bersama kekasih di akhir pekan. Tempat tongkrongan mulai penuh. Menampung banyak kaula muda yang sedang dimabuk cinta, atau hanya sekadar kumpul bersama kawan. Melepas penat setelah 6 hari disibukkan dengan pekerjaan bagi para pekerja, merefresh otak yang diajak berpikir keras setelah diajak belajar bagi para pelajar.
Para orang tua disibukkan mencari anak-anak mereka yang tak tahu waktu belum pulang juga ke rumah. Kata orang Sunda istilahnya sareupna. Ada cerita yang beredar dari mulut ke mulut bila ada anak kecil yang masih berkeliaran di waktu menjelang maghrib, maka akan diculik oleh sosok wewe gombel. Mau buktikan?
Setelah berjalan kurang lebih 300 meter dari terminal, Dikta memutuskan untuk berkunjung ke sebuah tempat sederhana yang biasa orang bilang 'Kedai Kopi'. Pria itu menyimpan ransel yang sedari tadi menggantung di pundaknya di bawah kursi kosong yang ia duduki. Lalu membuka jaket jeans lusuh dan menampilkan kaos oblong putih saja yang melekat di tubuhnya--- yang tentu malah menambah tingkat ketampanan.
Rasa lelah menyelimuti tubuh pria jangkung bernama lengakap Dikta Pradana Putra. Ada beberapa hal yang membuatnya memilih jadi seorang musafir kelana yang selalu berlabuh di Bandung. Selama 2 tahun terakhir, dia tidak pernah menginjakkan kaki di rumah keluarganya. Terlahir dari keluarga kaya raya di Jakarta, membuat hidupnya justru tidak nyaman. Orang-orang terlalu menghormati keluarganya. Bukan maksud dia tidak ingin dihormati, hanya saja penghormatan yang diberikan dirasa berlebihan. Hingga seolah-olah memberi dinding pembatas antara keluarga kaya raya dan sederhana. Kendatipun keluarganya memang keluarga yang dikenal baik.
Harta yang bergelimang bukanlah tujuan. Bahkan dia rasa, apa yang keluarganya miliki adalah bagian dari beban. Jika bisa memilih, dia ingin dilahirkan sebagai orang biasa saja. Hidup berkecukupan. Tidak berlebihan, apalagi berkekurangan. Serta, dilahirkan sebagai anak pertama dari 2 bersaudara membuat dia agak risi. Selalu dipaksa sang ayah untuk mengurus usaha keluarga. Padahal dia masih ingin hidup bebas. Toh, ayahnya pun masih sehat wal afiat.
Tililit Tililit
Ponsel keluaran tahun '94 miliknya berbunyi pertanda ada yang menelepon. Dilihatnya layar kuning benda kecil nan tebal itu, ternyata yang menghubungi adalah ibundanya. Tanpa berbasa-basi lagi, Dikta menekan salah satu tombol yang tersedia.
"Halo, Ma?"
[Dikta!!!] Seru suara di seberang sana yang otomatis membuat Dikta menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Jangan teriak, Ma. Dikta dengar, kok." Gerutu anak itu dengan ekspresi marah yang dibuat-buat seolah orang yang bicara di telepon bisa melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak, Rindu, dan Kamu
General FictionDitinggalkan tepat di hari yang paling dinantikan membuat Dikta seperti orang tak tahu arah. Hingga rasa sakit membawanya pergi ke tempat-tempat yang dia sebut surga tersembunyi di dalam semesta. Lalu kebetulan membawanya bertemu dengan gadis sederh...